Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 Melamar kerja

2

Aira turun dari ojek online yang membawanya ke alamat yang tertera dalam selebaran itu. 

Wanita itu terperangah menatap bangunan di depannya. Bangunan yang lebih pantas disebut istana daripada sebuah rumah. Dengan bayi dalam gendongan, Aira masih berdiri mematung mengagumi bangunan itu hingga suara klakson mobil mengagetkannya. 

Ia menyingkir saat sebuah Mercedes-Benz warna hitam mengkilap hendak masuk dan gerbang rumah terbuka otomatis. Menampilkan dengan jelas apa yang tak terlihat jika pintu kokoh itu tertutup. 

Mata Aira kembali terbelalak. Seumur hidupnya baru kali ini melihat bangunan megah langsung di depan mata. Hingga seorang berseragam sekuriti menghampiri. 

"Maaf, Mbak. Ada yang bisa dibantu?" Bapak sekuriti bertanya heran seraya meneliti dengan seksama wanita dengan bayi tertidur dalam gendongan. 

"I-iya, Pak. Maaf saya mau bertanya. Apa alamat ini benar di sini?" tanya Aira sedikit gagap, menyadari dirinya sejak tadi berdiri mengagumi bangunan di hadapannya. 

Sekuriti memperhatikan kertas selebaran yang disodorkan Aira. Kemudian kembali memperhatikan penampilan wanita berambut sebahu itu. 

"Iya Mbak, benar."

"Jadi benar ya, bos rumah ini sedang mencari pekerja yang mau menyusui bayinya?" Mata Aira berbinar. Secercah harapan hadir, ia akan mendapat pekerjaan agar hidupnya tak terlunta-lunta. 

"Iya, benar. Pak bos memang sedang mencari wanita yang mau menyusui bayinya. Tapi…." Sekuriti menggantung kalimat. 

"Tapi kenapa, Pak?" Kening Aira berkerut. 

"Mbak mau melamar kerja jadi ibu susu dengan membawa bayi?" Pria kekar dengan wajah legam karena matahari itu menunjuk bayi dalam gendongan Aira. 

"Memangnya tidak boleh, Pak?" tanya Aira seraya mengeratkan pelukan di tubuh mungil Raka. 

"Saya … ya, sudah saya hubungi dulu ke dalam," ujar pria itu tidak yakin. Kemudian berlalu ke dalam bangunan kecil di dalam gerbang, yang diyakini Aira adalah pos-nya. 

Tak lama berselang, sekuriti itu kembali menghampiri Aira yang hanya berdiri di luar gerbang, menunggu dengan harap-harap cemas. 

"Mbak, di dalam sudah ada tiga pelamar dan mereka tidak ada yang membawa bayi, kalau salah satu dari mereka Pak Bos terima jadi ibu susu tuan muda, maaf, berarti tidak ada kesempatan buat Mbak." Sekuriti menjelaskan. 

"Sekarang Mbak berteduh saja dulu di pos, di sini panas," lanjut pria usia empat puluhan itu. 

Aira mengangguk, kemudian berjalan menuju bangunan kecil di dekat gerbang. Duduk di terasnya dengan terus memeluk Raka. Berdoa meminta pada Yang Kuasa agar membukakan jalan rezekinya. Kalau benar ada rezekinya di rumah itu, pasti Allah akan membukakan jalannya. 

Setengah jam berlalu. Seorang wanita keluar dari sana diantar pekerja berseragam. Wajah wanita itu lesu. Sepertinya tidak mendapat apa yang ia inginkan. 

"Nah, Mbak lihat itu. Wanita itu tidak diterima Pak Bos. Padahal dilihat dari bodinya sepertinya air susunya subur. Dia juga tidak membawa bayi." Sekuriti yang dari name tag-nya terbaca Rudy, menunjuk wanita yang baru keluar. Dadanya memang terlihat besar. Lebih dari ukuran normalnya. 

Aira menarik napas panjang. Ia mencoba tenang. Mungkin memang bukan rezeki wanita itu, siapa tahu rezeki dirinya. 

Setengah jam kemudian wanita kedua keluar. Kali ini wanita dengan rok mini dan baju berbelahan dada rendah. Wajahnya tertutup make-up tebal. 

"Nah, yang itu juga tidak diterima. Padahal lihat sendiri kan, Mbak, penampilannya." Kembali sang sekuriti bicara, seolah-olah sengaja mengecilkan hati Aira yang sejatinya sudah kecil harapan. 

Mendengar cerita sekuriti bernama Rudy dengan satu temannya yang duduk di dalam pos, Aira bisa menyimpulkan kalau Bos rumah itu pastilah seorang yang perfeksionis. Terbayang wajah tua yang diktator, dan tanpa belas kasih dengan kening lebar dan licin karena sebagian rambutnya yang menipis. 

"Mbak, sudah pulang saja. Saya kasihan sama kamu, nanti sudah lama menunggu ternyata pelamar ketiga diterima. Seingat saya, pelamar ketiga ini wanita muda umur belasan tahun. Pasti air susunya masih sangat subur. Lalu Mbak sendiri, lihatlah! Tubuh kurus kering, masih menyusui bayi sendiri juga. Jadi, saran saya mendingan susui saja anaknya …." Kalimat Rudy tidak selesai karena telepon di pos satpam berbunyi, dan temannya mengabarkan kalau Aira suruh diantar ke dalam. 

Pria itu bungkam seketika. Apalagi tak lama wanita ketiga yang ia ceritakan, keluar dengan wajah ditekuk dan bibir tak henti mengomel. 

"Apa lihat-lihat? Mau aku susui, hah?" Wanita yang baru keluar itu melotot tajam ke arah Rudy. "Bos kaliankaliakp itu aneh banget. Lihat mukaku saja tidak mau. Apa aku ini mengerikan?"

Wanita itu marah-marah di depan pos satpam. Hingga membuat Aira dan dua sekuriti menganga heran. 

***

Di sini Aira sekarang. Duduk menggigil di sebuah ruangan sambil mendekap erat Raka yang masih juga tertidur pulas. Tubuh yang tidak terbiasa diterpa pendingin ruangan, yang menjadikan wanita itu menggigil. 

Aira mengedarkan pandangan dengan takjub. Semua barang yang tertangkap indera penglihatannya membuat wanita itu berdecak kagum sejak tadi. Bahkan sejak seorang pegawai menyambutnya di pintu masuk dan mengantar ke ruangan tersebut. Semua properti yang sering ia lihat dalam sinetron televisi lokal, kini ia saksikan langsung di depan mata. 

Bahkan ia merasa kerdil berada di ruangan semewah itu. Ia yang menggunakan baju lusuh dan bau keringat, apa bisa diterima bekerja sebagai ibu susu dari anak pemilik rumah itu? Bahkan, tiga wanita sebelumnya yang penampilannya lebih baik dari dirinya, tertolak begitu saja. Sementara ia dengan percaya diri melamar pekerjaan itu. 

Aira terus berdoa dalam hati agar ada rezeki dirinya di sana. Kalaupun tidak menjadi ibu susu, pekerjaan apa saja yang bisa ia kerjakan. Karena seandainya ditolak, ia tidak tahu harus pergi ke mana setelah ini. 

Pintu ruangan terbuka bersamaan Aira membuka mata. Seorang pria tinggi usia awal empat puluhan berjas rapi masuk, dan langsung menghampiri dirinya. 

"Sebentar lagi, Bos akan menemui kamu," ujar pria berwajah datar. Kemudian kembali ke depan pintu, membukakan benda persegi panjang itu untuk seseorang. 

Mata Aira tak berkedip, bahkan wanita itu sampai menahan napas, menunggu seseorang masuk dari sana. Bayangan pria tua botak, buncit, dengan gaya diktator langsung memenuhi imajinasinya. Namun, mata wanita itu melebar sempurna saat sesosok pria gagah dengan kemeja dan celana serba hitam usia awal tiga puluhan keluar dari sana dengan wajah dinginnya. 

Pupil mata Aira bergerak seiring langkah pria dengan garis wajah tegas, hidung bangir, alis mata tebal juga sepasang rahang yang kokoh dan sedikit berbulu itu, mendekat ke arahnya. 

Mata Aira terus menatap sosok yang bahkan sudah berhenti dan berdiri di depannya. Wanita itu seolah-olah sedang menikmati wajah seorang pria dalam sebuah lukisan klasik di museum. Tampan, tetapi sangat dingin. Aira bahkan yakin tak pernah ada lengkung senyum di wajah itu. 

"Ini pelamar berikutnya?" tanya pria dingin kepada pria yang masuk lebih dulu. 

"Iya, Bos. Hari ini dia yang terakhir." Pria yang masuk lebih dulu menjawab. 

Pria dingin yang dipanggil bos, memperhatikan Aira dan bayi dalam gendongannya dengan seksama beberapa saat, sebelum berkata dengan tegas. 

"Tunggu pelamar berikutnya, atau tunggu besok. Aku bahkan tidak yakin wanita ini memiliki air susu. Untuk anaknya saja belum tentu cukup, apalagi dibagi dengan putraku!" Pria dingin berkata bahkan dengan melangkah menuju pintu, tanpa melirik lagi Aira sama sekali. 

"Tapi, Bos

…."

"Tapi apa Jo? Apa tidak ada lagi wanita menyusui yang sehat dan tergiur dengan uang sepuluh juta?" potong Pria dingin sebelum tubuhnya menghilang di balik pintu. 

Pundak Aira pun meluruh, ia ditolak bahkan tidak lebih dari lima menit. Pantas saja semua wanita tadi keluar dengan kecewa. Ternyata dirinya pun sama. 

Aira berjalan dengan lunglai menuju pintu di mana pria dingin itu keluar. Seorang pelayan membersamainya. Pupus sudah harapan untuk mendapat pekerjaan di hari pertama ia keluar dari rumah Randi. Entah akan ke mana setelah ini. Menawarkan diri sebagai pembantu pun, rasanya tidak mungkin karena ia punya seorang bayi. Pria dingin itu tidak akan sudi mempekerjakan wanita dengan bayi selalu dalam gendongannya. 

Baru selangkah kaki Aira keluar ruangan itu, terdengar suara tangis bayi entah dari ruangan mana. Awalnya hanya samar, tetapi lama-kelamaan menjadi jelas. 

Suara tangis itu sangat nyaring, hingga mampu menggetarkan hati Aira. Namun, tak ada alasan untuk kasihan, toh ia sudah ditolak. 

Aira terus melangkahkan kaki sambil menunduk mengikuti pelayan yang akan mengantarkannya keluar. Hingga ….

"Jo, suruh wanita itu membersihkan diri. Aku tidak mau anakku disusui dengan tubuh berdebu dan bau keringat!"

Aira menoleh. Terlihat pria dingin itu menggendong bayi yang menggeliat dan nangis kejer. Pandangan pria dingin tertuju ke arahnya. 

Apa ini artinya dirinya diterima bekerja? 

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel