Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Tak Kuat Iman

Ampuni hamba Tuhan. Setelah menyentuh sekretarisku, Alina, hamba janji akan bertobat.

_______

Ponselku bergetar saat di mobil. Dari Alina.

[Apa sudah Tuan terima? Saya jadi tak sabar menunggu pekerjaan hari ini selesai Tuan.]

"Hem, apa maksud Alina?" Aneh sekali gadis itu. Apa dia sedang membicarakan liburan di Bali?

Hemm, jadi malam ini aku harus pamit kerja lembur? Heh. Tapi apa maksud sekretarisku, tentang aku sudah menerima apa belum? Apa dia mengirim sesuatu?

Aku pun berniat menanyakan untuk memperjelas maksud Alina? Namun, panggilan dari nomor lain membuatku urung melakukannya.

"Yumna?" Ish, apa yang ia perlukan sekarang? Pasti tentang ibunya.

"Hallo?" sapaku.

"Hallo, Tuan. Saya sedang berada di minimarket mencari sayuran. Saya hanya ingin bertanya masakan yang Nyonya Adiwijaya suka?"

Dugaanku salah. Kenapa dia terdengar ceria? Dia juga perhatian pada orangtuaku.

Aku segera menggeleng. Tak boleh lengah oleh sikapnya yang baik di depan, tapi menusuk di belakangku seperti tadi pagi.

"Mama suka pecel, selain salad kue surabi."

"Oke." Tut ... panggilan terputus.

"Benar-benar tak punya sopan santun dan semaunya sendiri mematikan ponsel!" makiku. Meski sia-sia karena Yumna tak mungkin mendengar. Tetap saja aku merasa perlu mengatainya agar hatiku puas.

______________

Di kantor ....

Aku tengah serius mendengarkan penjelasan Pak Jim di ruanganku. Tentang bagaimana keadaan Ibu Yumna, dan apa yang sebenarnya terjadi.

"Tadinya saya mencari tahu siapa yang memberikan bius ibu mertua Tuan dengan mencari data orang-orang terdekatnya. Namun, ada yang mengejutkan, Tuan." Pak Jim bicara dengan raut serius.

"Apa itu?" Tubuhku bahkan sampai menegang dan tak sabar.

Siapa penjahat yang membius ibu Yumna saja sudah cukup membuatku diliputi rasa penasaran, kini ditambah berita lain yang katanya sangat mengejutkan.

"Detektif itu bilang, sebelum lahir Yumna. Ibu Yumna pernah melahirkan seorang bayi perempuan yang ditinggal di panti asuhan." Pak Jim menjelaskan.

"Apa? Jadi Yumna punya Kakak. Kalau begitu selidiki siapa bayi itu, tanyakan pada pihak panti.

Kalau mereka menolak dengan alasan privasi, berikan imbalan sebanyak yang mereka mau asal info tentang ibu Yumna terang benderang," perintahku panjang lebar. Entah, kenapa aku jadi punya firasat buruk karena keberadaan saudara Yumna. Bagaimana kalau ternyata ... Bianca. Ah, itu tidak mungkin!

Wajah yang mirip sama sekali bukan jaminan dua orang punya hubungan darah. Kecuali ada tes DNA. Tapi apa iya itu perlu?

Kalau pun perlu, rasanya tak mungkin. Aku bahkan tak tahu di mana keberadaan Bianca. Tak ada satu pun orang suruhanku yang menemukan lokasi gadis itu berada.

"Iya. Harusnya begitu. Tapi masalahnya ...." Suara Pak Jim melemah. Pasti ada yang tak beres.

"Kenapa?"

"Panti asuhannya sudah tak ada lagi, sejak lima tahun lalu, Tuan. Jadi akan sangat sulit mencari data-datanya." Pak Jim menjelaskan sebab hal tersebut tak bisa dilakukan dengan mudah.

Huft. Tidak semudah yang kubayangkan. Tak lama Alina masuk, karena memang aku memanggilnya. Sampai kantor aku baru saja ingat, ingin menanyakan maksud pesannya tadi.

"Kalau begitu saya permisi, Tuan." Pak Jim pun paham dan berpamitan keluar dari kantor.

"Ya, Tuan. Ada yang bisa saya bantu?" Alina tersenyum manja. Duh, dia berusaha menghiburku. Seperti ini rasanya ujian, saat di rumah kita dimaki-maki dan direndahkan oleh istri, di luar wanita lain sudah siap menyerahkan dirinya.

Entah, magnet apa yang menghisapku berjalan ke arahnya. Dua pipi Alina bersemu malu.

"Katakan, apa maksud chatmu tadi?" Kuselipkan rambut Alina yang jatuh menutupi wajah pualamnya ke telinga.

Perempuan itu tampak semakin malu. Ah, lelaki normal sepertiku melihat gadis cantik sepertinya menyerahkan diri, tak mungkin kusiakan. Ini juga kesempatan, menunjukkan pada Yumna bahwa aku pria perkasa yang bisa menaklukkan seorang wanita.

"Itu, soal tiket Tuan."

"Sttt ...." Kuletakkan jemari telujuk di bibir tipisnya yang merah. Lalu mendekat ke sana.

Ampuni hamba Tuhan. Setelah ini hamba janji akan bertobat.

Namun, di saat yang sama, sebelum sempat menyentuhnya, ponselku berdering.

Hingga aku mendesah karena merasa terganggu. Kutarik tubuhku dari Alina dan meraih ponsel tersebut. Perempuan itu jadi tampak canggung karena upayaku menciumnya gagal.

"Hallo, Dev!" Suara Mama langsung meninggi.

Ada apa ini?

"Ya, Ma?"

"Pulang sekarang. Sebelum kamu buat Papamu mati mendadak karena serangan jantung!"

"Ada apa Ma? Apa ada masalah?!"

"Cepat pulang!" Panggilan diakhiri begitu saja oleh wanita yang melahirkanku itu.

Kalau sudah Mama bicara aku bisa apa?

Akhirnya kuminta Alina keluar dengan wajah kecewa. Sementara aku langsung pulang sebagaimana kemauan Mama. Bahkan saat Alina meminta bicara sebentar dengan mencegatku di depan pintu, aku menolaknya.

"Maaf, kita bahas ini nanti. Oke?"

"Baik, Tuan."

_____________

"Apa ini, Dev?!" Mama melempar sebuah amplop ke atas meja. Kuraih pelan benda tersebut. Penasaran, kenapa bisa membuatnya begitu marah padaku.

Mataku melebar, begitu melihat dua lembar tiket tujuan Bali ada di sana.

"Tap-tapi ... Dev tidak membawa tiket itu ke rumah." Aku berpikir keras, apa yang sebenarnya terjadi. Dan menduga banyak kemungkinan.

"Tutup mulutmu! Kenapa ada nama wanita lain di sini, bukan malah Bianca?!"

Tiba-tiba saja aku ingat kejadian tadi pagi, saat Yumna melihatku dengan mata memicing di depan pintu. Sebelumnya ponselku di kamar seperti ada yang membukannya. Lalu pesan Alina yang mempertanyakan barang kirimannya sudah kuterima apa belum?

Kalau begitu, Yumna lah yang meminta Alina membawa tiket ke rumah ini. Tanganku terkepal. Marah pada Yumna yang lancang membuka ponselku dan memberi perintah pada Alina. Dia pikir dia siapa?

Karena perbuatannya, Mama marah besar! Kamu benar-benar melampaui batasmu Yumna!

"Eum, Ma. Devian bisa jelaskan. Semua tidak seperti yang Mama pikirkan. Mana mungkin aku pesan tiket sekamar dengan sekretarisku? Itu konyol, haha." Aku coba berkilah.

Namun, Mama tampaknya tak terima dan kembali membentak.

"Diam! Hubungi istrimu sekarang! Mama ingin tahu, seperti apa kehidupan kalian sebenarnya? Atau jangan-jangan kamu hanya pura-pura menyukainya?!" Mata Mama menyipit penuh kecurigaan padaku.

Ya Tuhan, belum lagi menikmati apa yang Alina tawarkan, aku sudah dapat batunya lebih dulu. Sekarang, habislah aku! Apa yang bisa kulakukan?

"Devian! Cepat telepon istrimu!" Mama kembali membentak.

Tentu saja aku jadi terhentak kaget dan secara refleks meraih ponsel dalam saku kantong untuk menghubungi Yumna.

"Hallo, Sayang," sapaku pada orang di ujung telepon. Aku pasti sudah gila, bermanis-manis pada wanita yang sangat aku benci sekarang ini.

"Ya, Tuan?"

"Pulanglah sekarang."

"Sekarang? Tapi saya harus mengambil satu jam pelajaran lagi."

Apa? Bukannya dia tadi bilang sedang ada di minimarket? Dasar Yumna, apa dia sedang membohongiku sekarang? Jangan-jangan dia sedang bersenang-senang dengan teman lelaki yang juga mahasiswa di foto tempo hari?

"Yah, sekarang. Lupakan untuk kelasmu. Ini sangat mendesk!" paksaku padanya. Dia pikir aku lelaki yang mudah dibodohi?

Bersambung

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel