Bab 2
"Sah ...." Terdengar suara gemuruh, untuk kedua kali di luar kamarku, yang menyatakan keberhasilan Kak Sean mengucapkan ijab kabul hari ini.
Ya. Hari ini, adalah hari pernikahan Kak Audi dan Kak Sean, juga pernikahanku dengan pria yang sama. Lalu tadi itu adalah, suara gemuruh para saksi yang secara serentak menyatakan kalo sekarang aku dan Kak Audi sudah sah menjadi istri Kak Sean.
Miris, ya?
Setelah Kak Sean mengucapkan ijab qobul untuk Kak Audi. Tak berselang lama setelahnya, Kak Sean pun melakukan ijab qobul atas namaku.
Entah bagaimana pandangan orang sekitar tentang pernikahan kami ini?
Seharusnya saat ini aku merasa senang karna bisa menunaikan salah satu perintah Agama. Tapi aku juga tak pernah membayangkan akan jadi istri kedua seperti ini. Apalagi, aku harus jadi orang ketiga di antara orang-orang yang sudah kuanggap kakakku sendiri.
Tok ... tok ... tok ....
Terdengar sebuah ketukan dipintu kamarku. Lalu tak lama kemudian, pintu itupun di buka, dan memperlihatkan seorang wanita paruh baya, yang tersenyum menatapku.
Dia adalah Tante Sulis. Ibunya Kak Sean
"Ayo, Sayang. Suami kamu sudah menunggu," ajaknya dengan lembut, seraya mengusap bahuku dengan pelan.
"Tante, aku--"
"Ssttt ... jangan panggil Tante lagi, dong. Tapi panggil Mama. Kan, sekarang kamu udah jadi menantu Mama," selanya kemudian. Namun aku hanya bisa menunduk bingung menanggapinya.
Jujur saja, aku belum bisa menerima pernikahan ini sebenarnya. Karna ... memang bukan seperti ini pernikahan yang kuinginkan.
Aku memang mengenal keluarga Kak Sean dari kecil. Kami bertetangga, dan Tante Sulis sudah kuanggap seperti ibuku sendiri dari dulu. Apalagi, aku kehilangan Ibu kandungku sejak sekolah dasar. Karna itulah, sosok Tante Sulis sudah melengkapi hidupku selama ini.
Walaupun begitu. Tetap saja, aku tak pernah bermimpi akan menjadi menantunya seperti ini.
Bukan tak mau. Hanya saja ... apa, ya? Aku cuma masih merasa canggung saja. Karna memang tidak pernah bermimpi akan menikahi anaknya.
Sudah kubilang, kan? Kak Sean itu sudah kuanggap seperti Kakakku sendiri. Dan kini, saat aku malah di haruskan menikah dengannya. Aku jadi seperti ... Aneh aja gitu rasanya, karena harus nikah sama Kakak sendiri.
Kalian ngerti kan, perasaanku?
"Sayang, Mama tau ini berat buat kamu. Mama bisa mengerti perasaanmu itu. Tapi, Mama juga tidak bisa apa-apa. Karna permintaan Papimu memang di luar dugaan kami. Entah apa yang di pikirkannya waktu itu. Tapi, percayalah. Apapun yang dia inginkan. Itu semata-mata hanya untuk kebaikanmu."
Aku tau itu. Tapi, sampai saat ini aku masih belum paham. Kebaikan macam apa yang malah harus membuat aku jadi orang ketiga seperti ini?
Aku tak berkomentar apapun. Hanya bisa mengangguk saja dan mencoba menerima semuanya dengan ikhlas. Karna untuk mundur pun, aku sudah tidak bisa, iya kan?
Tante--ralat, Mama Sulis lalu membimbingku menuju mimbar, tempat dilaksanakannya ijab kabul.
waktu aku sampai. Kak Audi sudah duduk manis di sebelah Kak Sean. Memakai pakaian yang serupa denganku, juga make up yang juga sama. Karena aku memang hanya bisa menyesuaikan apa yang sudah mereka siapkan sebelumnya. Aku benar-benar tak ada hak menyuarakan keinginanku.
Saat aku hampir sampai, Kak Audi langsung menyambutku dengan senyum merekah. Berbeda dengan Kak Sean, yang hanya melirikku sekilas, dan langsung memalingkan wajahnya ke arah lain.
Aku tau dia juga tak bisa menerima pernikahan ini. Dan sebenarnya, itulah yang membuat bebanku makin terasa berat.
Maafkan aku, Kak. Aku benar-benar tidak bermaksud jadi orang ketiga di keluarga kecilmu.
***
Selepas acara sungkeman. Aku memilih kembali ke kamarku.
Mama Sulis bilang. Nanti siang akan di adakan acara resepsi di kebun belakang rumah ini.
Akan tetapi, aku tak berminat menghadiri acara resepsi itu.
Buat apa?
kehadiranku kan, tidak diinginkan semua orang. Aku cukup tahu diri kok, untuk tak makin merusak momen bahagia Kak Audi dan Kak Sean.
"Tapi, Sayang. Ini juga kan acara resepsi pernikahan kamu. Kamu berhak hadir di sana," rayu Mama Sulis, atau sebut saja Mama mertuaku sekarang.
Mama Sulis memang menolak mentah-mentah ideku, yang tak ingin hadir di acara resepsi nanti. Karna baginya. Aku berhak mendapat kebahagiaan yang sama seperti menantunya yang lain. Yaitu kak Audi.
Akan tetapi ... bagaimana mungkin bisa sama, kalo arti kehadiran kami saja berbeda.
Kak Audi istri yang diinginkan. Sementara aku? ... sudahlah.
"Nggak, Mah. Rara gak mau. Cukup sampai sini aja, Rara terlihat jadi orang ketiga di antara mereka. Rara gak mau makin merusak kebahagiaan Kak Sean dan Kak Audi lagi." Aku bersikukuh dengan keputusanku.
"Tapi, Ra--"
"Lagipula, permintaan Alm Papi cuma supaya Rara menikah dengan Kak Sean aja, kan? Nah, sekarang Rara udah nikah dengan Kak Sean. Rara udah jadi istrinya seperti permintaan Papi. Jadi, Rara rasa, Rara udah gak punya hutang lagi, Mah."
Mama Sulis terlihat membuka dan menutup mulut. Seperti ingin menyampaikan sesuatu, tapi ragu.
"Mah, tolong ngertiin posisi Rara, ya? Rara bener-bener gak mau makin bersalah sama Kak Sean dan Kak Audi. Rara ... benar-benar gak nyaman sama posisi ini, Mah," mohonku Akhirnya.
Mama Sulis pun menatapku dengan intens. Membuatku ingin sekali menangis melihatnya.
Kalau saja tak ingat, dia sekarang adalah Mama mertuaku. Aku ingin mengadu seperti dulu.
Aku ingin merajuk, dan curhat seperti yang biasa aku lakukan selama ini. Tapi ... bisa kah aku menganggap Mama Sulis seperti dulu? Karna kini statusnya sudah berganti dalam hidupku.
Bukannya aku ingin menutup diriku sekarang. Hanya saja ... apa pantas, aku mengeluh tentang pernikahan, yang juga milik anaknya.
"Tapi, kalo Sean atau Audi nanyain kamu, gimana?" tanya Mama Sulis lagi. Membuat aku menghela napas berat mendengarnya.
Karena sejujurnya, aku bahkan tak yakin mereka akan menyadari keberadaanku di sana nanti.
Oke. mungkin Kak Audi akan menyakan keberadaanku. Tapi kurasa untuk Kak sean? Justru inilah yang dia inginkan.
Karena ... dia pasti tak suka di bilang, sebagai pria yang suka poligami. Sekalipun dia memang tampan. Tapi, aku mengenal Kak Sean dengan Baik.
Dia membenci poligami. Karna ayahnya dulu meninggalkan dia dan ibunya karna berpoligami.
Lagi pula, melihat raut wajahnya tadi pagi saja, aku sudah yakin. Justru dia akan bersyukur dengan ketidakhadiranku nanti.
"Mama bilang aja aku capek. Mama tau kan, aku baru landing subuh tadi. Sejujurnya aku memang masih jetlag. Jadi ... please ya, Mah." Aku memberikam alasan logis untuk ketidakhadiranku Nanti. Karena memang itulah kenyataanya.
Seusai pemakaman Papi. Aku memang kembali pergi ke Ausy. Untuk mengurus surat ijin pada kampusku. Setelah itu, baru pulang kembali untuk menikah.
Aku, memang masih kuliah saat ini. Masih tengah semester malah. Karena itulah, kematian Papi benar-benar menjadi pukulan hebat untukku.
Sekali lagi Mama Sulis menatapku dengan lekat. Pandangan matanya seperti biasa selalu menenangkan. Membuatku selalu ketagihan untuk melihat sinar mata itu setiap hari. Bahkan rasanya, aku rela menukar apapun untuk sinar mata itu agar tak meredup.
Setelah lama, akhirnya Mama Sulis pun mengangguk. Lalu memelukku erat dan mencium keningku lama. Sebelum pergi meninggalkanku setelahnya.
Lalu, selepas Mama Sulis pergi. Aku langsung mengunci pintu kamarku dan berlari ke kamar mandi. Kemudian menyalakan shower di sana.
Aku ingin menangis sepuasnya sekarang di bawah shower. Agar tak ada yang bisa mendengarnya.
Tuhan ... bisa kah aku bertahan dengan pernikahan ini? Bisakah aku hidup menjadi nomer dua seperti ini?
Sejujurnya aku seperti wanita biasa lainnya. Ingin menjadi hanya satu-satunya untuk suamiku, dan ingin memiliki moment indah pernikahanku sendiri. Agar kelak bisa kubagi pada anak-anakku. Bahkan pada cucuku.
Akan tetapi, kalau kenyataannya seperti ini?
Apa yang bisa kubangga, kan?
