Pustaka
Bahasa Indonesia

IBU SUSU ANAKKU

141.0K · Tamat
Rosemala
112
Bab
27.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

Setelah dikhianati suami, aku harus bertahan hidup demi bayiku. Menjadi ibu susu untuk anak seorang pria kaya adalah jalan tercepat yang bisa kulakukan. Semua demi bayiku, sayangnya keputusanku ternyata membuat aku dilema karena tak lagi bisa mengurus anakku sepenuh waktu. Aku bukan saja harus membagi air susu antara anak sendiri dan anak pria kaya, tetapi membagi segalanya hingga anak sendiri terabaikan. Kami kelaparan tetapi waktu dan kasih sayang penuh untuk anakku, atau kebutuhan anakku terpenuhi tetapi waktu dan air susuku harus terbagi?

RomansaIstriDewasaAnak KecilLove after MarriageKawin KontrakPengkhianatanKeluargaSweetTuan Muda

Bab 1 Pengkhianatan

1

Aira menatap tak percaya lelaki yang duduk di tempat tidur sambil menyeringai. Barusan, lelaki itu mengucap kalimat tak masuk akal. 

"Apa aku tidak salah dengar, Mas?" Aira masih berusaha meyakinkan dirinya kalau semua itu tidak nyata. Padahal, apa yang tampak di depan mata sudah cukup menjelaskan semuanya. 

"Tidak Aira! Aku bilang kalau kamu masih mau tinggal di sini, terserah. Tapi, kamu harus mau berbagi segalanya dengan Wita, termasuk tempat tidur." Lelaki itu melirik wanita yang sedang tertidur lelap di sampingnya. Membelai rambut wanita itu, lalu mencium keningnya. 

Semua dilakukan Randi di depan mata Aira tanpa memperdulikan perasaan wanita yang menggendong bayi itu. 

Sakit? 

Tentu saja. 

Istri mana yang tidak hancur mendapati suaminya berada di tempat tidur dengan wanita lain. Tempat tidur yang selama ini menjadi saksi cinta mereka, hingga akhirnya Raka –buah cinta mereka hadir. 

Aira mendekap erat Raka yang tertidur pulas dalam gendongannya. Kepalanya menggeleng, matanya sudah basah hingga pandangannya tak lagi jelas. 

Jangan tanya bagaimana kondisi hatinya saat ini. Tak ada kata yang mampu menggambarkan. 

Kakinya perlahan mundur. Mengambil tas di atas lemari, lalu memasukkan semua pakaiannya, juga semua perlengkapan Raka. 

Tak ingin membuang waktu lama. Setelah berkemas dalam waktu singkat, Aira segera keluar dari kamar laknat yang baru saja dipakai tempat mesum Randi dengan wanita tidak malu itu. 

"Apa kau yakin mau pergi dari rumah ini?" Pertanyaan bernada ejekan meluncur dari mulut Randi, saat Aira hampir mencapai pintu utama. Lelaki itu menyusulnya. 

Wanita kurus dengan rambut sebahu itu menghentikkan gerakkan tangannya. Lalu berbalik menatap laki-laki yang sesungguhnya masih bergelar suaminya. 

Hati Aira semakin terkoyak saat mendapati Randi tak berpakaian. Hanya boxer yang setiap hari dicuci dengan tangannya yang melekat di tubuh laki-laki itu. 

Aira sangat mengerti apa yang sudah terjadi di dalam sana antara Randi dan wanita yang sedang tertidur pulas itu. 

"Talak aku sekarang!" ujar Aira dengan menahan gemuruh di dada. Matanya menatap nyalang wajah Randi. 

Sebenarnya ia tak ingin mengucapkan kalimat itu. Cita-cita hidupnya adalah menikah sekali seumur hidup. Menjalani rumah tangga dengan lelaki yang mengucap ijab qabul atas namanya sampai maut memisahkan. Namun, rumah tangga seperti apa yang akan ia dapatkan setelah melihat sendiri kebejatan Randi? 

"Sombong sekali wanita ini! Kau pikir bisa hidup tanpa aku, hah? Kalau aku menceraikanmu, kau mau pergi ke mana, hah? Mau jadi gembel? Tinggal di kolong jembatan?" Randi membentak sambil mendengkus kasar. 

Aira terhenyak. Ia tidak berpikir sampai sejauh itu. Namun, tekadnya sudah bulat untuk pergi dari sana. Tak ada yang bisa diharapkan lagi dari lelaki seperti Randi. Kalau ia tetap bertahan di rumah ini, sama saja bunuh diri pelan-pelan. Karena ia akan terus menyaksikan kemesraan Randi dengan wanita bernama Wita itu. 

"Apa kau tidak dengar? Talak aku sekarang juga Randi Haryanto! Aku tidak sudi terus menjadi istri lelaki bejat sepertimu!" teriak Aira tak terkendali. Ia bahkan lupa kalau Raka sedang tertidur pulas dalam buaiannya. Alhasil bayi tiga bulan itu kaget, lalu menangis keras. 

Aira gegas menghapus sudut matanya, lalu menenangkan Raka. 

Rasa sakit dan marah atas perlakuan Randi membuatnya lupa kalau Raka baru saja tertidur, setelah semalaman rewel akibat demam tinggi. 

Bukan hanya Raka yang terkejut dengan teriakkan Aira. Wanita yang tertidur pulas setelah perbuatan mesumnya dengan Randi pun terbangun. Lalu keluar kamar dengan hanya memakai handuk sebatas dada. 

"Ada apa, sih, Bang? Berisik banget?" tanya wanita yang mengucek matanya. Lalu bergelayut manja di lengan Randi. 

"Tidak ada apa-apa, Sayang. Sudah kamu tidur saja, katanya capek setelah perjalanan indah kita." Randi menoleh ke arah wanita itu seraya tersenyum manis. 

Aira memejamkan matanya dengan kuat sebelum meraih gagang pintu, lalu mengambil langkah lebar menuju halaman. 

"Hei, Aira! Mau ke mana? Apa kau mau jadi gembel? Sudah terima saja berbagi suami dengan Wita. Malah seharusnya bersyukur ada yang membantumu melayaniku. Sadar diri saja kalau kau sudah tidak bisa melayaniku dengan baik, karena terlalu sibuk mengurusi bayi itu!"

Aira terus membawa langkah-langkah panjangnya menuju jalan raya. Ia tak mempedulikan lagi teriakkan dari mulut busuk Randi. Keinginannya saat ini adalah pergi sejauh-jauhnya dari lelaki dan rumah laknat itu. 

Ia terus berjalan sampai makian dan sumpah serapah Randi tak tertangkap indera pendengarannya lagi. Aira pergi bersama hati yang remuk redam. 

***

Matahari hampir mencapai puncak tertingginya siang ini. Panasnya mungkin mencapai 37°C. Angin panas bergerak membawa debu dan dedaunan kering yang gugur dari pohonnya. 

Aira mengusap peluh yang mengaliri pelipisnya. Kemeja lengan panjang yang dipakainya sudah basah oleh keringat. Namun, ia masih terus berjalan tanpa arah tujuan. 

Selama ini, selain rumah Randi, ia memang tak punya tempat lain untuk bernaung. 

Aira menghentikan langkah. Raka yang semula tidur, mulai rewel karena perutnya lapar. 

Wanita itu berniat mencari tempat berteduh sekalian ingin menyusui sang anak. Kakinya hendak melangkah ke pelataran sebuah masjid saat matanya menangkap selebaran yang ditempel di tiang listrik. 

Bola matanya melebar memperhatikan tulisan demi tulisan di kertas yang mulai lusuh itu. Bukan apa-apa, ia sangat tertarik dengan pengumuman di sana, karena tulisan paling atasnya sangat mencolok. 

'Lowongan kerja. Dicari wanita yang mau menyusui bayi baru lahir.'

Itu bunyi tulisan paling atas. Aira semakin mempertajam penglihatan. Tangannya menyentuh kertas selebaran itu. Memperhatikan dengan seksama syarat-syarat yang tertera di sana untuk calon pelamar pekerjaan itu. 

Wanita dengan air susu masih subur. Bersedia menyusui langsung tanpa diperah. Bersedia bekerja dua puluh empat jam. Bisa mengurus bayi. Keibuan. Gaji sepuluh juta, bisa nego. 

Itu beberapa syarat yang tertera di sana, dan tulisan paling bawah, membuat bola mata Aira terbelalak. 

Gaji sepuluh juta masih bisa nego? Itu sangat luar biasa. 

Apa itu tidak terlalu tinggi untuk ukuran pekerjaan hanya menyusui dan mengurus bayi? 

Bukan gaji tinggi yang akhirnya membuat jari-jarinya mengetik nomor yang tertera di sana untuk melamar pekerjaan itu. Namun, air susunya yang subur, mungkin bisa dibagi antara Raka dan bayi lain yang membutuhkan. 

Ia dan Raka juga butuh tempat berlindung. Butuh makan untuk kelangsungan hidup setelah lepas dari Randi. 

Maka, Aira pun rela menjual air susunya, untuk kelangsungan hidup mereka. Walaupun mungkin ke depannya Raka tidak bisa menjadi prioritas.