Bab 2 Malam Panas (++)
Pagi menjelang dengan langit mendung menggantung, seolah kota pun enggan bangun dari lelapnya. Vira duduk di tepi ranjang, memandangi lantai marmer yang dingin dengan tangan bertumpu pada lutut. Ia belum menyentuh ponselnya sejak semalam, dan notifikasi dari Rizal sudah menumpuk—jadwal, alamat, nama-nama tamu dalam pertemuan siang nanti.
Ia berdiri, mengenakan setelan hitam yang disiapkan di lemari, sederhana namun elegan, dengan potongan rapi yang menonjolkan siluet tubuhnya tanpa kesan murahan. Rambutnya dikuncir rendah. Riasannya tipis, hanya cukup untuk membingkai wajah agar terlihat profesional.
Mobil hitam telah menunggu di lobi. Sopir membukakan pintu tanpa sepatah kata, dan sepanjang perjalanan, Vira memandangi jendela, mencoba mengabaikan kenyataan bahwa hidupnya kini diatur oleh seseorang yang bahkan tak sudi memberinya status.
Setibanya di hotel tempat acara berlangsung, keramaian langsung menyambutnya—para pebisnis dengan setelan mahal, wanita-wanita bersolek dengan tawa sosialita, dan kamera-kamera media yang berputar liar seperti burung lapar.
Dirga sudah tiba lebih dulu. Ia berdiri bersama dua pria paruh baya, ekspresinya tenang seperti biasa, seolah tak ada apa pun yang bisa menggoyahkannya. Ketika melihat Vira mendekat, matanya bergerak cepat menelannya habis, namun tak ada senyum atau sapaan.
Rizal menyambutnya lebih dulu. “Ikuti saya. Tuan Dirga ingin Anda berdiri di sebelah kanan, jangan berbicara kecuali ditanya.”
Vira hanya mengangguk.
Ia berdiri di samping Dirga, memperhatikan cara pria itu menguasai suasana—bicara sedikit, tapi setiap kata terdengar seperti keputusan tak terbantahkan. Ia memerhatikan setiap sorot mata yang menoleh padanya, bisik-bisik kecil yang mungkin membicarakan siapa dirinya.
“Siapa wanita itu?” salah satu tamu berbisik pada kawannya.
“Asistennya, katanya.”
“Cantik. Tapi auranya... bukan asisten biasa.”
Dirga melirik sekilas, lalu menyela obrolan dua pria itu. “Kalau kalian punya waktu luang untuk bergosip, berarti perusahaannya sedang tidak sibuk?”
Tawa mereka gugup, langsung membisu.
Selesai berbicara, Dirga mencondongkan tubuh ke arah Vira tanpa menoleh. “Kau dengar mereka?”
“Ya.”
“Kau merasa terganggu?”
“Tidak. Aku hanya heran kenapa mereka tidak langsung bertanya padaku saja.”
Akhirnya, Dirga melirik. “Kalau mereka tahu siapa kamu sebenarnya, mereka akan takut. Dan aku tidak ingin kamu ditakuti—aku ingin kamu diamati.”
“Seperti pajangan?”
“Seperti rahasia yang tidak bisa ditebak.”
Pertemuan selesai setelah dua jam. Saat semua tamu berpencar, Dirga berjalan lebih dulu ke arah lift, tak bicara, tak menunggu. Vira mengikutinya dalam diam. Saat pintu lift tertutup dan hanya mereka berdua di dalam, keheningan menggantung berat.
“Kenapa tidak kau perkenalkan aku sebagai kekasihmu?” Vira bertanya akhirnya.
“Karena kamu bukan itu.”
“Lalu apa?”
Dirga menatap pantulan mereka di dinding lift. “Kamu adalah sesuatu yang belum bisa aku beri nama. Tapi jangan khawatir, Vira. Nama akan datang setelah rasa percaya.”
Vira menatapnya, tajam. “Atau setelah kau yakin aku tidak akan meninggalkanmu?”
Ia tidak menjawab. Tapi sorot matanya berubah sedikit. Untuk pertama kalinya, ada keraguan kecil dalam tatapan seorang pria yang biasanya tak pernah goyah.
Dan Vira tahu, permainan itu kini berjalan dua arah.
Penthouse sepi lagi malam itu. Langit luar gelap gulita, hujan turun deras, mengguyur kaca jendela besar dengan ritme konstan. Vira berdiri di balik tirai tipis, tangannya memegang secangkir teh hangat yang mulai kehilangan uapnya. Tubuhnya lelah, tapi pikirannya masih terjaga penuh. Percakapan di lift tadi masih terngiang—tentang kepercayaan, tentang nama yang belum diberi.
Pintu terbuka tiba-tiba. Dirga masuk tanpa banyak suara, mantel basahnya disampirkan ke lengan. Matanya langsung menemukan sosok Vira di dekat jendela, lalu mengunci pintu dan mendekat.
“Kamu belum tidur,” gumamnya pelan.
“Kau juga,” jawab Vira, masih menatap hujan.
Dirga berdiri di sampingnya, jarak mereka hanya sejengkal. Hening menyelinap di antara suara hujan.
“Aku bisa pergi, kalau kau merasa aku ganggu,” kata Vira, tanpa menoleh.
“Kamu ganggu,” ucap Dirga singkat. “Tapi aku tidak ingin kau pergi.”
Vira akhirnya menoleh. “Kenapa? Karena kamu belum selesai memainkan aku?”
“Aku tidak main-main.”
“Kalau bukan permainan, kenapa kamu masih sembunyikan aku?”
Dirga menarik napas panjang, tangannya menyentuh tepi cangkir di tangan Vira, lalu mengambilnya dan meletakkannya di meja. “Aku menyembunyikan kamu bukan karena malu. Tapi karena aku belum siap melihatmu dihancurkan oleh dunia yang aku ciptakan.”
Vira mengerjap pelan. “Aku tidak selemah itu, Dirga.”
“Bukan soal lemah atau kuat. Ini soal seberapa banyak luka yang sanggup kau tanggung tanpa kehilangan dirimu.”
Ia menggenggam pergelangan tangan Vira, menatap lurus ke matanya. “Aku pernah mencintai seseorang sampai aku kehilangan cara untuk melindunginya. Aku tak akan ulangi itu. Kamu… terlalu hidup untuk dibunuh oleh gosip, tatapan, dan asumsi orang-orang yang tak tahu apa-apa.”
“Tapi dengan menjadikanku rahasia, kau malah membuatku seperti dosa,” ucap Vira lirih.
Dirga terdiam. Lalu menarik Vira ke dalam pelukannya. Dingin dari pakaiannya yang basah menyentuh kulit Vira, tapi pelukannya hangat. Kencang. Seolah ingin memastikan Vira tidak akan pergi.
“Kalau ini dosa,” bisiknya di telinga Vira, “aku rela menanggungnya.”
Vira menutup mata. Untuk pertama kalinya, pelukan itu terasa bukan seperti klaim. Tapi permohonan. Bukan kuasa. Tapi ketakutan.
Dan saat hujan di luar makin deras, mereka berdiri di sana, di antara kebisuan yang akhirnya jujur—bahwa mungkin, cinta bukan hal yang mereka rencanakan. Tapi sesuatu yang tak bisa lagi dihindari.
Dirga melepaskan pelukannya perlahan, tapi matanya tetap terpaku pada Vira. Sorot itu tak lagi dingin seperti biasanya, melainkan hangat, tajam, penuh pertanyaan yang tak diucapkan.
“Temani aku malam ini,” bisiknya.
Vira menatapnya, detik itu saja jantungnya berdetak lebih kencang. Tapi ia tidak mundur. “Sebagai apa?”
Dirga menunduk sedikit, menyentuh pipinya dengan punggung jari. “Sebagai perempuan yang aku pilih. Bukan untuk dipajang, bukan untuk ditundukkan. Tapi untuk aku rasakan. Sepenuhnya.”
Tak ada lagi kata. Hanya langkah perlahan saat Dirga menggenggam tangannya, membawanya menuju kamar tidur. Lampu dipadamkan, hanya cahaya temaram dari lampu meja yang menyisakan bayangan-bayangan panjang di dinding. Langkah kaki mereka nyaris tak terdengar di atas karpet tebal, tapi degup jantung mereka terasa membelah keheningan malam.
Dirga berdiri di depan Vira, melepaskan jasnya, lalu menarik dasinya tanpa terburu. Ia tidak menyentuh Vira dengan tergesa—ia hanya memandanginya, membiarkan udara di antara mereka mendidih perlahan.
“Kalau kau ingin aku berhenti, katakan,” ucapnya rendah, nyaris seperti bisikan di antara desir hujan di luar.
“Aku tidak ingin kau berhenti,” jawab Vira tanpa ragu.
Sentuhan pertama datang pelan, penuh pengendalian. Tangan Dirga menyusuri lengan Vira, menariknya mendekat, lalu bibirnya menyentuh pelipis, turun ke pipi, lalu menemukan bibir Vira yang sudah menanti. Ciumannya tidak lembut. Tidak pelan. Tapi dalam dan dalam sekali, seolah berusaha menemukan bagian Vira yang selama ini tersembunyi dari semua orang.
Vira membalas dengan penuh, jari-jarinya mencengkeram kemeja pria itu dan melepaskannya satu per satu, merasa kulit hangat di balik kain dingin. Nafas mereka memburu, namun tidak kasar. Ada gairah, tapi juga kesungguhan yang lebih sulit dijelaskan.
Tubuh mereka tenggelam dalam seprai putih, saling menyatu dalam ritme yang meliar tapi teratur. Dirga menciumi setiap lekuk tubuh Vira seperti ingin menghafalnya, dan Vira tak lagi menahan apa pun. Ia membiarkan Dirga menjamah tubuhnya, pikirannya, dan mungkin... hatinya.
Di antara embusan napas dan desah panjang, tak ada janji, tak ada status, tak ada nama. Hanya dua manusia yang saling menginginkan lebih dari sekadar fisik.
Dan saat semuanya mereda, Dirga memeluknya dari belakang, tubuh mereka masih panas, napas mereka belum sepenuhnya tenang.
“Aku tidak pernah merasa serumit ini pada siapa pun,” gumamnya di leher Vira.
Vira mengeratkan genggaman pada tangan Dirga yang melingkari perutnya. “Dan aku tidak pernah merasa sebebas ini… dalam pelukan seorang yang paling ingin aku benci.”
Di luar, hujan berhenti. Tapi badai di dalam kamar itu baru saja dimulai.
