Bab 20 Punggung Tegap Itu
Bab 20 Punggung Tegap Itu
Vincent menyenderkan tubuhnya di salah satu pilar bagian belakang rumahnya dengan tangan bersedekap. Manik pekatnya menatap lurus ke arah satu objek yang begitu sibuk dengan dunianya sendiri hingga tidak menyadari kehadirannya. Vincent yang baru saja pulang dari kantornya kini mendapati Anna yang sedang terduduk di kursi santai pinggir kolam renang dengan kertas yang cukup tebal berada di genggaman.
Gadis itu berkomat-kamit, merapal beberapa kalimat yang terus diulang-ulangnya dengan intonasi canggung. Alis Vincent tertaut dengan senyum geli tersungging di bibirnya. Sepertinya... Anna sedang berlatih dialog? Dan mungkinkah kertas yang di genggamannya itu adalah naskah skenario?
“Sedang apa, hm?” Vincent tiba-tiba memeluk Anna dari belakang, membuat gadis itu terperanjat kaget akibat ulahnya.
“Astaga! Kau mengagetkanku.”
“Istriku sibuk sekali, hm?” Vincent menopangkan dagunya ke bahu Anna. “Kau bahkan mengabaikan suamimu yang baru saja pulang.”
Anna melepaskan perlahan tangan Vincent untuk kemudian menghadap ke arahnya. “Ish, manja sekali!”
“Wajar bukan jika suami bermanja pada istrinya?” Vincent mengelus lembut surai Anna sebelum perhatiannya teralihkan kembali pada kertas yang saat ini berada pada genggaman sang gadis. “Apa ini?”
Vincent langsung merebut kertas tersebut. Gadis itu tidak sempat menghindar akibat pergerakan Vincent yang luar biasa cepat. Dan, benar saja. Seperti dugaan Vincent, kertas itu rupanya adalah naskah skenario dari sebuah film pendek yang menjadi projek Anna bersama Kinar.
“Koridor?” ucap Vincent membaca judul naskah tersebut yang dipampang besar-besar di bagian depan.
“Vincent, Kembalikan!”
Vincent dengan sigap menghindar saat Anna hendak merebut kembali naskahnya. “Ini... skenario?”
“Kembalikan!”
“Tidak sebelum kau jelaskan apa ini padaku.”
Anna menghela napas jengkelnya sebelum menjelaskan, “Itu projek baruku.”
“Kau akan bermain film?”
“Begitulah. Hanya film pendek.”
“Atas dasar apa kau menerima tawaran bermain film?”
“Ini projek seniorku.”
“Lagi?”
Anna mengangguk.
“Wow, rupanya istriku jadi incaran para senior untuk bergabung di projeknya!” Vincent membuka-buka lagi naskah skenario Anna. “Jadi siapa kau di sini?”
“Coba tebak! Kira-kira aku memerankan siapa?” Anna malah bertanya balik, mulai iseng.
Vincent berpikir sesaat sebelum menatap Anna dengan tatapan menyelidik. “Tidak mungkin jadi hantunya, kan?”
“Yak!” Anna berteriak seraya merebut kembali naskahnya dengan jengkel. Ish! Pria itu malah menampilkan tawa renyah di hadapannya. Benar-benar menyebalkan!
“Lalu kau jadi siapa, hm?”
“Tidak tahu!”
“Eiy, kau marah?”
“Tidak!” dusta Anna yang makin membuat Vincent ingin terus menggodanya.
“Lalu kenapa bibirmu maju-maju terus seperti itu, huh? Minta dicium?”
Anna langsung mengarahkan tatapan tajamnya. “Perhatikan mulutmu, Vincent!”
Kedua tangan Vincent terangkat ke atas—memberikan tanda menyerah. “Baiklah. Baiklah. Jadi kau akan berperan sebagai siapa di projek film ini?”
“Elisa,” jawab Anna setengah enggan.
Alis Vincent terangkat. “Kau... jadi pemeran utama wanitanya?”
Anna mengangguk, sementara Vincent yang baru saja beberapa detik lalu memberi isyarat damai kini dengan kurang ajarnya malah melebarkan tawanya di hadapan Anna. Pria itu semakin terpingkal puas saat mengetahui fakta bahwa Anna akan menjadi pemeran utama wanita di film pendek yang bergenre horor tersebut. Film itu sebenarnya cukup menarik untuk sebuah film pendek. Meski cukup umum, namun skenarionya ditulis dengan apik. Film ini akan bercerita tentang seorang gadis yang diteror hantu saat melewati koridor kampus di malam hari.
Vincent tahu Anna akan dengan cepat belajar hal-hal yang baru. Anna punya potensi untuk berkembang. Namun mendengar Anna berlatih singkat saja sudah membuat Vincent tahu kapasitas Anna saat ini. Gadis itu kaku—benar-benar kaku. Bukan hanya tubuhnya saja yang sulit digerakkan sehingga perlu pendampingan Vincent terlebih dulu untuk projek sebelumnya, namun ucapannya saat melontarkan dialog juga terdengar bagai seorang siswa yang sedang menghafal untuk ujian.
Anna makin memberengut di tempat. Ia sendiri tahu bahwa ia memang tidak pandai berakting, namun tidak bisakah pria itu sedikit lebih sopan dengan tidak terlalu frontal untuk mengejeknya?
“Atas dasar apa mereka memilihmu untuk peran ini, huh?” Vincent menggeleng tak habis pikir setelah meredakan tawanya. “Dialogmu terasa kaku, Anna. Kukira kau tadi sedang membaca buku pelajaran.”
“Jadi... dari tadi kau memperhatikanku?”
Vincent mengangguk, membuat Anna merotasi matanya lalu memalingkan wajahnya. Pipinya mulai memanas, bahkan memerah akibat rasa malu yang menjalar. Sial!
“Kalau begitu ajari aku seperti sebelumnya!” pinta Anna dengan bibir yang masih mengerucut.
“Boleh.” Vincent langsung menyetujui. Tumben sekali. “Syaratku masih sama seperti yang sebelumnya.”
Tangan Anna dengan ringannya memukul kencang bahu Vincent hingga membuat pria itu mengaduh. Wajahnya makin merah padam mengingat syarat yang diajukan Vincent. Ish, dasar mesum!
“Kalau begitu... bagaimana kalau berenang bersamaku?”
Vincent berdiri dan mengulurkan tangannya di hadapan Anna, namun tentu saja gadis itu menolaknya secara sadis. Bukannya meredakan amarah Anna, Vincent malah membuka jasnya di hadapan Anna. Tidak berhenti sampai di situ, pria itu juga membuka bajunya hingga bertelanjang dada—menampilkan dada bidang serta tubuh atletisnya. Bahkan, setelahnya Vincent membuka celana bahannya hingga kini ia hanya berbalut celana pendek sebagai dalamannya.
Seketika itu juga Anna langsung menunduk. Tidak sudi melirik Vincent yang terang-terangan menampilkan tubuhnya secara berlebihan tepat di depan batang hidungnya. Astaga! Apa sih maksud Vincent dengan melakukan hal vulgar ini di depan Anna?!
“Ayo, kemarilah!” Vincent yang kini sudah masuk di kolam renang mengajak Anna untuk turun bersamanya. Ia bahkan mencipratkan air pada Anna secara kekanakkan.
“Hei, naskahku jadi basah!”
“Makanya ayo ke sini! Apa aku harus menyeretmu paksa, huh?” Vincent berkacak pinggang di tepi kolam renang. Sementara kini Anna malah bersiap-siap untuk pergi dari sana dengan membawa naskahnya. “Hei, Anna! Kau akan kemana?”
Anna mendelik. “Bukan urusanmu!”
“Kalau kau pergi, maka aku tidak akan membantumu memperbaiki dialog kakumu itu!”
“Masa bodoh! Aku akan berlatih sendiri!”
Tanpa mempedulikan ancaman Vincent, Anna melangkah pergi tanpa berniat sedikit pun untuk menoleh ke belakang. Vincent yang ditinggalkan begitu saja hanya mampu menggaruk hidungnya tanpa sanggup berkata-kata akan reaksi Anna yang tidak terduga tersebut sebelum menenggelamkan dirinya untuk berenang bebas di sana. Ish, dasar gadis pemarah!
**
Malam harinya, Vincent mengajarkan Anna teknik-teknik dasar dalam berakting di ruang kerjanya. Anna yang sudah terlanjur menolak sebenarnya sudah berada di tahapan menyerah dalam hal berakting. Ia sudah akan pasrah saja jika nantinya diejek habis-habisan oleh seniornya lantaran aktingnya yang menyedihkan. Anna merasa ucapan Vincent sepenuhnya adalah benar. Dialog yang diucapkannya sama sekali tidak hidup, benar-benar kaku layaknya pengisi suara google.
Namun, entah kerasukan setan macam apa, Vincent tiba-tiba menghampiri Anna yang tengah duduk meratapi nasibnya di balkon lantai tiga—menyuruh gadis itu untuk ikut ke ruangannya. Walau separuh enggan, namun Anna tetap mengekori pria itu. Setibanya di ruangan kerjanya, Vincent langsung menyuruh Anna duduk untuk membacakan dialognya berulang kali. Vincent dengan sabar dan telaten melatih Anna intonasi yang tepat saat berakting.
Vincent juga mengajari Anna beberapa gesture serta ekspresi yang tepat saat berakting. Kini, Vincent tengah duduk bersender di meja kerjanya dengan Anna yang terduduk di hadapan. Wajah Anna menengadah, memperhatikan Vincent yang tengah fokus memahami isi dari keseluruhan skenarionya. Manik hazel Anna mengerjap. Baru ia sadari jika sedang serius seperti ini, kadar ketampanan dari seorang pria mampu meningkat drastis. Harus Anna akui, pesona Vincent memang tak mampu terbantahkan.
Dan, hei! Apa yang tengah kau pikirkan, Anna?
“Terpesona padaku, huh?” ucap Vincent yang seketika membuat Anna hampir terlonjak dari kursi saking kagetnya. Anna berdeham kikuk. Sempurna salah tingkah. Ish, seharusnya ia tidak terang-terangan memperhatikan Vincent seperti tadi!
“Aku memang terlihat lebih tampan jika sedang serius seperti ini,” imbuh Vincent seraya menatap Anna dengan seringaian mematikannya. “Besok akan kuajari lagi. Latih dialogmu berulang-ulang seperti yang tadi sudah kuajarkan. Sekarang sudah malam. Besok kau ada kelas pagi, kan?”
Anna mengangguk pelan dengan mata yang tidak fokus, berusaha menghindari tatapan Vincent. “Terima kasih.”
Kaki mungil sang gadis yang hampir melangkah kini harus terhenti akibat Vincent yang mencekal tangannya. Pria itu menarik rapat Anna ke dadanya hingga jarak di antara mereka terkikis habis. Pandangan keduanya bersibobrok. Cukup lama dengan keheningan yang menguntai. Tak ada sepatah kata yang terucap dari Vincent maupun Anna. Mereka sama-sama menikmati momen ini dengan syahdu hanya lewat tatapan.
Dan entah mendapat keberanian dari mana, tangan Anna secara perlahan terangkat dan memegang luka Vincent yang berada di pipinya. Manik pekat sang pria mengerjap. Cukup kaget dengan pergerakan tersebut, namun ia yang sudah terlanjur terhanyut hanya mampu terdiam saat jemari Anna mengelus lukanya. Sebelumnya, Vincent tidak pernah membiarkan siapa pun menyentuh luka menyedihkan ini—sebuah luka akibat tragedi di masa lalu yang terlalu pahit untuk diingat.
Manik hazel sang gadis mengerjap, meneliti wajah Vincent dengan lamat. “Lukamu—”
Vincent terpejam beberapa saat, meresapi permukaan halus tangan Anna menyentuhnya lembut sebelum—
Deg!
Perasaan menyesakkan yang datang dari masa lalu itu kembali muncul ke permukaan dengan tiba-tiba tanpa sanggup dicegah. Seketika itu juga manik Vincent terbuka sebelum menangkis tangan Anna secara kasar.
Anna langsung mundur selangkah. Maniknya menatap Vincent penuh rasa bersalah. Ia yang telah terbawa suasana jadi tidak sadar diri hingga dengan lancangnya melewati batas. “Maaf, aku—”
“Malam ini aku akan lembur,” potong Vincent tegas. “Kau bisa istirahat duluan. Jangan menungguku.”
Kalimat itu membuat Anna mengerti bahwa ia telah diusir secara tersirat. Anna masih ingin mengucapkan kalimat maafnya, namun semuanya itu hanya mampu tertahan di ujung lidahnya. Lebih baik jika kini Anna membiarkan ruang bagi Vincent agar menyendiri dulu. Tanpa sepatah kata yang terucap, Anna berjalan pelan—meninggalkan Vincent yang kini memunggunginya.
Entah ekspresi apa yang kini tergambar dari wajah pria itu, namun hanya dengan menatap punggungnya saja, hati kecil Anna serasa dicubit dengan perlahan. Punggung tegap yang biasanya terlihat gagah itu kini tampak amat ringkih, menggambarkan berjuta kepedihan yang Vincent endapkan untuk dirinya sendiri. Pria itu tak tersentuh, dan hingga detik ini masih tidak mengizinkan siapa pun untuk menerobos masuk demi menyelami asal-usul luka yang bahkan belum mengering itu. Di balik segala ketegasan serta keangkuhannya, Vincent nyatanya menyembunyikan luka menganga yang terkubur di palung hatinya yang paling dalam.
