Bulan Madu yang Tak Direncanakan
Tanganku refleks terkepal, di atas meja ruang kerja keluarga Adiwijaya. Kesal. Tak menyangka jika Alina kecolongan untuk hal yang harusnya menjadi rahasia antara dirinya dan aku saja.
Perselingkuhan adalah hal yang menjijikkan untuk Mama. Melihat bagaimana dia bertindak tegas untuk hal-hal semacam itu sejak lama. Wanita itu seperti memiliki trauma.
Ah, ini sangat memalukan.
"Kamu sangat ceroboh Nona Alina. Bagaimana bisa kamu mengirim tiket ke rumah? Padahal kamu tau orang tuaku tiba kemarin," omelku dengan gaya elegan, bagaimana seorang bos bicara pada bawahannya.
Perasaan dan debar-debar sebab ingin mereguk sebuah kenikmatan darinya hilang dalam sekejap. Kini hanya menyisakan sebuah kekesalan.
Ah, ini bukan salah Alina sebenarnya. Tapi Yumna, yang berpura-pura jadi Devian dan meminta Alina mengirim benda laknat yang membuat gaduh itu ke rumah.
"Sa-saya minta maaf, Tu-tu-an. Tapi Nyonya Yumna ...." Suara di ujung telepon bergetar.
Jelas saja. Tak usah dia beritahu bahwa itu kelakuan Yumna yang ternyata licik. Aku sudah tahu dan bisa membaca keadaan. Tapi tetap saja, Alina juga salah. Tidak mencari tahu dulu, dan memastikan bahwa akulah yang memintanya.
"Sudah tidak perlu menyalahkan perempuan itu. Harusnya kamu pastikan lebih dulu apa pesan itu aku yang mengirimnya. Sekarang semua kacau, ini bukan cuma masalah besar untuk pernikahanku tapi juga perusahaan! Dan sekarang tidak ada yang bisa kamu lakukan untuk memeperbaiki." Suaraku meninggi. Menahan emosi sejak tadi. Dan ketika sudah melampiaskan seperti ini rasanya benar-benar lega.
"Sekali lagi maaf Tu ...." Ucapan Alina belum selesai. Namun, saking kesalnya, aku memutus telepon dengan kasar. Tak ada gunanya permintaan maaf Alina. Dan tidak mengubah apapun.
Satu-satunya harapanku sekarang hanyalah Yumna. Sikap perempuan itu hari ini akan menentukan nasibnya ke depan. Entah, dia akan menghancurkanku karena sebenarnya masih menyimpan dendam atau mau berbaikan. Itu artinya, aku harus bersikap baik padanya.
Huft. Ini melelahkan. Bahkan ketika emosi ini di ubun-ubun aku harus tetap bersikap manis padanya.
_________
Aku sudah mengirim sopir untuk menunggu Yumna di parkiran universitaa. Aku memang harus bergerak sangat cepat, seolah tidak ingin kehilangan waktu bahkan sedetik.
Tak lupa kukirim banyak dialog agar Yumamna punya jawaban saat berada di depan Mama.
Aku tak mengomel atau marah padanya, semata untuk menjaga mood gadis itu saat berhadapan dengan orang tuaku.
Sekitar setengah jam, mobil mewah yang membawanya memasuki parkiran rumah megah di sebuah grandplace yang kami tempati.
Ketika perempuan itu masuk, Mama dan Papa sudah menunggunya di ruang tengah. Sementara aku yang tak sabar menyambutnya di depan. Lalu segera membawanya ke ruang tengah untuk bergabung.
"Oya, apa kamu sudah menghapalnya? Itu teks darurat," ucapku berbisik di sela langkah kami. Yumna pun mengangguk.
Awalnya ruangan itu tampak hening, tidak ada pembicaraan di antara mereka. Ada hawa yang tak biasa yang kurasa di tempat ini. Wajah-wajah mereka nampak tegang, pun aku, meski sudah berusaha untuk tersenyum karena rasa tak nyaman pada kedua orang tuaku.
"Assalamualaikum." Yumna mengucap ragu. Dia terlihat takut.
Ah, kenapa juga dia memasang wajah dengan rasa bersalah pada orang tuaku. Harusnya dia hanya merasa bersalah padaku, dan itu akan aku urus nanti. Sedang saat ini ... harusnya dia bersikap stay cold.
"Waalaikumsalam." Semua orang menjawab tidak bersemangat.
"Duduklah, Sayang." Aku menggeser tubuhnya memberi tempat Yumna. Huft! Aku pasti sudah gila bisa selembut ini pada Yumna.
"Ada apa, ini?" Perempuan berhijab itu berbisik padaku. Aku menggeleng pelan. Berpura-pura tak tahu apa yang terjadi. "Apa yang terjadi sebenarnya?" bisik Yumna.
"Ehem." Mama berdehem. Ia tak suka anak dan mantunya itu berbisik-bisik di depan mereka.
"Em, begini ...." Ucapan Papa menggantung karena sang istri memegang pahanya.
"Begini, Yumna atau Bianca. Atau siapa lah nama kamu. Yang perlu kamu ketahui, bahwa keluarga Adiwijaya adalah keluarga yang menjaga kehormatan. Bukan hanya di depan banyak orang termasuk kolega kami. Tapi, kami menjaga di luar dan dalam. Dan sebagai wanita yang memegang peranan penting dalam keluarga ini, sebagai istri pimpinan, aku bahkan turun tangan langsung, memperlihatkan pada semua orang bahwa kami adalah orang yang bermartabat." Mama akhirnya mengeluarkan semua apa yang mengganggu pikirannya sejak pagi. Sudah persis Trump sata berpidato pada rakyatnya.
Semua orang diam, tidak ada yang berani mencelanya ketika sedang marah seperti sekarang. Bahkan Papa, yang dikenal sebagai Tuan Adiwijaya. Kepala keluarga yang paling dihormati di antara kami.
Seperti yang aku katakan pada Yumna, bahwa gadis itu harus juga diam. Sampai Nyonya besar di hadapan kami berhenti bicara hingga tak ada satu kata pun tersisa.
"Sandiwara di depan publik memang bukan masalah jika itu diperlukan untuk menjaga nama baik. Tapi kebohongan tidak dibenarkan dalam keluarga. Banyak hal aneh yang kurasakan sejak Devian memutuskan menikah dan kami baru bisa bertemu menantu kami sekarang," lanjut Mama lagi.
Tatapan nyalang dan mengintimidasi Nyonya itu tujukan pada Yumna. Sedang ia yang menjadi istri seorang Devian, sekarang hanya bisa menunduk. Sedikit pun tidak berani membantah.
Aku yakin dia sadar telah melakukan sebuah kesalahan, tapi mencela pembicaraan wnaita itu adalah seburuk-buruk adab dalam keluarga.
Walau bagaimana Nyonya Adiwijaya adalah mertua, orang tua keduanya setelah ayah ibu. Yah, aku dengar gadis-gadis yang taat agama sangat menghormati mertua mereka.
Karena posisi mertua sejajar dengan orang tua yang melahirkan.
Wanita paruh baya yang penampilannya selalu nampak segar itu, akhirnya membuang napas kasar menutup omelan. Ketika ia meminta Yumna bicara, akhirnya perempuan itu membuka suara.
Yumna meletakkan sebuah kartu identitas. Apa itu? Apa dia akan jujur bahwa selama ini dia hanya menantu kedua, ratu palsu yang kugunakan untuk kepentingan bisnis dan keluarga?
"Apa itu?" Pertanyaan seketika keluar ketika Nyonya besar melihatnya. Aku dan Papa hanya saling pandang, kami tahu bahwa Yumna akan melakukan sesuatu. Dan itu tak ada dalam dialog. Sial! Apa yang direncanakannya kali ini? Apa dia menjebakku?
"Ini tanda pengenal saya, Ma." Mata bulat perempuan berkerudung itu kini berani menatap sang mertua.
Ragu, Mama mengambil benda kotak tipis yang Yumna sodorkan untuknya. Tertera nama 'Yumna Syahida' di atas tanda pengenal itu.
"Yumna Taqiyya nama asli saya, Ma. Sedang Bianca itu julukan saya, asal usul keluarga saya sama seperti yang saya sampaikan kemarin dan Mama bisa mengeceknya sendiri." Pelan tapi tegas suara itu terdengar, tidak terlihat keraguan sedikit pun di raut wajah perempuan itu. Ia tidak ingin berbohong sepertinya, yang bisa membawa masalah lebih besar di kemudian hari.
Mendengar itu Nyonya besar melihat ke arah anaknya ini, membuatku jadi salah tingkah.
Gawat, kenapa Yumna bicara semaunya sendiri. Kalau sudah begini aku bisa apa?
Aku pun refleks menggaruk kepala tak gatal karena bingung. Begitu sadar langsung kulepaskan.
Apa yang aku sampaikan pada Mama lagi-lagi tak bersesuaian dengan sesuatu yang datang dari Yumna. Aku menyenggol perempuan di sampingku, bermaksud memberi kode, tapi diabaikan. Sialan!
'Gawat, apa perempuan gila ini akan membuat masalah?' Aku semakin cemas melihat reaksinya. Baru saja Yumna bicara, semua semakin kacau.
"Kamu salah lagi Devian. Kenapa kamu tidak meluangkan waktu untuk mengetahui semua tentang istrimu! Suami macam apa yang tidak tau nama dan julukan istrinya?!" Mama nampak geram, bahkan aku bingung akan membantah dengan argument apalagi.
"Maaf Ma. Jangan salahkan Mas Devian, saya bisa maklum karena dia sangat sibuk mengurus perusahaan besar milik keluarganya." Yumna melihat sekilas padaku dengan pandangan iba.
Mataku sampai menyipit, mencari tahu eksrpesi apa itu? Apa yang dia pikirkan sekarang.
Pikiranku tak karuan, 'Sadarlah Yumna, kembali lada dialog!'
Kini mata dua orang lain di ruangan itu hanya tertuju pada Yumna.
"Oya mereka panggil saya Bianca, karena katanya saya mirip artis itu."
"Artis?" Mama dan Papa mengucap berbarengan. Sedang aku mengacak rambut, aku merasa apa yang dilakukan Yumna akan membawa kemarahan lebih besar pada Mama.
Kenapa dia jadi merepet ke mana-mana, sih?
Yumna mengangguk pelan menjawab pertanyaan Mama.
"Yang mana? Apa kamu beralibi?" Mata Mama memicing.
"Oh tidak Ma, itu artis baru di negara barat yang sangat Mas Devian idolakan. Dia bukan cuma seorang aktris tapi juga pengarang drama yang hebat. Mama mungkin tidak tau karena dia baru naik daun. Hehe."
"Oke. Kami memang payah soal dunia hiburan." Mama nampak percaya. Gila! Yumna bisa menaklukkan hati seorang Nyonya Adiwijaya.
Tapi aku menjadi bernapas lega. "Lalu jelaskan soal tiket ke Bali itu. Apa kamu juga tau? Suamimu akan ke Bali dengan sekretarisnya dan akan tidur satu kamar."
"Oh, Mama salah paham lagi. Tiket itu untuk Mas Devian dan saya. Sedang nama sekretaris itu hanya untuk mempermudah reservasi saja. Yah, Mama tau kan kami tidak ada waktu mengurus yang begituan." Yumna bicara selogis mungkin, ia membuat rencana Devian terlihat alami.
"Kami belum sempat membahasnya, dan setelah diskusi lebih baik kami menundanya karena kedatangan Mama dan Papa."
Daebak! Gadis itu di luar dugaan.
Penjelasan Yumna itu membuat kedua mertuanya manggut-manggut. Aku pun sekarang benar-benar lega karenanya.
"Yah, baiklah. Maaf jika ucapan Mama tadi sedikit kasar. Kalau begitu jangan tunda bulan madu kalian, apalagi hanya karena kedatangan kami. Karena Devian dan Papamu juga perlu ke Bali besok, ayo kita berangkat sore ini, agar bulan madu kalian tidak terganggu." Suara Nyonya Adiwijaya sudah melunak. Bahkan ada senyum di raut wajahnya.
"Sekarang Ma?" Yumna terkejut. Sama halnya denganku.
"Bukannya Devian sudah memberitahumu? Dia yang bilang waktu aku memergoki tiket bulan madu kalian tadi."
Bersambung
