Kepingan mimpi.
Hari itu, Eliza duduk di ranjang rumah sakit, memandang keluar jendela dengan tatapan kosong. Sudah satu minggu berlalu, namun tidak ada seorang pun yang datang menemuinya kecuali Diego. Rasanya begitu sepi, dan setiap kunjungan Diego terasa semakin menambah beban pikirannya.
Saat Diego akhirnya datang siang itu, Eliza menoleh, mencoba memasang senyum lemah. “Diego, aku ingin bertanya lagi... di mana papa dan mama? Apakah mereka tahu aku di sini?”
Diego tampak enggan menjawab. Dia hanya duduk di kursi di samping ranjang, menatap Eliza sejenak sebelum berkata, “Eliza, jangan terlalu banyak bertanya. Fokus saja pada pemulihanmu. Jika ingatanmu kembali, semuanya akan jelas.”
Eliza menggigit bibirnya, merasa ada sesuatu yang tak beres. “Tapi... bisakah kau menceritakan sesuatu tentang kita? Mungkin kenangan manis atau... apa pun yang bisa membantuku mengingat.”
Diego tersenyum tipis, namun senyumnya tidak menjelaskan apa pun. “Banyak, Eliza. Banyak kenangan indah yang kita miliki. Tapi... sekarang bukan waktunya untuk membicarakan itu.”
Eliza menatapnya dengan putus asa, berharap mendapat jawaban lebih. “Tapi aku ingin tahu, Diego. Rasanya semua ini begitu asing. Kau… hanya datang sebentar, seperti terburu-buru setiap kali. Apa benar aku adalah istrimu?”
Diego menghela napas panjang, berdiri dari kursinya. “Aku memang suamimu, Eliza. Tapi kalau kau terus seperti ini, hanya akan membuat keadaan lebih sulit. Ingatanmu akan kembali pada waktunya.”
Tanpa memberikan kesempatan Eliza untuk bertanya lagi, Diego menepuk bahunya perlahan. “Istirahatlah, Eliza. Aku harus pergi sekarang.”
Diego berbalik dan melangkah keluar ruangan, meninggalkan Eliza yang semakin bingung dan merasa hampa.
Eliza berdiri dengan langkah goyah, tubuhnya terasa lemah setelah seminggu terbaring di rumah sakit. Ia berjalan pelan menuju jendela, memandang ke luar dengan mata yang mulai lelah. Dari balik kaca jendela, ia melihat Diego tengah berbicara dengan seorang wanita yang tampak sangat cantik, mengenakan pakaian rapi dan tampak begitu akrab dengan Diego.
Wanita itu tertawa kecil saat Diego berkata sesuatu, dan mereka berjalan bersama menuju mobil di luar rumah sakit. Eliza memandang mereka dengan tatapan penuh kebingungan.
"Siapa wanita itu? Apakah adikku? Kakakku? Tapi kenapa dia tidak menemuiku kalau memang dia keluargaku?" gumam Eliza pelan, matanya tetap mengikuti setiap langkah wanita itu dan Diego. "Atau... adiknya?"
Pikirannya mulai kacau. Dia merasa ada sesuatu yang sangat penting yang hilang, tapi tidak bisa mengingatnya. Mengapa wanita itu tidak datang menemuinya, kalau memang dia orang terdekatnya? Atau mungkin ada sesuatu yang disembunyikan?
Eliza mendesah putus asa, menempelkan tangannya di kaca jendela, mencoba mencari jawaban dalam kekosongan pikirannya. "Apapun tentang diriku... atau Diego... aku sama sekali tidak mengingatnya," ujarnya dengan suara serak.
Tiba-tiba, matanya terhenti pada bayangan Diego yang melambaikan tangan kepada wanita itu, sebelum masuk ke mobil. Wanita itu terlihat tersenyum, dan Eliza merasakan sesuatu yang tajam menusuk hatinya. Ia tidak tahu mengapa, tetapi ada rasa aneh yang muncul, sebuah perasaan yang sulit ia jelaskan.
Dengan langkah berat, Eliza mundur dari jendela, kembali ke ranjangnya, mencoba menenangkan diri meski rasa bingung dan cemas semakin menyelimutinya.
Eliza memegang remote dengan tangan bergetar, menyalakan televisi dan mulai memindah-mindah saluran. Matanya berhenti di sebuah siaran ulang berita, yang menampilkan rekaman tentang kecelakaan yang menimpanya. Seorang reporter menjelaskan dengan detail, memperlihatkan gambar mobil rusak parah yang ditemukan di tengah jalan raya di malam yang sunyi.
"Kecelakaan tunggal?" bisik Eliza dengan suara serak. "Jadi... aku mengalami kecelakaan sendirian, di malam hari?"
Ia memandang layar dengan tatapan bingung. Kata-kata reporter terus mengalun di telinganya, menjelaskan bahwa kecelakaan itu terjadi karena dugaan pengemudi sedang dalam kondisi mabuk.
"Malam-malam... sendirian... mengemudi?" gumam Eliza lagi, mencoba mencari jawaban di benaknya yang kosong. "Mabuk? Aku... mabuk?"
Eliza mengerutkan keningnya, mencoba mengingat kejadian itu. Namun, setiap kali ia berusaha keras menggali ingatan, yang muncul hanyalah kilasan bayangan yang samar-samar—suara tembakan yang menggema, ledakan di tengah kegelapan, seolah berada di medan pertempuran. Gambar-gambar itu membanjiri pikirannya, membuatnya semakin bingung.
Dengan frustrasi, Eliza menutup matanya dan meremas kepalanya, berharap gambaran-gambaran aneh itu menghilang. Namun, suara-suara tersebut hanya semakin keras, seolah menuntutnya untuk mengingat sesuatu yang terkubur dalam ingatan.
Eliza memejamkan mata, menahan rasa sakit yang berdenyut di kepalanya, lalu perlahan membuka mata dan menatap layar televisi. Reporter kini sedang mewawancarai seorang pengamat otomotif, yang menjelaskan bahwa pengemudi tidak terbukti dalam keadaan mabuk pada saat kecelakaan.
“Menurut pemeriksaan, penyebab kecelakaan bukan karena mabuk, tetapi karena rem blong. Namun, untuk mobil baru seperti itu, seharusnya sangat kecil kemungkinan terjadi kerusakan mendadak,” jelas pengamat itu dengan serius.
Eliza mengulang kata-kata itu dalam hati. "Mabuk… rem blong…" gumamnya pelan, mencoba merangkai potongan-potongan informasi yang berserakan dalam pikirannya.
Sebuah perasaan tidak nyaman mulai tumbuh di hatinya, seolah ada sesuatu yang tidak beres. “Mobil baru… rem blong… tidak masuk akal,” bisiknya. Ia merasakan firasat aneh, seolah kecelakaan ini bukan sekadar kecelakaan biasa.
Eliza menghela napas dalam-dalam, mencoba menenangkan pikirannya yang bergejolak. “Dan Diego... dia tidak terlihat khawatir padaku... bukankah aku istrinya?” ucapnya dengan suara pelan, namun penuh kebingungan. Ia menggeleng, merasa semakin terjebak dalam pikiran yang membingungkan.
“Benar-benar aneh,” gumamnya lagi. “Mungkin memang benar. Aku tidak mengingat semuanya karena aku amnesia.” Ia mencoba berdamai dengan prasangka yang muncul, tapi rasa tidak nyaman tetap menghantuinya.
Bayangan perempuan yang tadi ia lihat bersama Diego di halaman rumah sakit muncul lagi dalam pikirannya. Wajah cantik perempuan itu tampak samar, namun tatapannya terasa akrab, seolah-olah ada hubungan di antara mereka.
“Siapa perempuan itu?” bisiknya, tak bisa menahan rasa penasaran yang terus muncul. Apakah dia orang dekat? Teman? Atau bahkan seseorang yang lebih dari sekadar kenalan bagi Diego?
Eliza merasa dirinya terjebak dalam teka-teki yang tidak ia pahami, dan setiap potongan ingatan yang samar-samar muncul justru semakin menambah kebingungannya.
