BAB 2 pelatihan baru
Langit pagi tak kunjung terang. Kabut masih menggantung pekat di antara pohon-pohon tinggi yang menjulang, seolah menutupi hutan dari dunia luar. Burung pun enggan berkicau. Hanya desiran angin dan detak jantung Raka yang terdengar. Tubuhnya masih penuh luka, namun rasa sakit itu mulai pudar. Yang tersisa hanyalah bara hangat di dalam dadanya—jejak kekuatan dari kitab yang kini telah menyatu dalam jiwanya.
Langkah Raka membawanya semakin dalam ke jantung hutan larangan.
Tiba-tiba, tanah di bawah kakinya bergetar. Raka berhenti. Dari balik semak-semak, muncul sosok makhluk tinggi berkulit perak, bermata putih menyala, dan bertanduk. Ia tidak menyerang. Justru ia membungkuk.
"Salam, pewaris darah naga. Aku Varatu, penjaga pelatihan roh purba," suaranya menggema, seolah berasal dari tanah dan langit sekaligus.
"Pelatihan?" tanya Raka, menahan ketegangan.
Varatu mengangguk. "Tubuhmu lemah, meski jiwamu telah dipilih. Tanpa pelatihan, kekuatan itu akan melumatmu dari dalam. Ikuti aku."
Tanpa sempat bertanya lebih, tanah terbuka di bawah kaki Raka. Ia terjatuh... namun bukannya membentur tanah, ia justru melayang turun ke dalam sebuah ruang bawah tanah yang luas dan bersinar. Pilar-pilar batu berdiri kokoh di sekelilingnya. Api biru menyala di setiap sudut, dan di tengah-tengah, ada danau berwarna perak.
Di situlah pelatihannya dimulai.
Hari demi hari, waktu kehilangan makna. Raka dilatih bukan hanya secara fisik, tapi juga mental dan spiritual. Ia belajar mengendalikan api biru yang dulu menyambar dadanya. Ia belajar berbicara dengan makhluk gaib, membaca kitab tua dengan bahasa yang telah lama punah, dan menenangkan pikirannya hingga mampu melihat masa depan sekejap ke depan.
Setiap malam, ia bermeditasi di atas danau perak, tubuhnya melayang, pikirannya melampaui batas waktu.
Namun, pelatihan itu tidak tanpa rasa sakit.
Raka harus menghadapi cerminan dirinya sendiri—ketakutan, dendam, rasa hina saat diseret keluar oleh algojo Mahendra, dan wajah Sri yang memeluk lelaki lain. Dalam satu latihan, ia hampir dibakar oleh apinya sendiri, hingga Varatu meneriakkan, “Lepaskan dendammu, atau kau akan menjadi monster!”
Raka menjerit. Tubuhnya terbakar dari dalam. Tapi di saat itu juga, ia melihat wajah ibunya... samar. Lembut. “Raka… jadilah lebih dari sekadar pembalas dendam…”
Tangis pecah di matanya. Api dalam dadanya tiba-tiba berubah bentuk. Menyatu. Tenang. Dan dari dalam danau, muncullah sosok naga berwarna putih keperakan, bermata biru jernih. Ia melingkar di langit-langit gua, lalu menunduk, menyentuh dahi Raka.
"Engkau telah melewati batas manusia biasa," bisik naga itu. "Namamu kini akan tercatat dalam perjanjian leluhur."
Ketika Raka membuka matanya, rambutnya yang dulu kusut kini memanjang ke belakang seperti surai. Matanya berubah lebih tajam, seperti menembus segala kebohongan. Tato bercahaya di lengan kirinya muncul, bergambar naga dan bunga liar ungu.
Itu adalah simbol darah, kehancuran, dan cinta yang dikhianati.
Hari keempat puluh satu, atau mungkin ke tujuh puluh—Raka tak lagi menghitung. Di tempat itu, waktu mengalir berbeda. Siang dan malam tidak terasa. Ia hanya mengenal rasa perih di otot, denyut sihir di dadanya, dan gema mantra-mantra kuno yang diulang dalam setiap sesi pelatihan.
Satu hari, Varatu menyerahkan sebuah pedang pada Raka. Bilahnya terbuat dari logam hitam berurat emas. Ringan di tangan, namun berat di jiwa. Di sisi pedang itu terukir tulisan tua yang hanya bisa dibaca oleh orang yang telah menyatu dengan kitab naga.
Pedang itu bernama Aksiraga — Pemusnah Kegelapan dan Penjaga Keheningan.
"Pedang ini tak akan tunduk pada orang yang hatinya penuh dendam," ujar Varatu. "Namun kau... telah mengubah api balas dendam menjadi nyala penghakiman."
Saat Raka menggenggam Aksiraga, cahaya biru menyala dari dalam pedang itu. Bayangan naga putih kembali muncul di belakangnya, memekik ke langit, membuat gua bawah tanah itu bergetar.
"Mulai hari ini," bisik Varatu, "kau bukan lagi Raka si petani. Kau adalah Raka Aryasena, putra dari darah raja yang dilenyapkan. Pewaris Takhta Bayangan."
Malam itu, Raka berdiri di atas tebing batu di dalam gua. Di belakangnya, api biru membentuk simbol naga melingkar. Ia menatap ke depan dengan mata yang tak lagi ragu.
“Sri... Mahendra... dunia telah menyaksikan penghinaan itu. Tapi aku akan kembali. Bukan untuk menjadi rakyat... tapi untuk mengguncang kerajaanmu dari dalam.”
---
Pagi berikutnya, Varatu menghampirinya. Angin di dalam gua mulai bergerak tak menentu.
“Waktumu di sini sudah selesai. Dunia luar memanggil.”
“Apakah kau tidak ikut?” tanya Raka.
Varatu menggeleng. “Tugasku hanya membangkitkanmu. Tapi ingat ini—kerajaan tidak hanya dihuni manusia. Akan ada yang memihakmu... dan yang memburumu. Kau bukan hanya melawan Mahendra. Tapi seluruh tatanan yang takut pada kembalinya naga.”
Raka mengangguk. Ia tak takut. Tak lagi.
Langkahnya menapak keluar dari gua. Akar-akar pohon membuka jalan. Kabut menyingkir. Langit di atas hutan berubah dari kelabu menjadi biru pucat. Burung-burung aneh bernyanyi, seolah menyambut. Raka kini mengenakan jubah panjang hitam dengan lambang naga di punggungnya. Aksiraga terselip di punggung, dan sorot matanya memantulkan cahaya seperti bara yang tak akan padam.
Namun sebelum Raka melangkah lebih jauh, Varatu menahannya dengan lambaian tangan. Mata makhluk perak itu tampak gelap, serius.
“Jangan terlalu percaya diri hanya karena kau berhasil mengendalikan Aksiraga dan api naga. Itu baru lapisan pertama.”
“Lapisan... pertama?” Raka menatap Varatu, sedikit bingung.
“Kekuatan warisan naga tertutup tujuh lapis segel. Kau baru membuka satu. Semakin banyak kau hadapi musuh yang tangguh, semakin besar peluang kekuatan itu terbuka. Tapi semakin besar pula risiko jiwamu hancur."
Varatu mengangkat tangannya. Di udara, muncul lingkaran bercahaya dengan tujuh simbol kuno.
“Tiap segel terbuka melalui pertarungan hidup dan mati. Kau akan tahu kapan waktunya. Tapi ingat—jika kau gagal menguasai kekuatan yang keluar, tubuhmu bisa meledak... atau kehilangan akal.”
Raka terdiam. Di balik tekadnya untuk membalas dendam, muncul rasa gentar. Tapi ia mengangguk perlahan. “Aku tidak takut. Selama dendam ini belum terbalas, aku tidak akan mati.”
Varatu tersenyum. Untuk pertama kalinya, senyum hangat itu muncul di wajah dingin makhluk penjaga.
“Itulah alasan mengapa kau dipilih.”
---
Sebelum meninggalkan hutan larangan, Raka harus melewati satu ujian terakhir.
Sebuah jembatan batu melintang di atas jurang besar yang dikenal sebagai Mulut Bumi—konon tempat lahirnya iblis-iblis purba. Di tengah jembatan itu, berdiri satu sosok berjubah kain kasar. Tubuhnya tertutup dari kepala hingga kaki, hanya matanya yang terlihat. Mata yang merah menyala seperti bara.
“Siapa kau?” tanya Raka.
“Aku yang menilai layak atau tidaknya kau meninggalkan tempat ini,” jawab sosok itu. Suaranya serak, seperti ratusan lidah bicara bersamaan.
Tanpa peringatan, sosok itu melompat, menebas ke arah Raka dengan bilah bayangan yang memanjang dari lengannya. Raka menangkis dengan Aksiraga. Percikan api biru meledak dari benturan.
Pertarungan terjadi begitu cepat. Sosok itu tidak memiliki bentuk tetap—kadang menghilang, kadang muncul dari bayangan sendiri. Raka dipukul, terpental, darah mengalir dari sudut bibir. Tapi ia tidak menyerah. Napasnya berat, jubahnya robek, namun mata itu tetap tajam. Saat sosok itu melompat untuk serangan terakhir, Raka membisikkan mantra yang diajarkan Varatu.
“Raga Bara, Nyala Naga.”
Tiba-tiba, tangan kanannya bersinar. Api biru menyelimuti Aksiraga. Dengan satu ayunan ke atas, ia membelah serangan musuhnya—dan bayangan itu menghilang dalam jerit panjang, sebelum meledak menjadi asap hitam.
Dari tengah asap, terdengar suara:
“Segel Kedua... Terbuka...”
Raka terjatuh berlutut. Dada kirinya panas. Di bawah kulit, cahaya simbol naga yang tadinya satu... kini menjadi dua.
Tubuhnya menggigil, bukan karena dingin, tapi karena kekuatan itu mulai merasuk lebih dalam.
---
Beberapa hari setelah pertarungan itu, Varatu menuntun Raka ke ujung hutan. Mereka berdiri di bawah pohon raksasa dengan akar menjuntai seperti tali dewa. Di bawah akar itu, terdapat kolam bundar kecil, airnya sebening kristal.
“Minumlah,” kata Varatu. “Ini air dari akar dunia. Sekali kau meneguknya, kau tak bisa kembali.”
Raka berlutut, menadahkan air ke mulutnya.
Begitu air itu menyentuh lidahnya, ribuan suara bergema di dalam pikirannya. Bisikan leluhur, raungan naga, bahkan tangis bayi... semuanya menyatu menjadi satu denyut di dalam dadanya.
Ketika ia berdiri, rambutnya bergerak meski tanpa angin. Matanya menyala lembut dalam cahaya perak. Jubahnya kembali utuh, seolah diperbarui oleh kekuatan alam itu sendiri.
Raka menatap Varatu.
“Terima kasih.”
Varatu mengangguk pelan. “Satu pesan terakhir, wahai pewaris: Jangan hanya belajar membunuh. Belajarlah memilih siapa yang layak hidup.”
Raka tersenyum tipis, lalu berjalan menuju batas hutan.
Langkah demi langkah, ia meninggalkan tanah keramat itu—bukan sebagai rakyat biasa, bukan sebagai petani terbuang, tapi sebagai pria yang membawa api naga di jiwanya dan pedang penghakiman di tangannya.
Dari balik hutan, dunia lama menunggunya.
Dan satu per satu, dendam itu akan ditagih... perlahan, dan menyakitkan.
