Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 14 All For You

Raja menyetir santai dalam perjalanan pulangnya mengantarkan Ceri dan orang tuanya ke rumah sepupu Ceri yang ternyata tak jauh dari rumah Felix. Sejak tadi dalam hatinya, pria itu sesungguhnya sangat ingin punya waktu khusus untuk bersama Roa, mimpinya kemarin malam membuatnya ingin mendengar dan melihat sendiri bahwa tak terjadi sesuatu yang buruk sekecil apapun pada pria itu. Tapi sepertinya dia harus menunggu hingga lajang party sahabatnya itu karena Roa cukup disibukkan oleh beberapa acara yang langsung menyergapnya sesampainya di Bandung. Siapa sangka wisuda Sei justru beriringan dengan pernikan mereka. Sei dan Roa sungguh manusia manusia tanpa urat lelah yang seolah dengan sengaja menciptakan waktu sibuk mereka sendiri dan mereka malah seperti menikmatinya.

Raja tengah berfikir mungkin dia akan kembali ke restaurant saja untuk menengkan diri di dapunya yang disana malam ini, saat ponselnya berbunyi. Nada khusus yang sengaja dia terapkan untuk pemberitahuan nomor yang masuk dari ketiga sahabatnya membuatnya sedikit terperanjat apalagi getarannya yang membuat suara lebih gaduh dari ringtonenya sendiri. Nama Felix tertera dilayar, maka pria itu segera menjawabnya.

“Dimana lu?” yang terdengar ternyata suara Mirza.

“Masih dijalan. Rencananya gua mau ke Restaurant. Kenapa, lu masih di rumah si Felix ya?”

“Yup. Lu juga balik lagi kesini lah. Si Roa mau pada kesini bentar lagi.”

“Loh, bukannya lagi sama Sei dia.”

“Iya, acaranya cuma sampe jam sepuluh aja katanya. Udah pada bubar kok. Lu ada yang penting di resto?”

“Nggak juga. Pengen aja kesana.”

“Berarti bisa kan lu dateng? Ngumpulah kita, nggak tahu kenapa si Roa malah langsung sibuk banget kayak gini. Curiga bakalan makin susah ntar waktu dia.”

“Oke. Gua langsung kesitu deh.”

“Sip, ditunggu ya bro.”

Raja langsung mengambil jalan memutar setelah hubungan teleponnya terputus. Ucapan Mirza tadi persis sama dengan apa yang dipikirkannya. Mungkinkah pernikahan Roa pada akhirnya akan membuat Roa jadi terjauh seperti yang dipikirkannya. Toh Ceri sendiri merasakan kekhawatiran yang sama tentang kakaknya. Tuntutan hidup katanya. Yang dengan sendirinya akan mengurangi waktu Roa dan Sei untuk orang orang disekitarnya yang telah lebih dulu bersama mereka sebelum pernikahan mereka terjadi. Tentunya karena waktu perharinya tak pernah bertambah sementara urusan yang ada justru terus bertambah.

Pintu gerbang rumah Felix masih terbuka seperti saat tadi dia pergi bersama Ceri dan orang tuanya. Mobil Dai sudah tak ada seperti saat tadi dia pergi, tentunya anak itu dan adik serta orang tuanya telah pulang. Dan hanya tersisa Jaguar milik Felix serta Vanquis, si glamour yang selalu mencolok milik Mirza digarasi. Sementara X1 miliknya yang pagi tadi di bawa oleh Sei belum terlihat yang berarti mereka belum tiba.

Rumah Felix sepi seperti biasa, hampir sama seperti rumah Raja meski baginya tak semengerikan kondisi rumahnya. Raja melewati ruang depan begitu memasuki pintu dan langsung menuju ke lantai atas. Suara musik techo sayup sayup terdengar dari sisi selatan, sepertinya Mirza dan Felix sedang membongkar etalase bar di dalam ruangan sana. Raja membuka pintu menyambut suara musik yang lebih kencang dari yang dia dengar sebelumnya meski tak sampai memacu hentakan jantungnya.

“Loh, udah dateng?” Tanya Felix saat melihat kawannya masuk. Anak itu berdiri mengepit tongkat bilyard yang seolah dibuat sebagai penopang tubuhnya.

“Nggak lama ternyata.” Kata Mirza yang menoleh sesaat padanya disela konsentrasinya membidik poolball.

“Gua lagi di sultan Agung pas lu nelpon kok. Ternyata Sei punya keluarga di Diponegoro situ.”

“Lu nganterin keluarganya kesana barusan?” Tanya Mirza lagi.

Raja mengangguk, “Mereka belum dateng?”

“Lu lihat sendiri kan. Tapi nggak akan lama kok, Gasibu situ doang.” Jawab Felix.

Raja meraih sebuah tongkat dari rak, melihat Mirza yang kesal karena gagal memasukan bola 3 yang jadi incarannya. Game 9 ball memang sering membuat Mirza gemas sendiri. Felix dan kawan kawannya biasanya hanya tertawa geli melihat sikapnya yang tak pernah berubah dari dulu.

Raja mulai berfikir dan memperkirakan. Bola 3 yang dibidik Mirza tadi membentur mulut pocket dan kembali kebelakang, posisinya saat ini berjarak sekitar 40 centimeter dari pocket termudah dengan posisi sudut sekitar 10 derajat kearah kiri. Raja mulai membidik bola tersebut sedikit kekanan dari center, dan memukul cueball keras keras hingga bola tersebut berputar putar selama menggelinding mengarah ke pocket dan masuk dengan bunyi keras.

“Hai, Sob!” kata Mirza saat Raja akan membidik bola keempat. Sekilas dia melirik Roa dan Sei yang telah tiba dan langsung berbaur dengan Felix dan Mirza tak jauh darinya. Dia mengabaikannya sebentar dan meneruskan permainan hingga bola bidikannya meluncur lagi kedadalam pocket dengan pasti.

“Nggak kangen lu ama gua, heh?” Roa menghampiri Raja dan merangkulnya dengan kuat.

“More than I can Say, bro!” katanya membalas pelukan Roa. Meski mereka semua telah saling bertemu tadi, tapi baru sekarang ini mereka merasa benar benar bertemu.

“Gimana acaranya, tadi?” Tanya Felix pada Sei. Gadis itu bergidik tak acuh.

“Basa basi biasa.” Katanya seraya menghampiri meja dan meraih segelas minuman diatas sana.

“Terus, wisuda besok udah siap kan?” Tanya Mirza.

“Oh iya, ada pesen dari Tara. Dia nginep ditempat abang sama mami malem ini.” Kata Felix, “Kebaya buat Wisuda lu katanya. Di kamarnya dia. Tinggal lu pilih mana yang muat.”

“Oke.” Jawabnya tanpa antusias.

“Coba lu ngomong dari kemaren kemaren. Kan pasti masih bisa gua bikinin.” Kata Felix lagi.

“Lu pinjem kebayanya Tara?” Tanya Roa, Sei mengangguk. “Payah. Masa pinjem.”

“Gua nggak suka pake kebaya. Ribet. Makanya nggak pernah mau bikin. Sekarang wisuda gua rada dadakan dan gua malah lupa nyiapin kostum. Bingung deh mau pake apaan.”

“Pake kaos aja. Celana jeans, sama sepatu kets.” Kata Roa dengan santai menghampiri gadis itu.

“Maunya.”

“Tinggal pake, nggak bakal ada yang gantung lu kok. Paling diliatin nyinyir doang sama orang orang.”

“Pake wedding dress lu aja Sei, ntar pas kawinan baru pake kaos butut sama jeans belel.” Goda Mirza.

“Ide bagus tuh, Za.” Seru Sei.

“Kalo itu gua yang gantung lu.” Kata Roa. Sei tertawa lepas.

Raja memalingkan wajahnya yang sejak tadi memerhatikan mereka kembali menekuni bola bola yang tersisa diatas meja. Meski dia tahu pernikahan mereka akan benar benar terjadi sebentar lagi tanpa diragukan. Tapi pria itu masih merasa sedikit terluka melihat kebersamaan langsung keduanya. Keinginannya bertemu dan bersama Roa sejak sore tadi sirna tanpa sisa dan berubah menjadi keinginan untuk berlari sejauh jauhnya menghindari panorama didepan mata tersebut. Aliran darah diseluruh tubuhnya dalam waktu singkat terasa seperti gejolak yang membakar setiap organ tubuh saat dari sudut mata yang sama sekali tak bermaksud melihat, tertangkap pemandangan Roa yang dengan cueknya mencium bibir Sei, sementara gadis itu mencoba mengelak dengan susah payah.

“Udahlah Ro, tarik ke kamar aja sana!” terdengar komentar jahil Mirza yang membuat Raja semakin merasa seluruh tubuhnya terbakar. Sedangkan Felix tertawa tawa dengan puas.

“Bajingan kalian semua!” keluh Sei, “Minggir ah, gua mau nyobain kebaya buat besok.” Kata Sei lagi lalu pergi meninggalkan ruangan.

“Lu ngapain mamen? Anteng sendirian aja lu!” Roa menyela Raja seacuh biasanya.

“Rada bad mood gua, Ro.” Katanya, “Begitu balik lu langsung sibuk sendirian.”

“Iya. Padahal biasanya kalo lama nggak ketemu kayak gini, habis dari keluarga lu, lu pasti langsung sama kita.” Tambah Mirza

“Sekarang Sei number one heh?” Tanya Raja dengan nada yang dengan susah payah dibuat agar terdengar menggoda.

“Harap maklum lah! Gua udah sakau selama dua bulan kemaren.”

“Kupret lu!” Mirza menampar pelan kening Roa, “Makan tuh sampe puas! Mumpung dikamar sebelah.”

“Nggak lah.” Kata Roa, “Malem ini masih buat kalian. Anak itu bentar lagi juga pulang. Dia dateng cuma buat ngambil baju katanya.”

“Gua pikir lu pengen langsung nyodok.” Kata Raja.

“Dipecahin maksud lu?” jawabnya, lalu tertawa bersama Felix dan Mirza. “Gaya lama itu mah. Sama dia nggak lah.”

“Cie!’ goda Felix jahil, “Serius tuh lu ngomong!”

“Sure, malah kudu dijaga jangan sampe pecah berantakan!”

“Sabar aja ya bro, beberapa hari lagi doang aja.” Felix menyemangati. “Oh, ya. Tinggal lu yang belum last fitting mamen. Bentar aja yu. Biar fix.”

“Oke.” Kata Roa, “Ja. Kalo Sei ntar mau langsung balik. Balik aja gitu ya, udah kemaleman soalnya.” Raja mengiyakan.

“Eh. Sama siapa dia balik ntar, masa sendirian?” gumam Raja.

“Suruh pake mobil gua aja. Nih kuncinya.” Mirza menyerahkan kunci mobilnya lalu meninggalkan Raja bersama Felix dan Roa yang telah pergi lebih dulu.

Raja mengenyahkan tongkat ditangannya dan meletakkannya begitu saja diatas meja sementara dia berjalan ke etalase tempat Felix menaruh minuman dengan kadar alkohol yang lebih tinggi. Pikirannya memang tak menentu seharian ini, dengan banyaknya hal memuakkan tak berarti yang menyesak dalam otaknya. Mimpinya tentang kematian Roa menakutkan baginya, tapi sesaat tadi melihatnya bersama Sei membuatnya berfikir kematian pria itu mungkin akan terasa lebih baik. Raja membuang nafasnya sekaligus, mengusir jauh jauh pikiran tersebut sebelum serta merta pikiran kotornya berubah jadi doa yang serius. Dengan lincah tangannya meraih sebuah botol minuman apa saja yang teraih dan membuka tutupnya lalu menegaknya banyak banyak.

“Loh, pada kemana yang lain Ja?” Sei tiba tiba telah kembali berada diruangan itu.

“Fitting.” Jawabnya pendek, “Lu nggak boleh kesana!” katanya lagi, “Kalo the groom nggak diperbolehkan melihat gaun sebelum di altar. The bride juga nggak boleh, ntar bisa terjadi bencana.”

“Takhayul!”

“Emang. Tapi ikutin aja aturan yang udah eksis sejak lama itu, segalanya pasti bermaksud baik pada awalnya.”

“Iya emang. Tapi gua mau langsung balik nih!”

Raja menyodorkan kunci ditangannya tanpa banyak bicara. Pria itu malah kembali minum sementara Sei dengan bingung menatap kunci ditangannya.

“Roa udah ngijinin tuh. Kemaleman katanya. Besok lu kan kudu prepare dari subuh.”

“Yang bener aja?”

“Apaan?”

“Gua balik sendiri pake mobil ini?”

Raja menatap Sei, “Kenapa? Lu nggak suka harus balik sendirian?”

“Iyalah. Cuek banget sih dia jadi cowok. Sayang apanya, khawatir juga nggak kayaknya.”

“Emang kayak gitu kali sifatnya. Lu harusnya bisa ngertiin kalo lu udah siap buat jadi istrinya. Setelah jadi suami lu juga dia pasti bakal tetep kayak gitu.”

“Payah ah.”

“Baiknya lu mikir ulang deh!”

“Maksud lu?”

“Mumpung pernikahan lu belum bener bener terjadi lu harusnya mikirin enak nggak enaknya punya suami kayak dia.”

“Harusnya dia bisa lebih perhatian besok.” Keluh Sei, “Atau harusnya gua cari suami yang bisa lebih perhatian dari pada dia?”

“Wow. Ada niatan mundur lu?”

“Nggak lah, semua udah sangat siap. Mana mungkin dibatalin.”

“Kalo gitu ganti aja pengantinnya.”

“Sama lu gitu?” Sei menyeringai lebar.

“Boleh. Kalo standar suami lu sekelas Roa dan lebih perhatian dari dia yang lu tahu. Gua cocok kok.”

“Gila lu!” Sei tertawa geli.

“Emang. Sejak gua jatuh cinta sama lu, gua ngerasa gua gila.”

“Lu. Jatuh cinta sama gua?”

“Ya. That a fact!”

“Becanda lu kewatan ah!”

“Nggak, gua serius. Udah kayak setengah mati gua gara gara jatuh cinta sama lu. Kalo emang lu mau sama gua, gua bisa hidup normal lagi.”

“Dan Roa?”

“Gua sahabatnya. Masa dia nggak mau gua bahagia cuma karena gua sama dia sama sama cinta lu. Friendship is important than anything right? Kalo dia sayang lu dan gua, harusnya dia seneng saat kita lebih bahagia.” Jelas Raja, “So, do you love me too, Sei? I love you crazy, baby!”

“Nggak, Ja!” kata Sei tegas. “Lu yang bener aja?”

“Apa yang nggak, Sei?” tanya Raja bingung.

“Ini!” Sei mengacungkan kunci yang dipegangnya. “Masa gua dikasih kunci Aston Martin Vanquish.” Katanya dengan nada kesal dan mengejek. “Bisa bisa nggak tidur gua semaleman ngekhawatirin mobil ini.”

Raja tercekat. Mengingat ingat lagi dimana dirinya berada saat ini. Dia merasa masih berdiri ditempatnya sejak tadi. Tapi waktu yang dilewatinya dia sadari berbeda sama sekali. Dia mendapati sekali lagi dirinya terhanyut dalam khayalan.

“Oh itu.” Raja mendehamkan tawa singkat, “Gua pikir lu bête karena harus pulang sendirian.”

“Gua mending balik pake angkot ajalah.”

“Nggak nggak nggak. Udah malem kayak gini, bahaya tahu.”

“Aduh! Gua udah biasa tuh. Nyantei lah.”

“Nggaklah. Bawa mobil gua aja.”

“X1?” Ledek Sei, “Sama aja. Bahayaan gua bawa mobil kalian dari pada ngangkot.”

“Bawa yang Jazz. Oke?’

Sei memberengut.

“Please. Jazz, ya?”

Sei mengangguk pelan dan meraih kunci mobil yang disodorkan Raja.

“Hati hati nyetirnya.”

“Iya. Salam buat yang lain.”

“Oke.” Kata Raja, “Oh, ya Sei!” Raja menyela Langkah Sei, gadis itu menoleh padanya. “Besok. Gua bawa Ceri jalan ya.”

“Kemana?”

“Dia pengen nonton. Katanya sambil nunggu prosesi wisuda lu.”

“Dia pasti pengen nonton Breaking Dawn?”

“Iya.”

“Oke. Jaga dia ya.” Katanya, “Dan. Sorry banget sebelumnya.”

“Kenapa?”

“Karena gua udah kenal lu, gua rada khawatir nih. Dia baru 14 tahun loh.”

Raja tertawa pelan. “Iya gua tahu. Emang gua gimana?”

“Lu kan rada rada aktif sama cewek.” Sei menyeringai lebar, “Lu nggak pedofil juga kan?”

“Setan lu.” Raja tertawa pelan, “Tenang aja. Gua paling doyan sama anak kecil.”

Sei tertawa “Oke. Have fun ya besok.”

Sepeninggalan Sei, Raja langsung meraih ponselnya. Mencari nama seorang gadis yang sejak lama mengisi memori kontak di ponselnya. Nada tunggu terdengar beberapa kali sebelum gadis itu menjawab panggilannya dengan bingung.

“Tumben nelepon, Ja. Gua pikir lu udah lupa sama gua.” Kata gadis itu.

“Nggak lah, Vie. Masa sih semudah itu gua lupain lu? Sampe tiga bulan lalu, lu kan masih cewek gua.”

“Ya, tapi lu kan nggak pernah lama lama ngenang mantan lu. Lagian kita jadian juga cuma berapa bulan. Nggak lebih dari enem bulan aja, kan.”

“Sinis gitu sih ngomongnya?”

“Ah lu perasa. Biasa aja kok gua, lu tahu sendiri kan gimana gua. Atau lu malah udah lupa, kalo lu selalu bilang gua cewek sinis.”

“Nggak Vie, gua cuma masih rada nggak biasa diperlakukan nggak anget aja ama cewek.”

Gadis itu tertawa, “Iya iya. Gua ngerti cewek cewek selalu manis sama lu.”

“Yup. Kecuali lu.”

“Jadi, ngapain lu nyari gua?”

“Gua butuh bantuan lu.”

“Boleh. Apa?”

“Lu masih kerja di XXI?”

“Masih. Cuma gua pindah unit sekarang?”

“Kemana? Masih di Bandung, kan?”

“Masihlah. Gua diciwalk sekarang. Baru bulan lalu gua diminta ngurusin yang disini. Emang kenapa?”

“Gua butuh tiket buat besok.”

“Nonton?”

“Iyalah. Kan lu manager bioskop bukan pelayanan pesawat.” Saat itu Raja melihat Roa dan kedua temannya kembali. “Bisa nggak?”

“Film apa, jam berapa, buat berapa orang?”

“Breaking Dawn ya, diatas jam 2 buat 2 orang.” Jelas Raja, dan ketiga temannya kelihatan mengernyitkan kening mereka.

“Tumben kencan siang siang.”

“Ish, banyak komentar ah! Bisa nggak?”

“Bisa. Jam 12:15 mau?”

“Boleh. Jangan terlalu belakang ya, yang nggak susah keluar masuk juga. Takutnya ntar gua dateng telat.”

“Iya siap. Kapan mau lu bawa?”

“Lu berangkat kerja jam berapa besok?”

“Gua jam 7 udah masuk. Biasa prepare dari pagi. Lu kan tahu sendiri.”

“Iyah. Petugas petugas bioskop emang orang rajin dari dulu. Besok gua jam 8 ke tempat kerja lu deh, udah selesai briefingnya kan kalo jam segitu?”

“Oke.”

“Sip. Thanks ya, Vie.” Kata Raja lalu mematikan sambungan telepon. “Silvie.” Katanya pada ketiga temannya yang tampak penasaran.

“Lu balik lagi sama dia?” Tanya Felix.

“Nggak lah, masa balikan sama mantan. Nggak gua banget.”

“Trus ngapain?” tuntut Felix.

“Minta tiket. Adik ipar lu nih Ro, patah hati kakaknya lu rebut gitu aja.”

“Maksud lu?” Tanya Roa bingung.

“Lu peka dikit bisa kan, menjelang pernikahan kalian. Banyak yang kesepian kali. Ceri yang cerita dia takut Sei bakalan makin jauh setelah menikah. Mungkin ade ade lu juga gitu.”

“Yoi, kita juga khawatir.” Bela Mirza.

“Khawatir apa?”

“Khawatir lu jadi sibuk sendiri dan lupain kita.” Kata Mirza lagi, “Setelah punya rumah tangga bakal banyak hal yang lu alami kan. Jangan jangan setelah itu kita malah jadi nggak friend lagi.”

“Ngaco lu!” Roa tersenyum, “Sebulan dua bulan gua asik berdua aja sama Sei wajar, kan? Setelahnya, bakal biasa biasa lagi. Kalian yakin aja. Nilai kalian sebagai sahabat gua, nilai keluarga, dan arti kalian semua, nggak akan lantas berkurang dimata gua cuma karena gua punya istri. Cuma ya, pastinya kegilaan yang kita sering jalanin dulu bakalan mulai berkurang, bukan karena gua menikah, tapi lebih karena usia kita yang makin bertambah. Masa sih kita mau tetep kayak anak SMA terus?”

Felix tersenyum, “Yap. Lu bener banget. Selama ini juga toh kita udah nggak seheboh dulu, nggak segila dulu. Gimana pun kita ngerasa punya jiwa muda yang bebas, tapi tanggung jawab dan sikap tetep harus ngimbangin umur.”

“Gampang.” Kata Mirza, “Jadi sampe kapan pun kita bakalan tetep bisa kongkow bareng nih?’

“Kudu lah!” kata Raja, “Sebisa mungkin.’

“Bisa.” Kata Roa yakin. “Tapi gua nggak akan sendiri. Dan gua harap kalian juga nggak dateng sendiri sendiri.”

“Aamiin.” Cetus Felix, “Target gua tahun depan gua nyusul, lu!”

“Anjir!” seru Roa, Mirza dan Raja berbarengan, “Serius lu. Siapa?” Tanya Roa.

Felix tersenyum. “Belum ada.” Katanya geli.

“Geblek!” tawa Mirza meledak paling keras. Keempatnya masih punya waktu untuk sekedar menghabiskan malam dengan kegiatan iseng dan tak berarti sebelum pagi menjelang.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel