Pustaka
Bahasa Indonesia

Ineffable #2

52.0K · Tamat
arlenlangitatlantis
39
Bab
4.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

Setelah mebgalami banyak hal menyakitkan, rasanya Alinea tak mau mmepunyai komitmen lagi bernama pernikaham. Namun, seseorang membawakan cintanya dan berjuang demi merebut hatinya kembali. Akankah Alinea bisa ditakhlukan denhan cintanya?

FantasiRomansaBillionaireSweetPernikahanKeluargaSalah PahamIstriDewasaBaper

Hari Pertama -1

SEBUAH mobil sedan Honda City hitam berhenti di depan sekolah Taman Kanak-Kanak Bunga Pertiwi. Wanita berambut hitam panjang keluar menggandeng dua bocah lelaki dan satu bocah perempuan, rambutnya sebahu tersenyum riang.

Ketiganya berjalan lebih dulu, disusul mama mereka yang masuk ke dalam lingkungan sekolah. Satpam sekolah mempersilakan mereka masuk dan menutup pagarnya.

"Ini sekolah kakak," jelas gadis kecil bermabut sebahu itu, bibirnya yang mungil dan berpipi tembam terlihat imut saat bicara.

Kedua adik lelakinya hanya menatap takjub pada lingkungan yang baru mereka temui, berbeda dengan taman kecil di rumah, yang ini punya banyak permainan yang seru.

Wanita yang bersama ketiganya pun mendekat. "Keito dan Azio suka sekolahnya? Mau ya sekolah di sini sama Kakak Naureen?"

"Keito suka." Pria kecil yang di sebelah kirinya menjawab segera.

Azio mendekati mamanya. "Azio juga suka, boleh main di sana?"

"Boleh, tapi janji enggak boleh berantem!" seru mama mereka mengingatkan.

Keito dan Azio mengacungkan jempol pada mamanya, detik berikutnya mereka berlarian ke taman bermain, bergabung bersama anak-anak baru lainnya.

Sementara Naureen digandeng mamanya masuk ke dalam kelas, ia duduk manis menunggu ibu guru datang.

"Kakak, mama mau ke ruang guru ya," pamit mamanya.

Gadis kecil itu mengangguk, ia melihat ke arah jendela, di mana kedua adiknya yang akan bersekolah di tempat yang sama dengannya itu, sedang bermain.

Mama dari ketiga bocah lucu dan imut itu menemui kepala sekolah, mengembalikan formulir pendaftaran kedua putera kembarnya.

"Maaf, Bu Sinta saya baru menyerahkannya, mereka berdua baru mau diajak sekolah."

"Ah, tidak apa Bu Alenia, syukurlah murid saya nambah dua, kembar lagi, ganteng-ganteng."

"Terima kasih, Bu Sinta." Alenia menyalami ibu kepala sekolah dan bersama keluar.

Bel masuk kelas berbunyi, semua murid masuk ke dalam kelas, duduk di tempat masing-masing. Keito dan Azio pun mendekati mamanya yang merentangkan tangan, meminta keduanya mendekat.

"Ayo, salim dulu sama Bu Sinta."

Keduanya bergantian menyalami tangan Bu Sinta, mereka mendekati ruang kelas di sebelah kelas Naureen. Alenia merapikan seragam pakaian mereka, butuh sounding yang rutin mengajak mereka mau bersekolah seperti Naureen. Meski pada akhirnya mereka yang serempak mau bersekolah.

Bu Sinta memanggil kedua anak kembar Alenia untuk mendekat, Keito dan Azio melihat ke arah mamanya sekilas dan masuk ke dalam. Bu Sinta menyerahkan dua murid barunya pada wali kelas, Bu Amaya. Keduanya diminta memperkenalkan diri dan mencari tempat duduk.

Alenia melihat dari balik kaca jendela kelas yang dihias oleh ornamen dari kertas warna-warni, kedua pria kecilnya duduk manis mendengarkan guru mengajar.

Putera kembar kita sudah besar, Kian.

Ia merogoh ponselnya, mengirim video bagaimana mereka di kelas pada Kian, suaminya. Berjalan ke kelas sebelah, di mana puterinya pun sedang memggunting kertas berpola dan sudah diwarnai. Mengirim video yang sama pada Kian, ia bangga menjadi orangtua ketiga anak-anak manis itu.

Kian Suamiku

Mereka manis sekali, maaf ya enggak bisa antar kalian me sekolah.

Alenia Callison

Tidak apa, aku bisa mengantar mereka, aku sayang kamu.

Kian Suamiku

Aku lebih sayang kamu.

Alenia tersenyum sendiri membaca pesan balasan dari suaminya, ia duduk di bangku depan kelas bersama ibu-ibu yang lain. Kebanyakan dari mereka tahu siapa Alenia, tetapi ia tetap bersahaja.

Menunggu anak-anaknya sekolah adalah kegiatan baru Alenia setiap hari Senin hingga Sabtu. Biasanya ia akan mengawasi kedua putera kembarnya bermain, kini berbeda. Ia duduk manis, terkadang menjawab pertanyaan dari ibu-ibu yang mengajaknya bicara.

Tak jarang ia ikut obrolan ringan soal arisan yang mereka adakan, atau membahas hal yang tak pernah Alenia pikirkan sebelumnya.

Jam istirahat tiba, Keito dan Azio membuka bekalnya, berisi makanan yang dibuatkan mamanya.

"Azio, Keito apa itu?" tanya gadis kecil di meja lain.

Keito melirik ke arah gadis kecil yang bertanya padanya. "Risoles sama nugget. Enggak lihat ya?"

Gadis kecil itu terkejut dengan jawaban Keito. "Yee, Maysa 'kan hanya tanya!"

Gadis itu cemberut, menyeret kursinya ke arah Azio yang makan dengan lahap beda dengan Keito yang makan pelan-pelan tanpa suara ataupun ceceran di luar kotak bekalnya.

"Azio, boleh icip nuggetnya?" tanya Maysa.

Azio menoleh ke arah Maysa, ia mengangguk dan menyerahkan kotak bekalnya pada Maysa.

"Makasih, Azio baik deh."

"Centil." Keito berkomentar lirih.

Maysa yang mendengar perkataan Keito pun melirik ke arahnya. Ia cemberut menatap Keito yang pelit menurutnya.

Usai istirahat, bu guru Amaya menyuruh Keiyo maju untuk bernyanyi, ia tak seberapa tertarik dalam kegiatan yang membutuhkan suaranya, hanya saja karena mamanya melihat dari kaca jendela, ia pun mau maju dan bernyanyi.

Tak seperti Keito yang segan tak segan maju ke depan kelas, Azio justru mengacungkan tinggi-tinggi tangannya untuk giliran setelah kakaknya.

Naureen yang pulang lebih dulu berhambur memeluk mamanya, sementara kedua adiknya masih di dalam kelas. Naureen yang tahun depan mulai sekolah dasar, terlihat sudah semakin besar.

"Mama, nanti mampir ke toko es krim donk," pinta Naureen memeluk mamanya.

"Boleh, tunggu si Kembar selesai ya." Alenia mengelus rambut hitam Naureen.

Alenia sering memperhatikan wajah cantik Naureen, bayi yang ia temukan pagi-pagi sekali di depan rumah papanya enam tahun lalu. Tal sekalipun ia diberi tanda-tanda siapa yang sudah membuangnya, atau identitas orangtuanya, hanya selimut bayi berwarna merah muda yang ia temukan.

Meski dirinya dan Kian tak pernah membedakan Naureen dengan si Kembar, Alenia ingin bertemu orangtua kandung Naureen, bertanya mengapa gadis kecil secantiknya dibuang?

Siapa orangtuamu, sayang? Mengapa mereka tega membuangmu? Apa karena saat lahir kau bisu, jadi mereka membuangmu?

Naureen bernyanyi, terkadang bergumam sambil menunggu adik kembarnya keluar dari kelas. Ia turun dari bangku sisi mamanya, menengok ke dalam kelas. Terlihat adiknya akan usai.

Keito tersenyum ke arah Naureen, sementara Azio melambaikan tangannya dengan enerjik. Naureen mundur, karena ia tak mau disenggol anak- anak yang keluar dari kelas itu, Azio dan Keito sudah terlihat.

"Mamaa!" seru keduanya menyapa mamanya.

Alenia tersenyum merangkul keduanya, "Gimana sekolahnya? Seru?"

"Seru banget! Kak Keito maju di depan kelas, nyanyi bagus!" seru Azio.

Alenia menatap Keito yang lebih pendiam dari Azio. Ia membawa ketiga anaknya keluar, Naureen selalu menggandeng tangan Keito, sementara Azio menggandeng tangan mamanya masuk ke dalam mobil. Setelah duduk manis, barulah Alenia berkata jika akan mampir ke kedai es krim sebelum pulang.

Cuaca Senin siang yang cerah membuat siapapun alan senang jika makan es krim, apalagi dengan topping yang renyah dan warna-warni, itu kesukaan Naureen.

"Ma, aku mau es krim seperti Kak Naureen." Keito melihat kakak perempuannya makan es krim dengan khidmat.

Azio duduk di depan mereka berdua dengan menyendokkan es krim ke dalam mulutnya, sementara mamanya masih mengambilkan es krim milik Keito, es krim cokelat vanila dengan topping yang sama seperti punya Naureen.

Keito meraih selembar tisu, memberikannya pada Naureen, ia menunjuk pipinya dengan tangan lain. Naureen tersenyum pada adik kembarnya itu, maka sebagai ucapan terima kasih, Naureen menyuapi Keito es krim.

"Wah, wah anak-anak papa kompak banget makan es krim!" seru suara yang ketiganya kenali, papa mereka.

"Papa!!" jawab mereka serempak.

Kian mengecup kening ketiga putera-puterinya, lantas duduk sambil melipat ujung kemeja putihnya, ia melihat ke arah isterinya yang datang pun kebagian kecupan manisnya.

"Kok pada makan es krim? 'Kan belum makan siang?" tanya Kian pada isterinya.

"Sesekali menuruti keinginan mereka tak ada salahnya bukan? Habis ini kita makan siang di rumah saja." Alenia tersenyum pada suaminya yang tampan itu.

"Oke, Mama." Kian tersenyum manis, ia menatap ketiga anaknya yang sibuk memakan es krim.