Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 4 perjanjian darah

Pagi di kota Mandapala selalu terlihat megah dari kejauhan—menara-menara keemasan menjulang, suara nyanyian kuil menggema, dan bendera kerajaan berkibar di segala arah. Tapi di balik dinding-dinding istana, sebuah percikan pemberontakan telah lahir.

Di ruang bawah tanah tempat peninggalan leluhur disimpan, Raka masih berdiri membeku di hadapan cahaya yang perlahan memudar—jejak terakhir roh sang ayah yang kini kembali ke alam leluhur. Dalam genggamannya, Raka membawa gulungan kain merah tua yang diserahkan oleh sang raja sebelum menghilang.

“Ini adalah Perjanjian Darah,” bisik Raka, menatap benda itu. “Surat pengakuan bahwa aku adalah darah sah kerajaan. Tanda bahwa Mahendra adalah pengkhianat.”

Kirana mendekat. “Dengan itu, kau bisa membalikkan segalanya. Tapi juga… bisa membuatmu diburu oleh seluruh istana.”

Raka mengangguk pelan. “Biarlah. Aku tidak akan bersembunyi selamanya.”

Tiba-tiba, gemetar halus terasa di tanah. Seperti derap kaki kuda dari jauh, disusul dengusan logam dan aroma sihir terbakar. Kirana menoleh cepat.

“Mereka tahu,” gumamnya. “Mahendra pasti mengirim penjaga elit. Mereka dikenal sebagai Para Pemburu Bayangan. Sekali mereka mencium kekuatan naga… mereka akan terus mengejarmu sampai salah satu dari kalian mati.”

Raka mencengkeram kain merah itu dan menyelipkannya ke balik jubahnya. “Kalau begitu, mari kita hadapi mereka.”

---

Di sisi lain kota, Mahendra duduk di atas singgasananya. Ia diselimuti jubah keunguan berhias rantai perak, dan matanya menatap kosong ke arah para penasihat kerajaan yang tengah berlutut.

“Benarkah berita ini?” tanyanya datar.

Seorang prajurit gemetar menjawab, “Ya, Paduka. Ada gerakan mencurigakan di bawah reruntuhan istana lama. Kami kehilangan dua penjaga di sana. Tapi… sebelum mati, salah satu sempat menyebut nama ‘Raka’.”

Mata Mahendra menyipit. Lalu, ia berdiri perlahan. “Bawa aku Kitab Pemburu.”

Seorang penjaga datang membawa kotak kayu hitam. Mahendra membukanya. Di dalamnya ada gulungan nama, dan di baris terakhir kini muncul:

Nama: Raka Aryasena

Status: Terbangun

Tingkat Bahaya: Merah Tertinggi

Prioritas Eliminasi: Segera

Mahendra tersenyum miring. “Akhirnya kau muncul, darah busuk kerajaan lama... Aku akan menikmati perburuan ini.”

---

Malam itu, Raka dan Kirana bergerak diam-diam melalui lorong-lorong kota bawah. Kota Mandapala punya dua wajah—di atas kemewahan, di bawah kemiskinan dan rasa takut. Namun dari bayang-bayang itu, perlahan muncul sekutu.

Mereka bertemu seorang biksu tua buta yang mengenali aura naga dari tubuh Raka. Ia memberi peta jaringan rahasia yang dipakai oleh para pemberontak. Di pasar gelap, seorang pandai besi menyerahkan senjata-senjata kuno dengan ukiran kerajaan lama, berkata, “Kami menunggumu sejak lama.”

Raka mulai mengerti: warisan yang ia bawa bukan hanya miliknya. Tapi milik banyak orang yang telah kehilangan harapan.

Namun di tengah langkah mereka, langit tiba-tiba bergetar.

Suara siulan menusuk udara. Dari atap-atap rumah, sosok-sosok berjubah hitam meluncur turun. Mata mereka menyala merah, dan bilah senjata mereka berpendar sihir hitam.

“Pemburu Bayangan,” bisik Kirana. “Terlalu cepat mereka datang…”

Raka menarik Aksiraga dari punggungnya. Api biru menyala, dan sorot matanya berubah.

“Inilah awalnya.”

Pertarungan pertama pun pecah. Bilah demi bilah beradu. Jalan-jalan kota berubah menjadi medan sihir dan darah. Dan tiap kali Raka terdesak, segel dalam tubuhnya berdenyut pelan—meminta untuk dibuka… untuk dibangkitkan.

Namun Raka tahu, setiap segel adalah ujian. Dan jika ia belum siap… maka kekuatan itu bisa menelannya hidup-hidup.

Udara malam terasa berat, seolah kota Mandapala ikut menahan napas menanti tumpahnya darah. Di jantung pasar gelap yang tersembunyi di bawah tanah, Raka dan Kirana dikelilingi oleh pasukan bayangan yang mengepung perlahan, membentuk lingkaran sempurna.

Ada enam orang. Tubuh mereka tinggi, wajah tertutup topeng hitam dengan pola perak menyilang. Setiap gerakan mereka nyaris tanpa suara, bagaikan hantu yang dilatih untuk membunuh dalam sekali tebas.

“Berikan tubuhmu, naga terakhir,” ujar salah satu dari mereka, suaranya berat seperti guruh yang tertahan. “Atau kami akan mencabik jiwamu dan menyegelmu selamanya.”

Raka melangkah maju. Aksiraga kini bersinar tanpa perintah, memancarkan aura biru yang menekan udara di sekitarnya. Tapi cahaya itu tak cukup untuk membuat para pemburu mundur. Mereka telah membunuh ratusan penyihir, memburu bangsawan yang membelot, dan kini… mereka dihadapkan pada pewaris naga.

Kirana berdiri di sisi Raka, dua bilah kecil muncul dari balik jubahnya. “Kita tak bisa menang jika melawan mereka dengan kekuatan mentah. Mereka terlatih membunuh pengguna sihir.”

“Aku tak butuh sihir,” desis Raka. “Aku punya dendam.”

Seorang pemburu melesat cepat, hanya bayangan yang terlihat. Raka menebas ke arah kosong—namun serangan itu hanyalah umpan. Dari belakang, bilah lain datang mengarah ke punggungnya. Kirana meloncat, menangkisnya dengan dua pisau pendek, namun tubuhnya terpental ke belakang.

Raka dipukul keras ke tanah, batu dan debu beterbangan. Darah mengalir dari bibirnya. Para pemburu tidak memberi jeda. Serangan demi serangan datang seperti badai bayangan yang tak berujung. Dunia berputar. Napas Raka tercekat. Ia berlutut.

Di dalam dirinya, segel kekuatan bergemuruh. Suara-suara dari masa lalu kembali muncul. Jeritan ibunya. Wajah Sri yang memeluk Mahendra. Suara ayahnya yang berkata: "Bangkitlah, bukan sebagai anak yang dibuang... tapi sebagai naga yang terbangun."

Raka menggertakkan giginya. Tangannya gemetar, namun ia menggenggam Aksiraga lebih erat.

“Segel Keempat… bukalah!”

Cahaya biru menyambar dari dadanya ke seluruh tubuh. Kulitnya berpendar, urat-uratnya tampak menyala seperti bara. Rambutnya melayang pelan, dan sorot matanya kini menyala perak.

Satu ayunan Aksiraga, dan tanah di sekelilingnya meledak. Tiga pemburu terlempar, armor mereka pecah. Sisanya mencoba bertahan, namun sihir dari pedang itu terlalu kuat.

Namun, di tengah kekuatan itu… tubuh Raka mulai bergoyang. Matanya melebar. Nafasnya tercekat. Segel keempat terlalu berat. Ia belum siap sepenuhnya.

Kirana berteriak, “Raka! Hentikan! Kekuatan itu akan menghancurkan tubuhmu!”

Tapi Raka tak bisa mendengar. Dalam pikirannya, suara naga menggema:

> “Jika kau tak menguasai kekuatan ini… maka kekuatan ini yang akan menguasaimu.”

Tangannya gemetar. Jari-jarinya mulai terbakar. Luka di tubuhnya terbuka kembali. Api biru berubah jadi ungu. Aksiraga nyaris meledak di tangannya.

Dan tepat saat itu, Kirana berlari menerobos sihir yang meledak, memeluk tubuh Raka dari belakang dan berbisik di telinganya.

“Dengar aku. Kau bukan binatang buas. Kau bukan alat balas dendam. Kau manusia, Raka! Tenangkan dirimu!”

Suara itu menembus kabut kemarahan. Raka memejamkan mata. Ia mengatur napasnya. Tangan yang tadinya menggigil kini mulai diam. Api biru kembali ke warna asalnya. Perlahan, segel keempat menutup, walau belum sepenuhnya terkendali.

Ia jatuh berlutut. Tubuhnya berkeringat, dadanya naik-turun, tapi ia selamat.

Para Pemburu Bayangan yang tersisa menyadari sesuatu—pewaris naga ini… belum mencapai puncaknya. Tapi bahkan sekarang, kekuatannya sudah melampaui batas manusia biasa.

“Retret,” ujar salah satu pemburu. “Dia belum waktunya untuk dikalahkan.”

Bayangan mereka menghilang ke atap bangunan, lenyap tanpa suara.

Raka memandang langit malam yang kini terbuka di atas mereka, penuh bintang. Bahunya berguncang. Bukan karena ketakutan… tapi karena ia sadar, pertarungan ini baru permulaan.

Ia menoleh pada Kirana yang duduk di sampingnya, luka di keningnya mengucur, namun sorot matanya tak pernah surut.

“Terima kasih,” ujar Raka pelan.

Kirana tersenyum tipis. “Kau butuh lebih dari sekadar kekuatan untuk bertahan, Raka. Kau butuh… manusia.”

Malam itu, di reruntuhan pasar gelap, dua orang berdarah pemberontakan bersandar satu sama lain, menanti fajar… dan menyusun langkah berikutnya.

Malam itu menutup babak pertama perjalanan Raka sebagai pewaris naga. Di bawah reruntuhan kota, darah dan sihir sudah tumpah. Para pemburu bayangan mundur, namun ancaman mereka masih mengendap, mengintai seperti ular dalam semak gelap.

Raka duduk bersandar di dinding batu, napasnya masih berat. Kirana di sampingnya, wajahnya tenang meski luka-luka menggores kulitnya. Tak ada kata-kata. Hanya diam yang menggantung, seolah mereka tahu… malam itu hanyalah awal dari badai panjang yang akan datang.

Dan di antara debu yang menggantung dan langit malam yang kembali sunyi, Raka menggenggam Aksiraga dengan erat—senjata yang kini tak hanya membawa kekuatan, tapi juga beban.

> “Aku sudah memulai api ini,” bisiknya dalam hati.

“Dan aku akan membuatnya menyebar… sampai istana Mahendra menjadi abu.”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel