Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Kemelut Dunia-4

"Tak seburuk yang aku kira, dia terbiasa denganmu sebagai papanya dan kini ada yang menjadi papa barunya."

"Dan lebih muda." Jefry menimpali.

"Kau benar."

"Dan?"

"Oh, begini Jef, kau tahu Irene sudah tinggal denganmu berbulan-bulan. Jadi, aku pikir kau akan kau akan mengijinkan dia tinggal bersamaku, hanya beberapa minggu karena bulan depan aku harus kembali ke Paris." Salma menggigit ujung kukunya karena cemas.

"Begitu? Itu kurasa ide bagus jika Irene setuju. Dia pasti juga merindukanmu, lagi pula aku juga jarang di rumah," ujar Jefri pada Salma di seberang telepon.

"Terima kasih, Jef!" Salma merasa senang karena dapat ijin dari mantan suaminya itu.

Ia segera menghubungi nomer telepon Irene, mengatakan bahwa papanya setuju saja akan idenya. Irene mau tak mau juga harus mengiyakannya, ia merasa semakin tak bisa berkutik.

"Sayang, kamu nangis, ya?" tanya Salma mendengar suara parau Irene. Ia menarik tangannya yang berada di genggaman erat tangan Melvin.

"E, tidak kok, Ma. Hanya sakit tenggorokan saja," jawab Irene beralasan. Melvin memgecup punggung tangan Irene berkali-kali.

"Ya sudah, kamu sudah ada di jalan sama Papa Melvin mengambil barangmu?"

"Iya, sudah kok, Ma," jawab Irene memejamkan matanya, Irene menahan sekali agar tak berteriak pada pria di sebelahnya itu agar tak mengelus punggung tangannya terus menerus dan menciuminya.

"Oke, bye Sayang," ujar Salma lalu menutup teleponnnya.

Irene menarik tangannya dari genggaman tangan Melvin dengan kasar. Ia mengelap bekas ciuman Melvin ke celananya, ia merasa tak suka sekali dengan Melvin.

"Apa kata sandi ponselku! Seenaknya kau menggantinya dengan sandi lain." Irene menatap Melvin tak suka.

"Kata sandinya, melvin sayang tanpa spasi dan semuanya huruf kecil. Mudah bukan?" tanya Melvin dengan senyum setannya.

"Kau gila!"

"Mungkin gila adalah nama tengahku sekarang. Bagus bukan? Abraham Melvin Gila Kyre. Hmm, bagus juga, aku suka." Melvin mengejakan namanya dengan senyumnya yang semakin gila.

Irene mencoba menghubungi Stevan. Dia harus menceritakan kegilaan pria yang sudah merebut kegadisannya itu kini menemukannya.

"Halo, Ren, bicaralah."

"Bisakah kita ketemu sebentar?" tanya Irene segera.

"Aku-" ucapan Stevan terputus dan ponselnya direbut Melvin.

"Aku sudah bilang padamu, aku tak suka kau berhubungan dengan pria selain aku! Hanya ada aku pria satu-satunya di hidupmu." Melvin merebut ponsel Irene membukanya dan mematahkan simcard Irene dan melemparnya ke jalan membuat Irene berang.

"Apa yang kau lakukan!!" teriak Irene. Melvin menepikan mobilnya karena Irene memukulinya.

"Dengar ucapanku baik-baik, Sayang. Hanya ada aku di hidupmu, tidak ada pria atau teman pria, termasuk kekasih dalam hidupmu selain, aku." Melvin mantap mengatakannya.

"Ingat Melvin! Kau itu papaku bukan suamiku! Jadi jangan memerintahkan aku seenak jidatmu!" Irene membelalakkan matanya saat berbicara dengan Melvin.

"Kau milikku, di Paris maupun di sini, sekarang dan nanti." Melvin kembali melajukan mobilnya sementara Irene diam membuang mukanya ke arah jalanan yang dilewati dengan mobil Melvin.

Rumah besar milik mamanya sudah terlihat. Ia segera turun mengabaikan Melvin dan mengunci pintu kamarnya. Ia menangis di balik pintu kamarnya, membanting ponselnya yang tanpa simcard itu ke atas karpet dan membentur dinding.

Ketukan pintu kamar di belakangnya tak ia kiraukan. Melvin mengatakan bahwa kopernya berada di depan kamarnya sementara Irene tak bergerak dari posisinya.

Masih ada lima jam lagi sebelum siaran, ia tak mau suaranya menjadi serak dan mengganggu pekerjaannya.

Ia hanya punya satu nomer ponsel, jika beli baru pun ia tetap tak bisa menghubungi siapapun, Melvin benar-benar menjeratnya. Sementara Melvin berdiri di depan kamar Irene dengan menyandarkan punggungnya tanpa suara hanya tersenyum pada suara tangis Irene.

"Kau tak pernah tahu kemelut apa yang melingkupimu. Aku tak akan biarkan siapapun menyakitimu, jika perlu nyawaku taruhannya," geram Melvin dalam hati.

Irene tertidur di atas karpet ruang kamarnya, ia tak peduli pada apa yang dikerjakan Melvin di luar kamarnya, yang jelas ia merasa lelah dan ingin tidur. Karpet berbulu cokelat itu menyambut tubuhnya yang bergetar pelan karena menangis.

Flashback

Seorang wanita dewasa terbaring tak bernyawa setelah tubuhnya bergetar hebat. Nyawanya sudah keluar dari raganya, diam memandang wanita yang tega menyuntikkan cairan dalam jarum suntik itu pada tubuhnya.

Memutus apapun yang berkaitan dengan kehidupannya dan memberikannya pada tangan malaikat kematian. Sementara wanita yang berdiri menatap raganya yang diam, tersenyum puas. Ia bahkan tersenyum lalu tertawa mengangkat salah satu tangan raganya ke udara dan tertawa kembali. Wanita itu memastikan bahwa dirinya sudah meninggal.

Ruang kamar yang temaram tak akan mampu memyembunyikan wajahnya dari penglihatan mata penuh kebencian seorang anak berusia sepukuh tahun. Anak lelaki yang bersembunyi di balik pintu kamar ibunya itu bergetar, bukan karena takut, ia menggambar wajah orang yang tega meracuni ibundanya yang baru pulang dari rumah sakit. Wanita itu melihatnya, menatapnya dan berjongkok di depannya.

Apa yang bisa dilakukan oleh anak lelaki berusia sepuluh tahun? Ia hanya bertanya, mengapa ibunya diam saja saat ia panggil? Wanita itu hanya berkata,

"Anak manis, biarkan ibumu istirahat ya." Wanita itu mengelus pipinya, menciumnya dengan noda lipstik yang menempel di pipinya lalu pergi.

Anak lelaki itu meraung menangisi ibunya yang tak bergerak. Ia memeluknya sepanjang malam, hingga fajar menyingsing ia masih terjaga dengan air mata yang mengering di pipinya.

Beberapa orang datang dan menanyakan pertanyaan yang tak pernah ia jawab dengan benar. Ia hanya diam, saat dokter memeriksa ibunya, ia diam saat semua pelayat menyalaminya mengucapkan bela sungkawa.

Ia juga diam, saat peti mati berisi jasad ibunya tenggelam dalam gelapnya tanah. Ia berdiri memandangi makam ibunya berjam-jam, enggan pulang meski tetangganya yang baik mengajaknya pulang.

Tak ada lagi wanita dewasa yang berwajah cantik, memiliki senyum indah itu menyambutnya. Membuatkannya cookies yang enak atau softcake yang lembut. Yang ada hanyalah wanita dewasa bergincu merah menyala tersenyum manja di depan pengacara. Pria dewasa di depannya meminta tanda tangannya, ia sama sekali tak tahu untuk apa tapi ia menandatanganinya di bawah ancaman wanita dewasa bergincu merah menyala itu.

Tawanya menggema di seantero rumah besar miliknya, satu per satu pembantu yang ada di rumahnya turun dengan membawa koper. Mereka menatap sendu wajah anak lelaki berusia sepuluh tahun itu, mengusap lengannya sambil berkata,

"Jaga dirimu baik-baik dirimu tuan muda." Pelayan-pelayan itu menatapnya sedih.

Ucapan yang mereka berikan sama, memintanya menjaga dirinya sendiri baik-baik. Orangtua kandungnya sudah menyatu dengan lembabnya tanah pekuburan. Tak ada lagi yang memasakkannya sup hangat di meja makan, atau menyapanya dengan hangat wanita-wanita yang membawa kemoceng di tangannya.

Seluruh harinya ia habiskan dengan menundukkan kepala, dimarahi guru mungkin jadi hobinya sekarang. Ia hanya duduk diam menundukkan kepalanya di atas meja bangku atau melihat ke arah luar di balik jendela kaca di sebelah kanannya.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel