Pustaka
Bahasa Indonesia

I Love Your Mouth

87.0K · Tamat
Julia Inna Bunga
47
Bab
29.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

Cinta datang tiba-tiba tanpa bisa ditebak. Kata-kata itu tampaknya kini bernaung dalam perasaan Jorge Luis de Olmo, seorang CEO muda yang sejak dulu selalu menganggap wanita adalah pelampiasan hasrat seksualnya. Kecintaan pada oral seks sejak remaja membuat Jorge Luis de Olmo kecanduan dan acap kali memesan banyak wanita penghibur, hingga waktu mempertemukannya dengan seorang gadis cantik bernama Felicia Vella. Siapakah Felicia Vella sebenarnya? Mantra apa yang sudah gadis itu berikan pada seorang Jorge Luis de Olmo sehingga ia tak tertarik dengan mulut wanita lain lagi? Lantas, dapatkah keduanya bersama mewujudkan rasa yang membuncah, ketika semua masa lalu buruk dijadikan satu pertimbangan oleh kedua orang tua sang yang bergelar konglomerat di ibu kota?

PresdirCinta Pada Pandangan PertamaMenantuTuan MudaRomansaMetropolitanBillionaireSuspenseIstriLove after Marriage

Prolog

"Oughhh... shit! Ayo, Sayanggg... Ya, seperti itu. Oughhh... Yeachhh... Pakai lidahmu! Oughhh... Ssttt..." desah seorang pria berusia dua puluh lima tahun, Jorge Luis de Olmo.

Ia terus memegangi kepala wanita yang sedang memberikan kenikmatan surga dunia, kesukaannya. Namun satu insiden tak diinginkan terjadi di sana.

"Arghhh... Sialan, lo! Sakit, Goblok!" teriaknya menjambak kepala sang wanita pekerja seks komersial.

"Ampunnn... Lepaskan ak-"

"Bego! Udah gue bilang jangan pakai gigi, kan? Argh! Kenapa lo masih pake gigi aja, hah?! Lo sengaja 'kan biar gue suruh cepat pulang?!" amuk Jorge semakin menjambak rambut wanita tersebut.

"Arghhh...! Ng-nggak, Om! Gue-"

"Cuih! Apa lo bilang tadi? Om? Sejak kapan gue nikah sama Tante lo, hah?!" potong Jorge mendorong wanita itu, hingga terjerembap ke lantai kamar hotel.

Ia lekas menurunkan seluruh celana berbahan kain yang kala itu hanya terbuka sebatas lutut saja dan kembali menjambak rambut wanita bayaran tersebut.

"Cepat lo keluarin punya gue! Hisap cepat! Oughhh...!" teriak Jorge langsung memasukkan batang kemaluannya dalam mulut sang wanita.

"Empphhh..."

Gadis itu hanya bisa mengeram dan menahan perlakuan gila Jorge di sana. Karena takut, ia mengikuti perkataan sang Tuan dan berusaha membuka lebar-lebar rongga mulutnya. Ia lantas menumpu tubuhnya, yang sedang berlutut di depan pangkal paha Jorge dengan kedua tangan.

Sementara Jorge sendiri, sibuk menjambak rambut sang wanita dan memaju mundurkan kepalanya seperti seorang hamba yang terhukum.

Sampai menit ke delapan Jorge belum juga merasakan hal nikmat, namun di menit ke sembilan pria itu akhirnya mendesah juga.

"Oughhh... Yeachhh... Jangan pakai gigi, Sayang! Good! Oughhh... Ssttt... Ahhh... Terusss... Ya! Seperti itu, Sayanggg... Oughhh...!" racau Jorge tak karuan.

Seluruh ruangan kamar hotel, kini hanya berisi teriakkan nikmat pria berusia dua puluh lima tahun itu. Ia mulai dapat menikmati permainan oral seks yang sejak masa remaja selalu menjadi kegemaran utamanya, namun ia kembali mengasari wanita bayarannya, karena hal yang sama seperti tadi terulang kembali.

"Arghhh...! Brengsekkk...! Gue bilang jangan pakai gigi sialanmu itu, kan? Kenapa masih lo pakai lagi, hah?! Brughhh..." teriak Jorge, mendorong sang jalang hingga membentur tembok, "Lo memang sengaja, kan? Lo pengen buat gue marah, kan? Jawab, bego! Plak!"

Sampai-sampai satu tamparan terlepas begitu saja dan saat itu juga wanita pekerja seks komersial itu pingsan, setelah ia lebih dulu membentur tembok.

"Heh, bangun! Lo budek ya? Gue bilang bangun, cewek tolol!" bentak Jorge menjamah wanita itu.

Namun tak juga Jorge mendapatkan balasan dari amarah yang dilontarkannya, sehingga sekali lagi ia memuntahkan kekesalannya.

"Shit! Dasar germo sialan! Cewek bego begini di kasih ke gue! Liat aja lo nanti. Gue bakalan hancurin bisnis sialan lo ini!" amuk Jorge melangkah ke meja nakas, di samping tempat tidur.

Di sana Jorge mengambil ponselnya dan mulai menghubungi Germo yang beberapa jam lalu sudah bertransaksi dengannya.

Tut tut tut tut tut

"Halo, Ko?"

"Halo, lo di mana? Cepat bawa cewek bego ini keluar dari kamar ini. Lo tahu apa? Dia pingsan!" sahut Jorge saat panggilan teleponnya sudah tersambung.

"Astaga, Ko! Kenapa bisa?"

"Lo tanya kenapa bisa? Harusnya lo seleksi dulu cewek yang mau lo kasih ke gue, Bego! Ini cewek nggak bisa apa-apa, kali! Lo cari perkara sama gue?!" bentak Jorge dengan wajah merah padamnya.

"Aa..am..pun, Ko. Ane pikir Koko pengen yang perawan. Makanya Ane kasih-"

"Brengsek! Gue doyan di emut, Bego! Lo suruh gue perkosa anak perawan yang nanti tahunya cuma ngangkang doang? Sialan lo! Cepat lo datang dan bawa nih cewek keluar dari sini. Gue nggak mau lagi pakai barang dari lo! Sialan! Klik," sahut Jorge mematikan panggilan teleponnya.

Ia segera mencari nomor ponsel wanita Janda yang sejak dulu selalu memberi pelayan terbaik baginya dan saat ponsel itu tersambung, suara kasar Jorge berubah menjadi halus seketika.

"Halo, Ko?"

"Halo, Mbak Mitha cantikkk... Mbak ada di mana sekarang? Aku ada perlu banget nih. Di tempat biasa, ya? Soalnya aku-"

"Aduhhh... Maaf banget ya, Koko ganteng? Mbak udah nggak kerja lagi sama Mami Siska, Ko. Soalnya Mbak baru aja menikah. Jadi Suami Mbak udah nggak kasih izin lagi buat kerja. Maaf ya, Ko?" ujar Paramitha di ujung telepon.

Beberapa detik mereka saling sahut menyahut, dan ternyata perbincangan telepon itu sejak tadi di dengar oleh seorang wanita yang duduk tak jauh dari tempat Paramitha berada.

"Ya sudah deh, Ko. Coba aku hubungi teman-teman di sana dulu, ya? Kali aja ada yang-"

"Mbak, punya lowongan pekerjaan ya? Apa boleh saya ikutan ngelamar kerja di tempat kerja itu? Cuma saya hanya lulusan SMA, Mbak. Nama saya Felicia Vella dan ini ijazah saya kalau Mbak mau melihatnya," potong sang wanita di sebelah Paramitha.

Deg

Tiba-tiba saja jantung seseorang di seberang telepon berlari dengan kencang, dan tentu pemiliknya adalah Jorge Luis de Olmo.

Suara halus nan lembut Felicia Vella membuat si junior di pangkal paha kembali mengeras, dan secepat kilat satu tindakan segera ia ambil sebelum Paramitha mengeluarkan bunyi di pita suaranya.

"Mbak Mitha, antar aja cewek itu ke tempat aku sekarang. Bisa nggak, Mbak?"

"Tapi, Ko-"

"Tenang aja, Mbak. Aku nggak bakal lupa kok jatah buat Mbak juga. Mau ya, Mbak Mitha cantikkk...? Punyaku sudah tegang banget nih, Mbak. Dengar suara Mbak aja buat aku makin tegang, apalagi tambah suara cewek itu. Berasa dikeroyok dua orang aja punya aku ini. Ughhh..." ujar Jorge mendesah di ujung telepon.

Mendengar perkataan dari pelanggan setianya seperti itu, Paramitha tentu saja terkekeh keras di ujung telepon. sampai-sampai ia membuat perempuan cantik di sebelahnya sedikit terkejut, namun gadis itu berusaha menetralisir rasa canggung yang ada dalam dirinya.

"Oke deh kalau gitu, Ko. Mbak antarkan cewek ini langsung ke sana ya? Nanti di dalam taksi, Mbak jelaskan semuanya. Maaf ya kalau selesai Mbak jelaskan, eh sampai sana ternyata Mbak cuma sendirian aja efek dia menolak pekerjaan yang Koko ganteng tawarkan. Soalnya cewek ini 'kan bukan saudaranya Mbak Mitha. Kenal aja baru sekarang. Jadi-"

"Aduh, Mbak. Jangan gitu dong. Nggak usah Mbak Mitha yang jelaskan. Biar sampai di sini, aku aja yang kasih tahu. Oke? Nanti benar-benar kabur lagi. Udah tanggung nih," sahut Jorge membuka pintu kamar hotel, dan memberi kode pada germo bernama Indra itu untuk masuk ke dalam.

"Oh, gitu? Ya sudah. Kalau Koko maunya kayak gitu, Mbak cari taksi deh sekarang. Jadi di mana nih alamatnya, Ko?"

"Nanti aku sms ya, Mbak? Sekalian sama nomor kamarnya juga. Intinya sekarang Mbak cari taksi terus cepat ke sini ya, Mbak" jelas sang CEO.

"Siap, Bos. Siappp...!" Paramitha pun terkekeh sembari menjawab perkataan Jorge, sebelum suara pria itu akhirnya hilang dari pendengarannya.

"Oke! Ko Gege bilang kamu boleh kerja sama dia. Jadi, sekarang kamu ikut Mbak ke san- Lho! Baju kamu kok kucel gini? Nggak ada baju lain yang rapi sedikit gitu?" ucap Paramitha sedikit terkejut.

"Maaf, Mbak. Saya baru datang dari kampung. Saya itu, Mbak. Egh, saya..."

"Itu apa, hem? Jangan-jangan kamu maling, ya?" selidik Paramitha.

"Bu-bukan, Mbak. Saya kabur dari rumah Paman di Surabaya. Soalnya saya mau dijadikan Istri anaknya, Mbak. Kami 'kan masih sepupu dekat. Saya nggak mau jadi kabur dari kemarin ke sini cuma bawa ijazah SMA saya ini aja, Mbak," jelas Vella.

"Astaga! Paman kandungmu?" kaget Paramitha.

"Iya, Mbak. Makanya itu saya kabur. Orang tua saya sudah lama meninggal waktu masih kecil, Mbak."

"Ya udah, kalau gitu ikut Mbak aja. Dekat sini ada pasar loak yang jualan pakaian masih bagus-bagus. Kamu nanti Mbak carikan gaun baru kita ke tempat si Koko. Soalnya Ko Gege itu- Lha! handphone Mbak bunyi lagi! Pasti dari Koko ini," gerutu Paramitha.

Ia secepat kilat mengambil ponsel dari saku celana jeans dan isi kepalanya tepat seribu persen.

"Tuh, kan! Si Koko lagi ini. Ngebet banget deh kayaknya," cicit Paramitha dan Vella hanya bisa terdiam.

Di detik selanjutnya Paramitha sedikit menjauh dari gadis cantik tersebut, namun sebelumnya ia masih menyuruh Vella untuk menunggu sebentar saja. Tak sampai lima menit kemudian, Paramitha sudah kembali di dekat Vella dan mengutarakan apa yang ia dengar di telepon barusan.

"Nggak jadi, Feli. Soalnya si Koko-"

"Panggil Vella aja, Mbak."

"Alah. Iya! Vella. Jadi begini lho. Koko itu nggak mau kita ke pasar loak lagi. Katanya nanti dia aja yang suruh anak buahnya buat belikan baju. Kamu juga nanti mandi sama makannya di sana aja katanya. Jadi, ya udah. Ayo kita cari taksi deh," jelas Paramitha.

Vella hanya bisa menganggukkan kepala dan menurut saja dengan perkataan Paramitha. Ia bahkan sudah memikirkan hal buruk yang akan terjadi padanya, sejak ia melihat bagaimana dandanan menor Paramitha. Namun ia hanya bisa pasrah, karena di Ibu kota dirinya tidak punya siapa-siapa.

Ibarat jatuh tertimpa tangga ketika sang Paman ingin ia menikah dengan sepupunya, adalah salah satu kesalahan terberat dari pada bekerja yang tidak baik menurut seorang Felicia Vella. Dan ketika kesepuluh jari-jarinya menggenggam ijazah yang hanya berlapis kantong plastik hitam lusuh, bayangan duduk di bangku kuliah sudah mengacaukan akal sehatnya.

"Biarin aja kalau harus jadi lonte. Yang penting aku nggak menikah sama Koko," tekad Vella.

Ia bahkan tidak fokus dengan beberapa cerita yang keluar dari mulut Paramitha, melainkan terus saja membangun khayalan tingkat tingginya.

Sementara di kamar hotel berbintang lima yang Jorge tempati, tengah kedatangan seseorang. Siapa lagi jika bukan Jimmy, si anak buah Jorge Luis de Olmo.

Ceklek

"Aduh, Bos! Maaf itu anu-"

"Alah, biasa aja kali! Kayak lo nggak sering lihat gue bugil! Cepat masuk terus simpan semuanya di meja nakas sana. Udah gitu, lo tetap di lobi, ya? Jaga-jaga dan kasih kabar ke gue kalau ada yang mencurigakan. Gue nggak mau Mama sampai tahu gue udah balik ke Jakarta. Lo paham 'kan, Jim?"

"Siap, Bos. Gue cabut dulu, Bos?" sahut Jimmy yang hanya diberi anggukan oleh tuannya.

Setelah itu Jorge kembali melanjutkan khayalan tingkat tingginya, "Felicia Vella, hem! Nama yang bagus. Suaranya juga halus banget. Oughhh... Lama-lama gue bisa gila nih kalau kayak gini. Belum apa-apa udah bangun aja si junior. Ssttt... Nggak kenapa-napa deh kalau dia belum tahu gituan kayak si cewek gila tadi. Mungkin memang nasib gue hari ini sial karena dapat anak perawan terus. Nanti biar gue ajari dia bagaimana cara memuaskan lo ya, junior? Kita tunggu cewek itu sebentar lagi. Pasti nikmat banget rasanya. Ughhh... Jadi nggak tahaannn..." lalu terkekeh, sebelum membanting tubuh telanjangnya ke atas tempat tidur.