Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 5 Api Pertama

Desiran angin pagi menyapu reruntuhan kota bawah seperti bisikan perang yang belum dimulai. Namun bagi Raka, peperangan sudah dimulai sejak malam ketika tubuhnya dilempar ke hutan larangan. Sejak saat itu, ia bukan lagi sekadar rakyat biasa. Ia adalah pewaris naga, dan malam ini… adalah saat api pertamanya menyala.

“Gudang senjata utama ada di barat kota. Letaknya di balik Benteng Rasa Danta,” jelas Kirana sambil membentangkan peta tua dari pandai besi pemberontak. “Banyak prajurit ditempatkan di sana karena Mahendra paranoid. Tapi kita tidak butuh menyerang semua. Kita hanya butuh menciptakan ketakutan.”

Raka mengangguk. “Ketakutan adalah mata uang kekuasaan. Kini waktunya kita menggunakannya untuk membakar fondasi Mahendra.”

Kirana menatap Raka sejenak. Sejak pertarungan malam itu, aura Raka berubah. Tatapannya lebih dalam. Langkahnya lebih tenang, namun di balik itu, bara dendam tetap menyala tanpa padam.

---

Malam tiba. Langit tertutup awan gelap, dan hanya sedikit bintang yang terlihat.

Raka berdiri di atas bukit kecil, mengawasi gudang senjata dari kejauhan. Bentuknya seperti rumah batu besar, dikelilingi pagar logam tinggi dan dijaga oleh dua menara pengawas. Di dalamnya, ratusan senjata berkualitas disimpan untuk prajurit istana: pedang, panah berapi, bahkan senjata sihir buatan.

Kirana muncul di sampingnya. “Kita hanya punya waktu dua puluh menit sebelum penjagaan berganti.”

Raka tersenyum tipis. “Dua puluh menit sudah lebih dari cukup.”

Dengan isyarat tangan, Raka dan Kirana bergerak seperti bayangan. Mereka menyusup melalui saluran air lama yang sudah ditutup warga sejak bertahun-tahun lalu. Jalan sempit itu berlumut dan bau, tapi membawa mereka tepat ke bagian belakang gudang—tempat penjagaan lebih longgar.

Saat mereka keluar dari lubang, dua prajurit berjaga di depan pintu belakang. Sebelum mereka bisa menyadari apa pun, Kirana bergerak. Dua bilahnya melesat cepat, dan kedua tubuh itu jatuh tanpa suara.

Raka membuka pintu logam. Di dalamnya, deretan senjata berkilauan menunggu dalam kegelapan.

Ia mengambil satu bilah pedang, menatapnya, lalu berkata, “Semua ini… akan berbalik melawan mereka.”

Ia lalu mengeluarkan benda kecil dari balik jubahnya: batu api sihir dari kitab naga. Api biru menyala perlahan saat disentuh. Tapi kali ini, bukan sebagai senjata. Melainkan… sebagai pemantik.

Raka meletakkannya di tengah-tengah gudang, di antara tong-tong minyak sihir yang mudah terbakar.

Kirana menarik napas. “Begitu api menyala, semua orang di kota akan tahu... seseorang telah memulai pemberontakan.”

Raka tersenyum, lalu menatap Kirana dalam. “Itulah tujuannya.”

Mereka lalu mundur cepat, kembali ke terowongan bawah tanah. Dan beberapa detik kemudian—

BOOM!

Ledakan mengguncang tanah. Api biru menjalar ke langit malam. Gudang senjata meledak seperti naga yang mengaum untuk pertama kalinya. Asap dan kobaran membentuk siluet kepala naga di langit. Para penduduk yang masih terjaga keluar rumah, menatap langit dengan takjub dan takut.

Prajurit berlarian. Lonceng bahaya dibunyikan. Dan dari menara pengawas, satu kata terdengar menggema:

> “Pewaris Naga telah bangkit…!”

---

Sementara itu, di dalam istana...

Mahendra melempar gelas anggur ke dinding. Cairan merah membasahi lantai marmer.

“Bagaimana bisa dia bergerak secepat ini?!”

Seorang penasihat gemetar, “Paduka… dia memiliki dukungan dari bawah tanah. Rakyat mulai… berharap…”

Mahendra menatap tajam. “Harapan adalah racun. Dan racun… harus dipotong sampai ke akarnya.”

Ia lalu memanggil satu sosok berjubah hitam pekat, yang berdiri diam di sudut ruangan sejak tadi. Wajahnya tak terlihat, namun hawa dingin menyelimuti ruang singgasana.

“Panggil dia,” kata Mahendra pelan.

“Siapa yang paduka maksud?” tanya penasihat.

Mahendra menatap lurus. “Saudara bayangan Raka. Putra angkat yang kubentuk dari darah naga palsu. Kini saatnya dia digunakan.”

---

Di sisi lain kota, Raka dan Kirana mengintai dari atas bangunan tua. Api masih membara. Tapi dalam keheningan, Raka menggenggam dadanya. Tubuhnya mulai menggigil.

Segel keempat dalam dirinya... mulai tak stabil. Api biru menyala di tangannya, tapi juga mulai menjalar ke kulitnya.

“Raka?” panggil Kirana.

“Aku… tak bisa mengendalikannya…”

Tubuh Raka jatuh berlutut. Matanya bersinar liar. Nafasnya terputus-putus. Suara naga menggema lagi di dalam kepalanya. Suara yang tak ia pahami. Kata-kata asing. Aura kekuatan yang seperti ingin meledak keluar.

> “Jangan biarkan amarahmu menjadi tuanmu, pewaris naga. Kau bukan hanya pembalas. Kau adalah penentu jalan dunia.”

Kirana memeluknya dari belakang, sekali lagi. “Tenangkan dirimu… Aku di sini, Raka. Jangan tenggelam.”

Dan perlahan, Raka kembali sadar. Tapi ia tahu… waktu terus berjalan. Setiap segel yang ia buka, akan semakin mendekatkan dirinya pada titik tanpa kembali.

---

Malam itu menjadi malam pertama Mandapala merasakan rasa takut sejak Mahendra berkuasa. Namun bagi Raka, itu bukan kemenangan. Itu hanyalah percikan awal dari peperangan yang panjang.

Dan jauh di utara kerajaan, satu sosok mulai bergerak. Wajahnya mirip Raka… namun mata kirinya berwarna hitam legam.

*

*

Masih dari atap bangunan tua, Raka menatap api yang melahap gudang senjata. Cahaya biru berkobar tinggi, seperti simbol perang yang baru saja dimulai. Tapi di balik kobaran itu, kota Mandapala yang selama ini tidur dalam ketakutan mulai bergerak.

Orang-orang muncul dari balik pintu rumah mereka. Wajah-wajah tirus, tangan kasar karena kerja keras, dan mata yang selama ini kehilangan cahaya… kini menatap api dengan rasa berbeda. Bukan takut. Tapi... harapan.

Di sebuah gang sempit, seorang pria tua berseru, “Itu… itu sihir naga! Seperti di cerita lama!”

Yang lain membalas, “Mungkinkah pewarisnya masih hidup?”

Seorang anak muda berdiri di atas gerobak, mengepalkan tangan. “Kalau kerajaan bisa diserang… berarti mereka bisa dikalahkan!”

Desas-desus menyebar lebih cepat dari api. Nama "Pewaris Naga" mulai dibisikkan dari satu rumah ke rumah lain. Dan malam itu, untuk pertama kalinya dalam dua puluh tahun, rakyat kecil berbicara—bukan tentang takut mati, tapi tentang kemungkinan menang.

---

Raka dan Kirana kembali ke markas kecil di bawah tanah, terowongan yang terhubung dengan pemandian tua yang telah lama ditinggalkan.

Raka terduduk kelelahan. Tubuhnya bergetar pelan. Meski wajahnya tetap dingin, keringat membasahi pelipis dan jantungnya masih berdebar cepat.

“Setiap kali aku membuka segel, aku bisa merasakan… sesuatu di dalamku terbakar. Seperti ada makhluk lain yang ingin keluar.”

Kirana menatapnya tajam. “Kau masih mengendalikannya sekarang. Tapi jika kau kehilangan kendali... kau bisa jadi sama berbahayanya dengan Mahendra.”

“Kalau itu yang terjadi… kau harus hentikan aku,” ujar Raka pelan, namun tegas.

Kirana ingin membantah, namun suara langkah kaki terdengar dari ujung lorong. Mereka spontan bersiaga.

Sosok berjubah lusuh muncul. Tubuhnya kurus, rambut putih panjang menjuntai sampai bahu, dan matanya tertutup kain merah.

Namun Raka terdiam, matanya melebar. “Kakek?”

Orang itu tersenyum samar. “Akhirnya... darah naga membakar jalurnya sendiri.”

Kirana melirik Raka. “Siapa dia?”

“Dulu… saat aku kecil, dia pernah menyelamatkanku dari serangan binatang liar. Tapi setelah itu… dia hilang. Semua orang bilang dia gila.”

Kakek tua itu tertawa pelan. “Mereka memanggilku gila karena aku menyimpan rahasia yang mereka coba musnahkan. Tapi aku tahu... kamu akan hidup. Aku melihat matamu waktu masih bayi—mata seorang raja sejati.”

Ia lalu mengeluarkan sebuah benda dari balik jubahnya—pecahan beling berukir lambang naga bersayap dua.

“Aku menjaga ini selama dua dekade. Ini bagian dari mahkota naga terakhir. Warisanmu bukan hanya kekuatan, tapi juga takhta.”

Raka mengambilnya dengan tangan gemetar. Pecahan itu hangat, dan saat disentuh, Aksiraga—pedangnya—bergetar perlahan, seolah menyambut potongan sejarah yang hilang.

“Mahkota ini tidak bisa kau pakai sampai kau membuka segel terakhir,” lanjut sang kakek. “Tapi kau harus tahu, setiap segel... mengambil bagian dari jiwamu. Dan saat kau sampai di segel ketujuh, kau harus memilih: menjadi naga, atau tetap menjadi manusia.”

Raka menatap ke tanah. Pilihan itu bukan hal mudah.

---

Beberapa jam kemudian, saat kabut subuh mulai turun, Kirana berjalan menyusuri lorong menuju tempat tidur Raka. Namun pria itu tidak ada. Ia mendapati pintu rahasia menuju terowongan utara terbuka.

Raka berdiri di luar, di tepi kota, menatap cahaya mentari pertama yang mulai membakar langit. Di belakangnya, bayangan kota Mandapala perlahan terbangun. Tapi di dalam dadanya, bayangan masa lalu tetap mengendap.

Ia menatap langit. “Sri, Mahendra… kalian pikir aku akan hanya membuat api kecil?”

“Aku akan membakar seluruh tahta kalian.”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel