Pustaka
Bahasa Indonesia

Inkarnasi Raja Naga

52.0K · Tamat
Serpihan Salju
49
Bab
4.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

Semenjak Raja naga dari Alam Langit Tinggi tewas di medan perang, inti jiwanya yang tersimpan dalam bola kristal bercahaya pelangi terus mengembara untuk mencari raga baru. Sampai pada akhirnya, roh sang raja dari ras naga pelangi tersebut memilih menempati tubuh seseorang bayi lelaki yang sudah mati semenjak baru saja dilahirkan. Namun, kristal jiwa raja naga yang menerobos masuk ke dalam ruang dantian An Zi telah menyebabkan peledakan dan membuat sang bayi terus menderita sakit perut serta memiliki tubuh lemah. Tiada satu pun tabib di negara itu sanggup mengobati penyakit dalam 'tubuh inkarnasi' tersebut. Sampai akhirnya, seorang peramal mengatakan, jikalau bayi yang lahir pada malam gerhana bulan darah ini harus disembunyikan, karena sang peramal melihat secara samar dalam ilmu kebatinan akan adanya bahaya yang mengincar keselamatan An Zi. An Zi lalu dititipkan kepada An Se, sang penguasa Lembah Pakisan, karena ia terus diburu oleh sekelompok orang misterius yang berusaha keras menangkapnya untuk suatu tujuan. Note: Baca juga kisah 'Legenda Pendekar Pedang Ganda dan Kaisar Puncak Naga' karya Serpihan Salju lainnya yang juga terbit di Hinovel.

Pengembara WaktuSupernaturalFantasikultivasiSweetRevengependekarMenyedihkanDewasaZaman Kuno

01. Perburuan di Hujan Senja

Tiga ratus tahun sesudah perang besar yang terjadi di Alam Langit Tinggi.

Pada hutan tepi barat perbatasan sebuah kerajaan di tanah Jawa Dwipa yang terkenal subur makmur, tentram dan damai sentausa.

Dawai irama gerimis begitu deras menyirami bumi pertiwi. Langit kelam dengan gumpalan awan hitam, sesekali dicambuki lidah petir menggelegar. Suasana sungguh sangat menyeramkan bagi makhluk penghuni bumi yang saat ini terjebak dalam lebatnya curah hujan.

Kilat saling berkejaran dan bertarung di angkasa senja yang mulai temaram. Surya kian menenggelamkan diri di balik mega petang dan bagai tak ingin menyisakan lagi jingga terang warna lembayung sebagai penerang.

Semua pemandangan yang terpampang, hanya saksi bisu suatu peristiwa menegangkan di bawah siraman air hujan.

"Tangkap anak itu dan segera bawa dia ke hadapanku, hidup atau mati!" perintah seorang pria bertubuh tinggi semampai dengan jubah hitam yang telah basah oleh air hujan.

"Siap, Yang Mulia Penasehat Agung!" sahut para pria berjubah hitam lainnya yang segera melesat menerobos hutan dengan lebatnya rimbun semak liar.

Desahan panjang hanya terdengar oleh si pemilik napas yang menengadahkan wajah bercadar hitamnya ke langit dan sengaja menentang hujan sambil berseru, "Akhirnyaaaaa! Setelah penantian panjang ... aku menemukanmu kembali!"

"Kebangkitannya tidak boleh ditunda lagi. Menunggu hanya ratusan tahun bukanlah waktu yang terlalu lama. Segerakan apa yang sudah menjadi seharusnya!"

"Siap, Yang Mulia!" seru para pengikutnya.

Derai tawa berkepanjangan kemudian terdengar bergema bagai membelah kegelapan, mengiringi kepergian sosok berjubah hitam yang sekarang berjalan dengan diikuti oleh para pengikutnya. Bayangan-bayangan itu menghilang di balik kegelapan dan hanya menyisakan suara sayup-sayup di antara rinai hujan senja.

*Terus bersembunyi di balik gelap namun hati menginginkan terang.

Selama hidup berdiam sebagai bayangan, tetapi tak ingin kesuraman terus datang.

Langit terang memaksa diri untuk menjadi sekelompok pengecut yang takut akan teriknya sinar matahari.

Namun kali ini, aku datang menentang kehendak langit, hanya untuk sesuatu yang harus kumiliki!

Tak peduli gelap malam datang atau terik mentari membakar. Aku hanya menginginkan satu hal ....

Yaitu, kematian yang akan menjadi sebuah awal kehidupan lainnya!*

Untaian kalimat yang cukup membingungkan dan bernada ancaman itu disusul oleh seruan dari para pengikutnya.

"Hidup Yang Mulia!"

"Hidup!"

"Hidup Kaisar Kegelapan!"

"Hidup!"

"Bangkitkan Yang Mulia Raja!"

"Bangkitkan!"

"Tegakkan segera klan kita!

"Tegakkaan!"

Di sisi hutan yang lain. Serumpun semak belukar bergerak-gerak akibat baru saja disusupi seseorang yang berlarian menerobos gerimis deras dan masuk begitu saja ke Hutan Sawo Alas yang terkenal angker.

"Mereka mengejarku!" bisik seorang anak lelaki yang bersembunyi di balik rimbun semak belukar. Kedinginan akibat siraman hujan, berhasil membuat tubuh mungil itu gemetaran disertai ketakutan.

"Mengapa mereka semua mengejarku?" Bocah lelaki itu berbisik dengan suara lemah dan bergetar. Ketakutan benar-benar telah mencengkeram perasaannya. Wajah tampan dan manis itu kian pucat pasi hingga semakin menggigil.

"Pa--pamaan, to--tolong A--akuuu! Aku takuuuut!" Anak lelaki itu merintih dalam ketakutan sambil memeluk lututnya. "Pamaaan! Ampuni aku yang sudah melanggar larangan pamaan!"

"Di mana dia?" Sebuah suara mengejutkan anak lelaki tersebut.

Suara lain menyahut, "Sepertinya tadi dia lari ke tempat ini!"

"Kalau begitu cepat periksa dan jangan biarkan bocah itu lolos!" seru sang pemimpin.

"Siap!"

Puluhan sosok berjubah hitam segera menyebar tanpa memedulikan derasnya hujan disertai gelegar halilintar. Mereka hanya ingin menemukan sosok bocah yang telah memiliki tanda khusus di tubuhnya. Hal itu pula yang membuat mereka dengan sangat mudah menemukan sang buruan.

"Celaka! Bagaimana ini?" Bocah lelaki berusia sepuluh tahun yang masih terus bersembunyi berseru dalam hati. "Dewaaaa! Tolong akuuu!"

"Pamaaaan! Paman An Se, tolong akuuu!" Bocah lelaki itu hanya bisa meratap dan menyebut sang paman dalam hati sambil mencucurkan air mata.

Para sosok berjubah hitam masih terus mencarinya tanpa bersuara, walau harus bermandikan hujan senja. Entah siapa, dari mana mereka berasal dan apa maksud tujuan mereka memburu bocah kecil yang semula sedang dalam perjalanan pulang lalu tersesat di Hutan Sawo Alas.

Salah seorang pria berjubah tiba-tiba mendekati semak-semak tempat di mana bocah lelaki itu bersembunyi. Sosok tubuh tinggi besar itu sudah serupa hantu bagi seorang anak berusia sepuluh tahun dan sialnya lagi, pria berjubah hitam tampaknya tidak menyurutkan langkahnya.

"Jangan! Jangan temukan aku!" Bocah lelaki kecil memejamkan kedua matanya sesaat, lalu mengintip lelaki berjubah hitam dari celah dedaunanan yang basah. Ketegangan benar-benar seperti hendak membunuhnya hingga mati.

"Mungkin dia ada di dalam semak-semak ini?" pikir sosok berjubah hitam sambil menusukkan ujung pedangnya hingga berulang kali ke dalam semak belukar. "Kamu tidak akan bisa lolos lagi, Bocah Kecil!"

"Aaa!" pekikan kecil dalam bungkaman telapak tangan bocah lelaki berhasil mengekspos keberadaan sang anak, saat ujung pedang menembus rimbun semak dan nyaris menusuk salah satu matanya. "Ha--ham ... hampir saja!"

Napas bocah lelaki itu terengah-engah, akibat rasa panik yang tiada tara. Keringat dingin mengalir dan bercampur dengan air hujan. Tubuh basah kuyupnya semakin menggigil ketakutan, hingga suara sengalannya terdengar jelas.

"Suara apa itu?" Sosok pria berjubah hitam merasa curiga sambil menebas berulang kali dedaunan kecil hingga beterbangan.

Tentu saja bocah lelaki itu semakin ketakutan dan terjengkang ke belakang akibat dari rasa kagetnya. Namun, bocah itu juga tidak ingin tertangkap tanpa melakukan suatu usaha. Dia pun segera bergerak dengan cepat keluar dari persembunyian, untuk kemudian lari semampu dia bisa dan sejauh-jauhnya. Namun naas, sosok berjubah hitam lainnya melihat pergerakan bocah lelaki yang sudah mulai merasa tidak enak pada salah satu bagian tubuhnya.

"Aaaww! Sakiiiiit!" Bocah lelaki itu memegangi bagian perutnya yang terasa sangat sakit. Dia pun hanya bisa mengeluh dan bertanya dalam hati. "Apa yang terjadi denganku? Mengapa ini datang pada saat yang sangat tidak tepat?"

"Itu diaaa! Kejaaaar!" seru salah seorang sosok berjubah hitam sambil menunjuk ke arah bayangan kecil yang berlarian menyeruak hutan. Meskipun kaki kecilnya sesekali terpeleset dan hampir terjatuh, tetapi dia tetap bangkit dan kembali berlari.

"Kepung dia! Ingat, jangan sampai lolos!" seru pimpinan pemburu yang harus membawa anak tersebut untuk dihadapkan kepada sang pimpinan. Para pengejar segera melesat dengan gesit bagaikan terbang dan berhasil mengejar serta mengepung bocah lelaki buruan mereka.

"Jangan!" Anak lelaki mengangkat kedua tangannya ke atas dengan sikap memohon, sedangkan dia sendiri melangkah mundur dan memutar tubuhnya untuk melihat seberapa banyak para pengepungnya. "Tolong lepaskan aku, Tuan-Tuan! Aku tidak memiliki kesalahan apa pun pada kalian, tapi mengapa kalian terus mengejarku?"

Anak lelaki itu hanya bisa pasrah dan menangis, saat para pengepungnya semakin berjalan mendekat dengan sorot mata bersinar merah menyala sangat menakutkan.

Anak tersebut memejamkan matanya dan sambil menangis. Dia berkata, "Tolong jangan tangkap akuuuu! Aku masih kecil dan sangat kurus. Tidak ada daging yang bisa kalian makan dari tubuhku. Tulangku bahkan sangat keras dan tidak enak. Jadi, kumohon jangan tangkap aku!"

Para pria berjubah hitam semakin melangkah maju, sedangkan bocah lelaki itu kian ketakutan. Tubuhnya gemetaran akibat menahan kedinginan dan ketakutan secara bersamaan. Degup jantungnya terus bertalu-talu serupa genderang perang. Andai bisa memilih, ingin rasanya dia pingsan saja saat ini juga.

"Paman-Paman yang baik, tolonglah aku!" Bocah kecil terus memohon.

Para pengepung semakin mendekat dan salah seorang dari mereka hendak meraih tubuh mungil yang wajahnya sudah sepucat bunga kapas. Pemilik bibir putih itu hanya bisa berbisik, "Ja--ja--jangan!"

Bocah kecil lelaki itu hanya bisa bergerak berputar sembari menatap ngeri ke wajah-wajah yang tertutup cadar hitam. Mereka sudah selayaknya sosok-sosok hantu yang siap mencekiknya hingga mati. Bocah lelaki kecil merasa tubuhnya lemas hingga lututnya serasa ingin jatuh ke tanah becek. Namun, ia berusaha untuk tetap bertahan sekuat tenaga.

"Ya, Dewa! Apa kesalahanku kepada mereka?" Bocah lelaki kecil itu bertanya dalam Isak tangisnya. "Apakah benar-benar tidak ada yang bisa menolongku?"

"Dewaaa! Tolong akuuu!"