Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

02. Jatayu Bersua Langit

Kegentingan dan ketegangan kian memuncak, hingga akhirnya suara ledakan dahsyat disertai selarik cahaya putih terang membuat para pemburu berjubah hitam terpental dan saling berbenturan satu sama lain.

Namun anehnya, tidak ada satu pun dari mereka yang tampak terlihat ingin balik menyerang kepada sosok yang baru saja menyerang mereka. Para pria berjubah hitam segera bangkit. Mereka bahkan berjalan mundur sembari menyarungkan senjata masing-masing tanpa ingin melakukan perlawanan.

"Jangan menyentuhnya!" Suara bentakan keras muncul mengiringi penampakan seseorang berjubah putih dengan wajah yang tampan dan anggun. "Siapa pun yang berani melukainya barang segores saja, maka nyawa kalian akan menjadi taruhannya!"

"Akhinya ada yang datang menolongku. Terima kasih, Dewaaa!" Bocah kecil lelaki merasa sedikit lega dan sangat berterima kasih dalam hati dengan datangnya sosok berjubah putih ini. Secara tanpa sadar, ia berlari dan merapatkan tubuhnya pada orang tersebut. "Kakak Penoloong! Kakak Penolong, tolong akuuuu!"

"Kamu tenanglah! Kakak ini sudah berusaha mengurus mereka semua!" Sosok berjubah putih berkata dengan suara tenang tetapi bernada tajam. Pria itu lalu menarik tubuh bocah lelaki itu ke belakang. "Berlindunglah di belakangku!"

"Te--terima kasih, Kakak Penolong!" ucap bocah lelaki sambil menggenggam ujung jubah putih dari penolongnya.

"Pergilah kalian semua!" bentak pria berjubah putih kepada orang-orang berjubah hitam.

Para pria berjubah hitam tidak ada yang bersuara barang sepatah kata. Mereka secara serentak melangkah mundur tanpa perlawanan dan bersiap-siap untuk meninggalkan tempat tersebut dengan tanpa meninggalkan jejak sama sekali. Hal itu membuat bocah kecil menjadi sangat heran sekaligus takjub akan wibawa penolongnya.

"Kakak ini sangat hebat!" Bocah lelaki itu memuji dalam hati. Dia sungguh mengira, jikalau penolongnya ini adalah orang yang sangat hebat dan tentunya pandai dalam olah bela diri.

Hutan Sawo Alas semakin menguarkan aura menyeramkan dengan suasana legamnya. Malam telah menggelar jubah kelam untuk menyelimuti belahan dunia, sedangkan cahaya bulan tersaput awan hitam pembawa curahan hujan yang tiada kunjung usai. Rinaian deras air dari langit menyirami mayapada, berhasil menciptakan hawa dingin pembeku sumsum tulang belulang manusia dan mahluk lainnya.

Pria berjubah putih kemudian berbalik badan dan menghadap kepada anak lelaki yang tampak sudah sangat kedinginan. Tubuhnya kian menggigil sambil masih memegangi perutnya yang terasa sangat sakit.

"Adik Kecil, jangan takut padaku." Pria berjubah putih berjongkok sambil memegangi bahu yang ditanya. "Katakan, apakah kamu baik-baik saja?"

"A--aku ... aku sakit." Bocah lelaki itu tampak meringis kesakitan sambil masih memegangi perutnya hingga sedikit terbungkuk.

"Sakit? Bolekah Kakak ini memeriksanya?" Pria berjubah putih meraba bagian perut anak lelaki yang tampak kesakitan. "Sakit atau lapar?"

"Ss--sa--sakiiiiiit! Sangat sakit." Anak lelaki itu masih terus memegangi perutnya yang terasa kian bergejolak. Rasa panas, dingin, nyeri bercampur menjadi satu dan membuat wajah sang bocah semakin memucat.

Pria berjubah putih masih meletakkan tangannya di perut si bocah lelaki sambil memejamkan matannya. Dia tampak tengah merasakan apa yang sedang bergejolak dalam diri anak kecil bernasib malang sembari membatin, "Tepat seperti yang sudah diperkirakan."

"Ini bukanlah hal yang biasa saja," pikir pria berjubah putih seperti merasakan sesuatu yang janggal. "Sepertinya, memang dialah yang kami cari selama ini. Aku harus memperlakukannya dengan sedikit hati-hati. Karena tubuh anak ini tidaklah normal dan seperti pernah mengalami suatu peledakan dalam dirinya."

"Tampaknya kamu harus segera beristirahat. Bajumu basah kuyup begini, tentu saja ini akan menyebabkan perutmu kembung akibat dari kedinginan," ujar pria berjubah putih yang masih belum menampakan wajahnya. "Oh ya, siapa namamu?"

"Namaku Langit. Lalu, siapakah nama Kakak?" jawab anak yang ternyata bernama Langit. "Dan terima kasih atas pertolongan Kakak."

"Jadi namamu adalah Langit? Mmmh, tidak masalah. Bukankah kita memang harus saling tolong-menolong?" Pria berjubah putih tersenyum. "Namaku ...."

Pria berjubah putih tampak berpikir, "Nama apakah yang tepat untukku saat berada di bumi dan tempatku berada saat ini konon bernama Tanah Jawa. Jadi ... aku harus menamai diriku ini dengan sebutan apa?"

"Aku bahkan masih belum bisa sepenuhnya berbicara dengan bahasa Jawa dan aku harus menyesuaikan diriku dengan kebiasaan serta adat istiadat daerah ini."

Tiba-tiba saja, ia melihat pola gambar pada jubah dengan bertuliskan sekalimat kata yang sudah bisa dia baca dan sebuah nama pun segera terbersit pada pemikirannya. Ya! Sepertinya itu memang cukup pantas untuknya. Bukankah saat ini penampilannya sedang sangat berbeda, jika dibandingkan dengan wujud aslinya.

"Namaku Jatayu. Panggil saja aku dengan sebutan Kakak Jatayu," ujar pria berjubah putih bermantel dengan sulaman beberapa ekor burung garuda yang gagah dan tampak tengah mengembangkan sayapnya.

Meskipun dia sama sekali tidak tahu-menahu tentang burung garuda Jatayu dalam cerita pewayangan kuno yang merupakan kisah legendaris karangan seorang seniman berilmu sastra tinggi tiada tanding.

"Kakak Jatayu?" Langit menganggukkan kepalanya. "Ba--baiklah, Kak Jatayu."

"Baguslah. Sekarang kita bisa saling berteman." Pria berjubah putih bangkit dan mengawasi keadaan sekitarnya. "Oh ya, sebaiknya kita mencari tempat berlindung. Hari sudah mulai gelap. Aku juga khawatir jika mereka akan mengejarmu lagi."

Jatayu kemudian melihat sebatang pohon besar berdaun rindang yang bisa untuk dijadikan tempat berteduh sementara waktu. Pria itu pun segera mengajak Langit untuk berteduh. "Kamu tunggulah sebentar di bawah pohon ini!"

"Kakak Jatayu hendak ke mana?" bertanya Langit sambil duduk bersandar pada pokok batang pohon besar. Tubuhnya mulai terasa melemah akibat dari kelelahan dan ketakutan yang baru saja menyerangnya. Terlebih lagi, sakit pada perutnya benar-benar tidak bisa tertahan lagi.

Jatayu menjawab, "Kakak akan mencari tempat yang lebih layak daripada kita terus berada di bawah hujan seperti ini. Kakak khawatir, sakitmu akan menjadi lebih parah nantinya."

"Tapi aku takut, Kak Jatayu! Hutan ini gelap sekali dan sangat menyeramkan!" Langit berusaha mencegah agar Jatayu tidak meninggalkannya. "Kak Jatayu, jangan tinggalkan aku!"

Jatayu tersenyum penuh misteri. "Baiklah. Kalau begitu kakak ini tidak akan ke mana pun. Kakak akan menemanimu tidur, agar Langit bisa melupakan rasa sakitmu."

"Apa boleh buat? Daripada dia membuatku kesulitan dalam menjalankan tugasku." Seusai berkata demikian, Jatayu secara diam-diam membaca sebuah mantra penenang dan meniupkannya pada wajah Langit yang kian sayu.

Langit pun segera tertidur pulas akibat pengaruh mantra penidur dari Jatayu. Pria muda itu merasa lega dan berniat untuk membawa Langit pergi dari tempat itu.

Di tempat lain, tepatnya di perbatasan hutan yang menghubungkan antara pedesaan satu dengan pedesaan lainnya. Dari kejauhan terlihat banyak nyala obor diringi sayup-sayup suara orang berteriak-teriak memanggil nama seseorang yang tengah mereka cari.

"Tuan Mudaaaaa!" Seorang pria berpakaian hanfu pelayan berteriak memanggil.

"Tuan Muda, ada di manaaaa?" Yang lain menyahut.

"Tuan Muda An Ziiiiii!"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel