Chapter 10
Hans menginstruksikan Damar agar langsung menuju kediaman Narathama setelah mereka tiba di bandara. Ia akan memberikan oleh-oleh yang sudah dibelinya terlebih dulu kepada ibu dan adiknya, sekaligus ingin makan siang bersama. Selain itu, ia juga ingin memberi kabar menggembirakan kepada keluarganya tersebut mengenai hasil pertemuannya di Jepang. Setelah berhasil melebarkan sayap perusahaannya di Singapura dan Thailand, kini usahanya dalam merambah Jepang pun sudah membuahkan hasil seperti yang diharapkan.
“Dam, nanti kamu bicarakan saja dengan Mama mengenai konsep pesta perusahaan tahun ini. Apa pun konsep yang Mama mau, aku akan menyetujuinya,” ujar Hans sambil melihat keluar jendela.
“Baik, Tuan,” jawab Damar. Ia mengernyit ketika melihat mulut Pak Amin, sopir di kediaman Narathama berbicara tanpa bersuara. Seperti menyampaikan sesuatu padanya, tapi takut diketahui Hans. “Apa yang ingin dikatakannya?” batinnya bertanya-tanya.
“Dam, nanti tolong temui Dea dan berikan oleh-oleh dariku untuknya.” Hans kembali mengalihkan pandangannya ke depan. “Dea pasti akan menolak jika aku menemui dan memberikannya langsung,” sambungnya.
“Iya, Tuan,” Damar mengiyakan meski tidak yakin akan berhasil.
Tanpa terasa kini mobil yang Hans dan Damar tumpangi sudah memasuki halaman kediaman Narathama. Hans langsung memasuki rumah, sedangkan Damar dibantu Pak Amin menurunkan barang-barang milik sang majikan.
“Pak, tadi mau bilang apa?” tanya Damar setelah menutup kembali bagasi mobil.
“Saya tadi mau bilang, Nyonya Diandra ada di rumah ini sejak Tuan pergi ke Jepang,” beri tahu Pak Amin meski terlambat. “Semoga saja Tuan tidak marah mengetahui keberadaan Nyonya di sini,” sambungnya. Ia takut melihat kemarahan majikannya.
Damar hanya mengangguk lemah. Meskipun Damar tidak terlalu mengenal atau berinteraksi dengan Diandra, tapi ia kasihan juga melihat wanita itu yang selalu ditindas oleh Hans. Bahkan, dalam kondisi hamil seperti sekarang ini.
***
Rahang Hans mengetat melihat sosok wanita yang kini sedang menonton televisi di ruang keluarganya sambil memakan buah. Tanpa sepengetahuannya, wanita itu sudah lancang memasuki kediaman keluarganya, padahal baru ditinggal pergi beberapa hari saja. Ia tidak sudi kediaman keluarga besarnya dimasuki oleh wanita seperti Diandra.
“Siapa yang mengizinkanmu menginjakkan kaki di rumah ini?” Suara Hans menggelegar saat mendekati ruang keluarga.
Diandra menoleh ke sumber suara yang mengejutkannya. “A-aku ….” Karena saking terkejutnya, sehingga membuat Diandra gugup menjawab pertanyaan Hans.
“Keluar!” Hans mencekal dengan kuat lengan telanjang Diandra dan memberikan tatapan tajam.
“Hans!” Allona berseru saat keluar dari kamar pribadinya. “Lepaskan cekalan tanganmu. Jangan berbuat kasar kepada istrimu sendiri,” tegurnya. Ia bergegas menghampiri anak dan menantunya.
Hans melepaskan dengan kasar cekalan tangannya pada lengan Diandra. “Ma, bukankah aku sudah pernah bilang, bahwa wanita ini tidak pantas tinggal di sini?” protesnya.
Allona menarik dengan lembut Diandra yang tengah mengusap lengannya. Tercetak jelas bekas jari-jari besar menghiasi lengannya dan sudah memerah. “Mama yang memaksa dan memintanya tinggal di sini untuk sementara waktu selama kamu pergi,” beri tahunya. “Sudahlah, jangan mempermasalahkan hal ini lagi. Sebaiknya kita makan siang dulu, sepertinya Bi Harum juga sudah selesai menghidangkan makanan kesukaanmu,” sambungnya berusaha santai agar suasana teralihkan.
Hans mengabaikan perkataan Allona. Ia kembali menatap Diandra dengan penuh amarah. “Bi, bersihkan kamarku sekarang juga. Buang semua yang pernah disentuh oleh wanita ini!” perintahnya tegas.
“Hans, apa-apaan kamu ini? Untuk apa membuang barang-barangmu yang tidak bersalah,” protes Allona. “Selama Dee di sini, ia tidur di kamar tamu. Tidak ada satu pun dari barang-barangmu yang disentuh olehnya. Jangankan menyentuh barang-barangmu, letak kamarmu saja ia tidak mengetahuinya,” imbuhnya memberi tahu.
“Jangankan memasuki atau menempati kamarmu, melihatmu saja sudah membuatku sangat jijik,” Diandra menimpali dan membalas tatapan tajam Hans, tanpa memedulikan keberadaan Allona yang masih berada di tengah-tengah mereka.
Hans mendengkus. “Asal kamu tahu, aku lebih jijik melihat wanita sepertimu!” balasnya kejam.
Bukannya marah, Diandra malah tertawa renyah. “Yakin dengan yang Anda ucapkan, Tuan?” cemoohnya dan menatap Hans meremehkan. “Aku rasa ucapan Anda itu hanya bualan semata. Buktinya, meski diriku menjijikkan, Anda tetap berulang kali meniduriku. Bahkan, Anda dengan sengaja menanamkan benih di rahimku. Jangan-jangan, apakah Anda memang sudah merencanakannya, Tuan?” sambungnya mencerca.
“Hans!” tegur Allona saat melihat Hans mengangkat tangan dan hendak menampar Diandra.
Hans mengepalkan tangannya di udara, kemudian menurunkannya. Amarahnya sudah benar-benar terpancing oleh perkataan Diandra. “Sedikit pun aku tidak pernah mempunyai rencana untuk menikahimu. Bahkan, dalam mimpi sekali pun tidak ada,” bantahnya tajam.
“Seharusnya punya otak jenius digunakan baik-baik, Tuan. Jangan kejeniusannya langsung hilang setelah melihat selangkangan,” Diandra lebih dulu menanggapi perkataan Hans, sebelum Allona bersuara. “Apakah Anda sengaja menyetubuhiku tanpa pengaman atau karena saking bernafsunya? Jadi, siapa yang lebih picik dan menjijikkan, Tuan?” serangnya tanpa memedulikan keberadaan Allona di sampingnya. Diandra menyadari kata-kata yang dikeluarkannya sangat kasar, tapi ia tidak mau tertindas oleh laki-laki di hadapannya ini.
Kesabaran Allona menyaksikan pertengkaran anak dan menantunya sudah di ambang batas. “Hentikan! Cukup! Umur kalian sudah dewasa, belajarlah menyikapi keadaan dan menerima kenyataan. Jangan umur saja yang dikatakan dewasa, tapi pola pikir dan tindakan kalian masih seperti anak kecil. Mama tidak membela salah satu di antara kalian. Karena Mama sangat menyayangi kalian, makanya Mama berani mengingatkan seperti ini,” ucapnya tegas sekaligus penuh keibuan.
Allona menatap Hans dan Diandra yang menunduk secara bergantian. “Mama mengerti pernikahan ini sangat sulit untuk kalian jalani, terutama Dee. Namun, saling menyakiti tidak akan membuat kalian merasa hebat ataupun mengubah kenyataan yang telah terjadi. Mama sedih melihat kalian seperti ini. Kalian bukan musuh, melainkan telah menjadi sepasang suami istri sekaligus calon orang tua,” ucapnya setelah menghela napas.
Setelah hening beberapa menit, tanpa berpamitan terlebih dulu kepada Allona, Hans pun memutuskan pergi. Sebelum menaiki anak tangga menuju kamarnya, ia menatap Diandra nyalang.
“Ayo kita makan siang dulu, Nak.” Allona mendahului berbicara ketika melihat Diandra hendak membuka mulut. “Bi, tolong panggil Ve di atas,” pintanya pada Bi Harum. Setelah melihat Bi Harum mengangguk dan menaiki anak tangga, Allona menggandeng tangan Diandra dan membawanya menuju meja makan.
Sebenarnya Diandra ingin kembali ke kamarnya, karena nafsu makannya telah hilang. Namun, demi menghargai sang ibu mertua, ia pun terpaksa menerima ajakannya.
***
Usai membicarakan konsep pesta ulang tahun perusahaan yang akan diadakan sebulan lagi bersama Damar, Allona bergabung dengan anak-anaknya di ruang keluarga. Ia mengerutkan kening karena tidak melihat keberadaan Hans di ruangan tersebut.
“Di mana Kakakmu, Ve?” tanya Allona sambil duduk di single sofa.
“Masih di kamarnya, Ma,” Lavenia menjawab tanpa mengalihkan tatapannya dari layar televisi.
Allona mengangguk. “Sepertinya Hans sangat lelah.”
