Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

12. Langit Cakrawala

"Mereka pergi di saat Ku terpuruk, tapi kamu datang membawa bahagia untuk ku."

Langit menatap kosong ke arah langit Senja dari balkon kamarnya. Langit Senja adalah hal yang paling dia sukai dari dulu. Perpaduan warna yang sangat pas menurutnya. Mereka akan selalu bersama walaupun hanya sebentar. Dan akan menghilang, tergantikan dengan Langit Malam.

Langit memejamkan matanya saat rasa pusing itu kembali menyerangnya. Perlahan dia duduk dan bersandar di pintu balkon. Membiarkan dirinya di terpa angin sepoi-sepoi dari balkon kamarnya.

"Langit Senja. Seperti nama Ku dan kamu." Langit terkekeh saat mengingat wajah Senja.

Dia mengambil hapenya di saku celana. Di sana terdapat foto dirinya dan Senja yang sedang duduk berdua di saat jam kosong di kelas mereka. Langit memilih duduk bersama Senja, karena teman sebangku Senja sedang tidak masuk.

Langit tersenyum kala melihat foto Candid Senja, yang dia ambil secara diam-diam. Di foto itu, Senja   tengah tersenyum manis saat melihat menu es cream di cafe dekat sekolah mereka. Langit mengusap foto itu dengan ibu jarinya.  Beberapa foto Senja bergulir, kebanyakan foto, dia ambil secara candid.

"Nggak tahu kenapa, aku jatuh cinta sama kamu." Langit terkekeh saat mengingat dia hampir saja menyatakan cinta ke Senja saat itu. Tapi pengendalian dirinya sangat hebat, bahkan Senja tidak tahu bagaimana perasaan Langit saat ini padanya.

Tring

Okta gesrek

Bangit (bang Langit)

Kak Senja kangen

Wkwkwk

Tapi boong

Langit tersenyum kecut, kala membaca sebuah pesan bahwa Senja kangen. Mana mungkin Senja beneran kangen dirinya. Langit memang sangat menantikan momen dimana Senjanya kangen dirinya. Mungkin itu cuma angan-angan semata.

Senja ❤ calling...

Jantung Langit langsung berpacu tak karuan. Dia bahkan mencubit pahanya sendiri untuk memastikan kalau dia tidak mimpi. Sakit, itu yang dia rasakan, saat bekas merah bertengger di pahanya. Dengan semangat 45, Langit langsung menggeser tombol hijau.

"Halo."

"Lang, kamu dimana?." Suara halus Senja sudah masuk ke pendengarannya.

"Di hatimu."  lirihnya.

"Hah? Kamu ngomong apa Lang? Aku gak denger." Langit menggigit bibir bawahnya.

"Di rumah. Kenapa Ja?." bego Langit bego. Bisa-bisanya coba Alay.

"Gak Papa. Cuma sepi aja gitu gak ketemu kamu beberapa hari ini." perkataan Senja telah berhasil membuat senyuman Langit terbit.

"Lusa sekolah Ja. Jan bikin aku baper  dong!." Langit bisa mendengar suara tawa senja di sana. 

Ketawa aja bikin kangen. Batin Langit. 

Nyuttt

Kembali Langit merasakan pusing yang menyerang di kepalanya, tapi ini lebih dahsyat sakitnya. Dia bahkan tidak mendengarkan apa yang Senja katakan. Langit memejamkan matanya, dia berusaha untuk menghalau rasa sakit yang menguasai dirinya.

"Ja, aku di panggil sama Mama. Bye." 

-tut-

Langit berusaha berdiri walau dia tertatih. Dia harus menuju nakas sebelah tempat tidurnya .di sana, dia menyimpan obat pereda pusing. Langit meminumnya, setelah memejamkan matanya kala pusing itu sedikit demi sedikit mereda.

"Sampai kapan ini terus berlanjut. Sampai kapan umurku akan bertahan." Langit memandang nanar ke arah botol obat.

???

Kehidupan masa SMA adalah yang paling penting untuk di kenang. Sebisa mungkin dirinya bisa bergaul dan memiliki banyak teman. Menambah fans kalau perlu, jadi akan tetap ingat, jika lelaki ini akan selalu di kenal orang lain.

Dug

Bola basket itu memantul ke arah Langit. Dia dengan sigap mengambil alih, untuk mendrible bola.

"Oper sini Lang." Langit mengoper bola basket di tangannya ke Anji. 

Siapa yang menyangka, geng Anji sudah akrab dengan Langit dan Okta. Bahkan mereka juga sering main basket bersama di saat jam istirahat seperti saat ini.

Mereka kini  duduk di tepi lapangan basket untuk beristirahat. Senja yang baru saja keluar dari perpustakaan, berjalan menghampiri mereka.

Langit melihat wajah Senja sedikit sendu. Senja memutar arah, dia tidak jadi menemui Langit dan Okta. Dia menuju toilet. Langit penasaran ada apa dengannya.

Senja duduk di kloset, saat sebuah pesan masuk menghampiri hapenya yang sedari tadi dia silent.

Tante Almira

Anak pembawa sial, aku tunggu kamu pulang sekolah nanti di cafe depan sekolah kamu.

Kita selesaikan semuanya.

Kalau perlu kamu Mati sekalian.

Senja tersenyum getir. Dia memang tidak di harapkan untuk berada di dunia ini. Dia mengeluarkan cutter kecil dari sakunya,   menggoreskan ke tangannya beberapa kali.

"Begini rasanya menghilangkan rasa sakit." gumamnya.

Senja keluar dari bilik toilet, dia mencuci tangannya tadi, agar darah itu segera hilang. Tidak ada rasa sakit yang dia rasakan. Rasanya lega. Rasa sakit yang menghimpit Langit pun.

Senja berjalan menuju lapangan kembali,  di sana,  dia melihat Langit menuju ke arahnya. Langit memegang tangan Senja yang telah dia gores tadi.

"Astaga Ja, berdarah." Senja hanya memandang Langit datar tanpa tersenyum.

Langit tidak butuh jawaban dari Senja, dia langsung menarik Senja menuju uks. Dia harus mengobati luka Senja segera mungkin.

Uks sepi, Langit mendudukkan Senja di bed, dia segera mengobati luka gores Yang darahnya sedikit mengering. Dengan sangat teliti, dia membersihkan luka Senja.

"Mau sampai kapan kamu lukai diri kamu sendiri seperti ini Ja? Ingat Bunda kamu pasti sedih." Senja akhirnya menangis kembali di pelukan Langit yang hangat.

Dia teringat akan wajah sedih Bundanya. Mau bagaimana'pun usaha Senja untuk bunuh diri, dia harus menguatkan hatinya kembali, bahwa masih ada Bunda yang sayang padanya.

"Maaf Lang... Hiks... Maaf."

???

Pusing yang di rasakan Langit telah mencapai pada batasnya. Seakan kepala dia di hantam oleh batu yang besar berkali-kali, rasanya hampir pecah.

Langit memegang kepalanya dan merintih kesakitan. Dia hanya sendiri di rumah. Kedua orangtuanya sedang pergi.

"Mungkin hidup aku gak lama.. Argh...." Rintihnya sendirian.

Senja berkali-kali mengetuk pintu, bahkan memencet bel rumah Langit, tapi tidak ada jawabannya.

Senja langsung masuk saja, dia takut kalau terjadi apa-apa pada Langit. Tadi pagi Tiana -- Mama Langit menelpon dirinya untuk segera datang ke rumah.

"Langit."  Senja berlari menuju kamar Langit di lantai dua.

Ceklek

"Langit. Ya Tuhan."  Dia berlari menuju Langit, memangku kepala Langit di pahanya.

"Senja." lirihnya, sebelum kesadaran Langit terseret dan tergantikan gelap.

Darah menetes melalui hidung mancung Langit, dia segera menelpon Okta yang sedang duduk di teras rumah Langit.

"Bantu aku bawa Langit ke rumah sakit, dia kolaps Ta."

Okta langsung berlari ke lantai dua, memasuki kamar Langit yang sepi, di sana hanya Terdengar suara tangis Senja. Okta membawa Langit di bantu dengan Senja menuju rumah sakit. Langit harus selamat.

Di rumah sakit, Langit di larikan ke UGD. Mereka berdua menunggu di ruang tunggu dengan harap-harap cemas.

"Keluarga pasien?"  seorang dokter menghampiri mereka berdua.

"Ya, gimana keadaan Langit dokter?"  tanya Senja.

"Pasien kritis. Dia harus di rawat intensif dulu di sini."

"Sakit apa dia Dok?"  tanya Okta pada akhirnya.

"Menurut riwayatnya, dia mengidap Kanker otak." Penjelasan dokter, membuat mereka berdua diam. Hanya satu pertanyaan mereka, apa mereka tahu sakitnya Langit.

???

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel