Yatim piatu?
Eliza duduk di tepi ranjang, menggenggam tongkat penyangga dengan tangan yang masih terasa lemah. Meski kondisinya semakin membaik, ia masih merasakan ketidakpastian dalam pikirannya.
Pagi itu, Dokter Edward datang untuk melakukan pemeriksaan terakhir sebelum mengizinkan Eliza pulang. Setelah mengecek detak jantung dan tekanan darah, dokter tersenyum, memberikan anggukan kecil tanda Eliza cukup sehat untuk kembali ke rumah.
“Eliza, kondisimu semakin baik,” kata Dokter Edward sambil menuliskan beberapa catatan di papan kecil. “Tapi ingat, kau harus rutin cek up. Kita masih perlu melakukan beberapa tes lanjutan, termasuk MRT dan CT scan untuk memantau kondisi otakmu.”
Eliza mengangguk perlahan, meski ada sedikit kekhawatiran di balik matanya. “Berapa lama sampai ingatanku bisa kembali, Dok?”
“Tidak ada yang bisa memastikan. Ingatanmu bisa pulih secara bertahap, atau mungkin butuh waktu lebih lama,” jawab Dokter Edward lembut. “Yang penting, jangan terlalu memaksakan diri.”
Di ambang pintu, Diego menunggu, terlihat tidak sabar. Melihat Eliza sudah selesai berbicara dengan dokter, dia melangkah mendekat.
“Ayo, Eliza. Kita pulang,” ujarnya singkat tanpa menatapnya.
Eliza meraih tongkat penyangga dan berdiri perlahan, tubuhnya masih terasa lemah namun tekadnya kuat. Ia memandang sekeliling kamar, tempat yang telah menampungnya selama masa pemulihan ini, kemudian mengalihkan pandangannya ke arah Diego.
“Baiklah,” jawab Eliza, suaranya tenang tapi ada sedikit keraguan di dalamnya. Pulang ke rumah, tempat yang seharusnya penuh kehangatan, tapi Eliza masih belum merasakan rasa aman itu bersama Diego.
Diego menuntunnya keluar dari kamar, menuju lorong rumah sakit yang panjang. Sambil berjalan, Eliza berpikir tentang pesan dokter, tentang tes-tes yang harus dijalaninya. Ia berharap ingatannya bisa segera kembali, agar semua teka-teki ini terjawab.
Sesampainya di halaman parkir, Eliza menatap seorang wanita cantik yang tersenyum pada Diego, wanita yang sama yang tempo hari ia lihat.
"Dia siapa?" tanya Eliza pada Diego.
Namun sebelum Diego menjawab, wanita itu langsung mengenalkan dirinya. "Aku Yoona, sahabatmu sejak kecil," jawabnya dengan senyum lebar.
Eliza memaksakan diri tersenyum kepada wanita yang mengaku bernama Yoona. "Oh, Yoona. Sahabatku."
Yoona mengangguk, menatap Eliza dengan tatapan yang sulit diartikan. "Syukurlah kau ingat padaku, Eliza."
"Tidak," jawab Eliza dengan jujur. "Aku tidak mengenalmu."
Yoona menarik napas panjang, raut wajahnya tampak sinis. "Jangan banyak bicara, ayo kita pulang," sela Diego sambil membuka pintu belakang mobil dan membantu Eliza duduk di kursi belakang. Diego lalu masuk ke kursi pengemudi, sementara Yoona duduk di sampingnya.
Eliza bertanya-tanya dalam hatinya, "Mengapa mereka terlihat seperti pasangan?"
Dari belakang, Eliza memperhatikan bagaimana Diego tertawa renyah saat digoda oleh Yoona, bahkan sesekali Yoona menyentuh lengan Diego, seolah-olah Eliza tidak berada di sana sama sekali.
Sesampainya di halaman rumah yang mewah, Diego keluar dari mobil, berjalan mengitari kendaraan, dan membukakan pintu untuk Yoona dengan senyum di wajahnya.
Eliza melihat pemandangan itu, menunggu sejenak di dalam mobil, berharap Diego akan membukakan pintu untuknya juga. Namun, saat waktu berlalu dan Diego tidak beranjak ke sisinya, Eliza akhirnya membuka pintu sendiri dan turun dari mobil tanpa bantuan.
“Kau bisa berjalan sendiri, bukan?” kata Yoona dengan nada dingin, melirik Eliza.
Belum sempat Eliza menjawab, Yoona sudah menggandeng tangan Diego, melangkah ke depan, dan masuk ke dalam rumah tanpa sedikit pun memperhatikan Eliza.
Eliza menarik napas panjang, menahan perasaan tidak nyaman yang membuncah dalam dadanya. Dengan sedikit terhuyung, ia mengikuti mereka, melangkah pelan-pelan memasuki rumah besar yang terasa asing.
Di dalam rumah, Eliza berdiri canggung, menatap seorang wanita muda dengan wajah yang menyerupai Diego, serta seorang pria dan wanita paruh baya yang menatapnya dengan ekspresi datar.
Eliza menoleh pada Diego dengan ragu. “Apakah mereka keluargaku?”
Wanita muda itu maju, tersenyum sinis sambil membungkuk kecil. “Aku Casandra, adik iparmu. Kakak Eliza,” katanya dengan nada mencemooh.
Casandra menunjuk ke arah wanita paruh baya di sampingnya. “Itu ibu mertuamu, yang seharusnya kau hormati. Dia ibu Diego, Nyonya Jasmina. Dan itu…” Casandra mengarahkan jarinya pada pria berkepala botak di sebelah Jasmina. “Dia papaku, juga papanya Diego. Tuan Robert.”
Eliza menahan napas, merasakan kejanggalan di dadanya. “Lalu... di mana orang tuaku?” tanyanya dengan suara bergetar.
Jasmina, yang tampak dingin, menghela napas malas. “Kau yatim piatu. Kami mengangkatmu jadi menantu karena kasihan. Selama ini kau hidup di panti asuhan,” jawabnya tanpa perasaan.
"Deg!"
Ucapan itu menusuk hati Eliza. “Jadi, aku di sini hanya karena belas kasihan kalian?” bisiknya, matanya beralih pada Yoona. “Dan dia? Apakah dia tinggal di sini?”
Sebelum Jasmina sempat merespons, Diego menyela cepat, “Eliza, sebaiknya kau istirahat saja. Aku akan antar kau ke kamarmu.”
Dengan hati yang masih diliputi kebingungan dan rasa sakit, Eliza hanya bisa mengangguk pelan, mengikuti Diego menuju kamarnya, sementara bayangan perlakuan dingin keluarganya membekas di pikirannya.
Di kamar, Eliza duduk di atas ranjang, memperhatikan Diego yang dengan singkat menyelimutinya. Rasa bingung dan perih masih mengganjal di hatinya, namun ia mencoba untuk mencari jawaban.
"Diego," panggilnya pelan, "apa kau ada hubungan dengan Yoona?"
Diego berhenti, berdiri tegap di tepi ranjang sambil melipat kedua tangannya di dada. Tatapan dinginnya membuat Eliza semakin cemas.
"Fokus saja pada kesehatanmu, jangan banyak bertanya," jawabnya tanpa nada hangat.
Eliza terdiam, merasa kembali terasing di tengah rumahnya sendiri. Tanpa sepatah kata lagi, Diego berbalik dan melangkah keluar dari kamar, membiarkannya sendirian dalam kebingungan dan kesepian.
