Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 18 Perhitungan

Bab 18 Perhitungan

“Vincent?”

Anna yang baru pulang kini mencari Vincent di ruang kerjanya setelah tidak menemukan pria itu di kamarnya. Hari sudah hampir beranjak malam, matahari sudah hendak berpulang ke peraduan, namun Anna tidak melihat batang hidung pria tersebut semenjak menginjakkan kakinya di rumah beberapa saat lalu. Tadi pagi Vincent mengatakan bahwa ia akan pulang lebih awal. Lalu kini kemana pria itu? Apakah memang belum pulang? Mengapa tidak mengabarinya?

Hendak bertanya pada pelayan di lantai satu, namun mata Anna malah tertarik dengan beberapa berkas yang tergeletak di meja kerja Vincent. Berkas itu dibiarkan terbuka, membuat Anna dengan bebas bisa membacanya. Salahkah saja pria itu yang tidak merapikan berkasnya sebelum pergi tadi pagi. Vincent memang memiliki peraturan untuk tidak membiarkan siapa pun—termasuk para pelayan di rumahnya—untuk menyentuh sesuatu di meja kerjanya. Jika berantakan pun, biarlah itu menjadi urusannya.

Vincent tidak ingin seseorang berlaku sok tahu dengan merapikan hasil kerjanya, padahal itu sebenarnya malah akan merepotkannya. Vincent akan kebingungan setelahnya jika hasil kerjanya dibereskan oleh orang lain selain dirinya. Jadi, kini Anna hanya melihat berkas-berkas tersebut tanpa sudi menyentuhnya. Tentu saja peraturan itu juga berlaku untuk Anna. Bagaimanapun juga, Vincent tidak suka seseorang menyentuh meja kerjanya.

Sepertinya, Vincent akan memilih beberapa aktor dan aktris yang akan diorbitkannya untuk memasuki projek layar lebar di tahun ini. Anna melihat judul projek tersebut disertai beberapa foto dari beberapa orang yang tampangnya cantik nan rupawan. Setelah puas melihat-lihat, Anna yang berniat untuk segera pergi dari ruangan tersebut malah tidak sengaja menyenggol tumpukan berkas Vincent yang berada di ujung meja hingga membuatnya jatuh berantakan di lantai.

Astaga! Ceroboh sekali! Anna harus segera membereskannya sebelum Vincent datang.

Saat tengah buru-buru membereskan berkas tersebut dengan hati was-was, Anna tidak sengaja menemukan sebuah foto yang ada di tumpukan paling bawah. Sebuah foto dari seorang anak lelaki kecil yang tengah tersenyum cerah ke arah kamera. Dengan menilik maniknya, Anna tahu bahwa ini adalah foto Vincent saat masih kecil, mungkin saat berusia lima atau enam tahun. Di foto itu, Vincent tengah berada di taman, terlihat sedang bermain bola seraya menampilkan deretan giginya dengan mengenakan topi terbalik.

Anna ikut tersenyum melihat rupa Vincent yang polos nan menggemaskan saat kecil. Namun, sesaat kemudian Anna baru menyadari sesuatu yang membuat keningnya berkerut samar. Di foto yang saat ini digenggamnya, Vincent tidak memiliki luka bakar di pipi kirinya seperti sekarang. Sejujurnya, Anna sangat penasaran akan asal-usul luka yang ada pada wajah Vincent yang membuatnya tampak dingin dan menyeramkan.

Apa mungkin keluarganya pernah mengalami kebakaran rumah hingga menyebabkan Vincent memiliki luka tersebut? Atau... ada alasan lain? Entahlah. Anna tidak memiliki keberanian untuk menanyakan hal tersebut kepada Vincent. Anna takut menyinggung atau malah mengorek luka lama yang tidak pernah ingin Vincent ingat kembali. Karena apa pun yang menyebabkan luka tersebut, Vincent mungkin akan tersakiti jika mengingatnya, terlebih luka itu membuatnya menderita cacat permanen di sepanjang sisa hidupnya.

Berbicara soal foto, ini adalah kali pertama Anna menemukan sebuah foto di rumah ini. Anna baru menyadari akhir-akhir ini, jika di tempat tinggal mewah ini Vincent tidak pernah memajang satu foto pun baik potret dirinya, atau pun keluarganya. Di sudut mana pun Anna mencari dari lantai satu hingga lantai tiga, ia tidak menemukan satu foto pun yang tergantung di dinding. Bahkan di kamarnya sendiri, Vincent tidak memajang sebuah foto pun yang biasanya diletakkan di nakas sebelah ranjang.

Bukankah itu hal yang tabu? Mengingat jika bahkan di rumah Anna yang terasa sempit, ia masih sempat memajang satu foto usang bersama keluarganya meskipun ukurannya kecil. Lagi-lagi Anna dibuat penasaran akan alasan Vincent mengecualikan benda bernama foto di tempat tinggalnya. Entahlah. Bagi Anna, Vincent merupakan sosok yang penuh misteri. Anna harus sadar diri akan statusnya yang hanya sebatas istri simpanan yang terikat kontrak. Ia harus tahu batas yang jelas. Jadi, Anna tidak akan membiarkan dirinya untuk melewati ranah privasi pria tersebut.

Tepat setelah Anna selesai menyusun kembali berkas Vincent pada tempatnya seperti sedia kala, seseorang muncul dengan langkah tegapnya setelah membuka pintu ruangan tersebut. Raut kaget dari sang gadis tak mampu disembunyikan saat menoleh sehingga manik mereka saling bersitemu. Rupanya, itu adalah Vincent yang baru saja datang dengan masih mengenakan setelan jas kerjanya. Anna menarik napasnya. Untunglah ia benar-benar tepat waktu membereskan kekacauannya.

“Anna? Sedang apa kau di sini?”

“Huh?” Anna menelan salivanya kasar, hampir tergeragap. “Aku... mencarimu.”

“Tumben sekali?” Vincent berjalan melewati Anna untuk langsung duduk di meja kerjanya. “Aku lupa membereskan berkas-berkas ini tadi pagi. Astaga! Berantakan sekali!”

Anna melirik pergerakan Vincent yang sibuk membereskan berkas-berkasnya di meja. Anna merapal doa dalam hati, berharap jika Vincent tidak menyadari kekacauan yang baru saja diperbuatnya.

“Kau baru pulang?” tanya Vincent setelah acara beres-beres meja kerjanya selesai. Anna sudah mampu bernapas normal kembali. Pria itu sepertinya tidak menyadari hal-hal lancang yang baru saja dilakukan Anna. “Aku tertahan dengan beberapa urusanku di kantor sehingga pulang agak terlambat. Maaf tidak sempat mengabarimu. Oh ya, ada apa kau mencariku?”

“Aku... ingin meminta bantuan darimu,” ucap Anna seraya menarik kursi kecil untuk duduk di hadapan meja kerja Vincent.

Alis Vincent tertaut. “Bantuan apa?”

“Aku baru saja menerima tawaran.”

“Tawaran apa?”

“Tawaran untuk menjadi model di projek seniorku.”

Vincent memajukan tubuhnya, merasa lebih tertarik dengan pernyataan Anna barusan. “Oh ya?”

Anna mengangguk antusias. “Kak Tasya—kakak tingkatku di kampus—tadi datang mencariku. Dia menawarkanku untuk menjadi model di tugas fotografinya, dan dengan agak terpaksa aku menerima tawaran itu.”

“Agak terpaksa?”

“Ya apa boleh buat? Aku telah menolaknya, tapi ia terus-terusan memaksaku.”

“Kau berani menerima tawaran seniormu tapi tidak dengan tawaranku beberapa waktu lalu?” Vincent berdecak. “Berapa uang yang ia tawarkan padamu?”

Manik Anna berotasi. “Vincent, aku tidak melakukannya untuk uang. Aku hanya murni ingin membantu.”

“Seharusnya kau tidak sebaik itu, Anna.” Vincent berdecak. “Lalu tidak bisakah kau berniat membantuku dan menerima tawaranku? Aku bahkan akan memberikanmu upah sebagai timbal baliknya.”

“Oh, ayolah! Kau punya banyak model di perusahaanmu!”

Vincent menghela napasnya. Kali ini ia tidak ingin berdebat lebih jauh. Ia terlalu lelah setelah seharian penuh bekerja. “Kita bicarakan itu nanti. Sekarang, kau ingin meminta bantuan apa dariku?”

“Ajari aku caranya bergaya di depan kamera.”

Alis Vincent langsung terangkat antusias mendengar ucapan Anna. Apakah kali ini ia tidak salah dengar? Padahal beberapa hari lalu gadis itu mati-matian menolak untuk diajarkan untuk bergaya di depan kamera dengan berbagai alasan. Terlalu kaku lah, tidak peraya diri lah. Lalu mengapa sekarang Anna dengan terang-terangan meminta bantuannya? Benar-benar lucu sekali!

“Aku butuh bantuanmu. Kali ini aku akan belajar dengan sungguh-sungguh.”

“Apa yang membuatmu yakin sekali seperti ini? Padahal tempo hari kau bahkan ogah-ogahan saat kuajari?”

“Aku tidak ingin mengacaukan projek seniorku,” jujur Anna lemah. Ya. Kali ini ia terpaksa meminta bantuan Vincent. Hanya pria itu yang dirasa tepat untuk mengajarinya. Agak malu sih, tapi Anna akan lebih tidak punya muka jika nanti ia tidak becus saat menjadi model untuk projek seniornya. “Bantulah aku, Vincent. Aku mohon.”

“Oh, astaga! Jangan tunjukkan wajah itu di hadapanku, Anna!” geram Vincent dengan memalingkan wajahnya. Ia tidak bisa menyaksikan Anna memelas di hadapannya dengan binar penuh harap bak anak kucing. Ini terlalu... menggemaskan! Hati Vincent sepertinya akan segera luluh jika dibujuk dengan cara seperti ini.

“Aku rela terus-terusan memelas padamu seperti ini asal kau sudi membantuku.”

“Kalau begitu teruskan saja! Mungkin... hingga besok pagi?” Vincent bersikeras mengabaikan Anna, ingin sedikit bermain lebih jauh. Tumben sekali gadis itu meminta sesuatu padanya hingga seperti ini. “Setelah itu akan kupertimbangkan permintaanmu.”

“Hei! Kau akan setega itu padaku?”

Anna memberengut dengan wajah yang ditekuk, menampilkan ekspresi kesal yang kentara. Namun bukannya merasa terganggu, ekspresi itu malah tambah menggemaskan di mata Vincent. Terlebih, bibir Anna yang saat ini bergerak-gerak malah membuat Vincent kehilangan fokus. Manik pekat itu terus tertuju pada permukaan bibir Anna yang lembab sehingga mampu menggetarkan kewarasannya.

Oh, astaga! Dasar maniak! Terkutuklah segala fantasimu yang bergerak terlalu liar, Vincent!

“Baiklah. Baiklah.” Vincent menabrakkan punggungnya ke sandaran sofa. Kali ini ia harus menyerah. “Aku akan membantumu asalkan dengan syarat.”

Anna langsung mencebik tak suka.“Ck! Perhitungan sekali!”

“Terserah! Aku tidak akan rugi jika menolak permintaanmu.”

“Apa syaratnya?” tanya Anna setengah enggan.

“Sejujurnya saat ini aku sangat benar-benar lelah, Anna.”

“Lalu?”

Vincent berdiri dari kursinya sebelum berjalan memutar untuk mendaratkan bokongnya di meja kerjanya—tepat di sebelah Anna. “Tapi sepertinya energiku masih tersisa untuk melakukan sesuatu yang menyenangkan.”

Anna terdiam dengan kebingungan yang tergambar jelas dari wajahnya. Sesuatu yang menyenangkan? Apa maksudnya?

Grep!

Dengan sekali gerakan, Vincent berhasil mengangkat tubuh mungil Anna ala bridal style yang langsung membuat Anna memekik histeris saking kagetnya.

“Satu ronde sebelum makan malam, dan dua ronde setelahnya. Bagaimana?”

Manik Anna melotot sejadi-jadinya. “Yak! Vincent!”

Tanpa memedulikan teriakan dan rontaan Anna, Vincent membopong Anna hingga ke kamarnya.

“Aku benar-benar membencimu, Vincent!”

Vincent mengerling genit setelah membaringkan Anna di ranjang, terkungkung oleh kedua tangannya. “Terima kasih. Aku anggap itu sebagai pujian.”

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel