Bab 1
Seorang gadis berlari tak tentu arah di tengah keramain di alun-alun Yogyakarta, demi menghindari kejaran tiga orang pria berbadan kekar. Napasnya naik turun nyaris kehabisan oksigen, jalannya tertatih menyentuh benda apapun yang bisa digunakan untuk berpegangan.
Sesekali pandangannya menyapu tiap sudut sekitar, memastikannya dirinya aman dari kejaran. Terdapat beberapa mobil berderet, terparkir di bahu jalan.
Gadis itu mencoba membukanya satu persatu pintu mobil berharap ada satu pintu yang tak terkunci.
Beruntung ada satu mobil yang tak terkunci, gadis itu mengendap-endap memasuki mobil tersebut. Sedangkan, yang empunya sedang berdiri di depan mobil menerima telepon dari seseorang. Gegas gadis itu membuka pintu mobil dan bersembunyi di bagian kursi belakang.
''Shit! Kemana dia? Kenapa cepat sekali larinya gadis itu!'' umpat salah satu pria yang berbadan kekar, dengan kepalanya yang pelontos.
"Gawat, kalo Bos sampe tau bisa-bisa kita yang kena amuknya,'' ucap salah satu pria bertato.
"Lebih baik kita, berpencar. Biar gadis itu cepat di temukan dan segera kita bawa gadis itu ke depan Bos,'' sahut pria yang berambut gondrong.
Usulanya pun langsung disetujui oleh rekan-rekannya yang lain dari pada gagal menjalankan misinya.
Gadis itu bisa bernapas lega setelah mengintip dari kaca mobil, memastikan tiga orang itu telah pergi. Disandarkannya tubuhnya di kursi belakang, dengan napas yang memburu, memegang sesak didada yang terasa menghimpit dan tenggorokan yang kering, haus. Jaantungnya berdetak tak beraturan seakan mau lepas dari tempatnya, karena untuk pertama kali ia keluar dari rumah.
Baru sebentar merasa lega, tiba-tiba sang empunya masuk ke dalam mobil dan melajukan kendaraannya, gadis itu kembali menunduk, bimbang. Antara bersembunyi atau harus tetap diam berada di dalam mobil, karena lelah berlari tak sadar membuatnya tertidur hingga lelap.
.
Gadis itu terbangun tepat setelah mobil berhenti disebuah rumah mewah, dengan tekad yang kuat gadis itu menampakan diri dari persembunyiannya, menoleh kekiri dan kekanan, bimbang karena merasa asing dengan lingkungan sekitar. Saat akan turun sang empunya mobil tak sengaja menoleh kebelakang dan saat melihat ada seseorang berada di mobilnya.
''Aku ada di mana ini?'' Tanya Citra menyembulkan kepala dari kursi belakang. Menoleh ke kanan dan ke kiri. Gadis itu bernama Citra Sanjaya anak seorang pengusaha kuliner gudeg di Yogyakarta yang cukup terkenal.
"Siapa kamu?'' Tanya Arjuna, yang keget ada seseorang dalam mobilnya. ''Ngapain kamu, berada dalam mobilku, kamu pencuri, ya?''
''Enak aja pencuri, mana ada cewe secantik aku mencuri.''
"Terus kalo bukan pencuri apa namanya, maling? Buronan? Ngapain coba kalo gitu tiba-tiba sembunyi disitu, kalo bukan seperti yang aku bilang tadi!'' Arjuna menatap tajam, menyipitkan matanya ke arah Citra penuh selidik.
"It--u tadi, aku dikejar-kejar sama orang, mereka ingin menjual ginjalku, Om,'' sahut Citra asal, siapa tau dengan begitu Arjunan akan merasa iba.'' Maaf kalo boleh tau ini berada dimana, ya?'' Citra mengedarkan pandangan karenan terasa asing, dengan lingkungan sekitar.
"Ini Jakarta.''
"Apa?'' Pekik Citra.
"Gak usah, teriak-teriak! Berisik tau nggak suara kamu bikin budeg.'' Citra menggigit bawah bibirnya, takut.
Arjuna memutuskan keluar dari mobil dan akan memasuki rumahnya. Tiba-tiba Arjuna teringat masih ada Citra yang masih berada di dalam mobilnya.
"Ngapain masih di situ? Ayo turun. Cepet pergi dari sini.'' Usir Juna menarik tangan Citra.
''Om, tolong aku ga punya siapa-siapa di sini. Bolehkah aku tinggal di sini sementara waktu? Kalo tidak buat malam ini aja,'' ujar Citra memelas menangkupkan kedua tangan di depan dada.
"Kamu pikir, rumahku panti sosial?''
"Plies, Om. Aku gak tau lagi harus kemana? Lagi pula ini larut malam, kalu aku kenapa-kenapa gimana?''
Arjuna memutar bola mata malas, tapi hati kecilnya pun merasa tak tega sebenernya. Gadis di depannya terlihat polos dan jujur. Arjuna menghela napas.
''Oke, buat malam ini aja. Kamu boleh di sini, tapi inget besok kamu harus pergi dari sini!''
''Wah, makasih Om.'' Citra tersenyum senang, tak sadar tangannya menggenggam tangan Arjuna.
''Kebetulan pembantu dirumah sedang cuti, sebagi imbalannya kamu harus memasak dan bersih-bersih rumah ini.''
Seketika senyum di wajah Citra menghilang, mukanya berubah masam. Dihempaskannya tangan Arjuna dengan kasar. Arjuna menatap tajam ke arah Citra.
''Kenapa, mau protes? Gak suka? Aku juga gak maksa,'' ucap Arjuna acuh, meninggalkan Citra melayangkan kakinya masuk ke dalam rumah dengan memasukan tangannya ke dalam saku celana dan Citra masih berdiri mematung di depan mobilnya.
''Ngeselin, kalo nggakga butuh tempat tinggal, ogah banget aku diperlakukan begini. Dirumah aja aku ngga pernah diginiin.'' Citra menghentakan kakinya ke lantai. Mengejar Arjuna di belakang. Bibirnya terus berkomat kamit seperti merapalkan doa.
"Hey, anak kecil. Bikin'kan aku kopi,'' ucap Arjuna yang tengah duduk dikursi single, menyadarkan tubuhnya dikursi dengan posisi kaki menyilang di atas meja.
''Ck! Di mana dapurnya, Om yang terhormat.''
''Disana.'' Arjuna menujukannya dengan kode tangannya. Meski bingung Citra pun berderap menuju ruang yang ditunjuk Arjuna.
Tak lama Citra pun datang membawakan secangkir kopi dan menghidangkannya di depan Arjuna. Perlahan Arjuna menyesap kopi yang Citra berikan. Aroma kopinya terasa menenangkan membuat otot-ototnya yang tegang menjadi lebih rileks.
Krocok ... Krocok ... ! Arjuna menoleh ke asal suara yang menganggu fokusnya, sedang yang di tatap hanya tersenyum cangung dan mengelus perutnya yang demo minta diisi sejak kabur dari rumah Citra belum sempat untuk makan, boro-boro makan bisa kabur aja udah bersyukur.
"Bikin makanan sana, sekalian buat aku.'' Citra kembali ke dapur mencari bahan-bahan makanan yang tersedia dikulkas dan laci, nihil. Stok makanan kosong hanya tersedia nasi dan sosis.
Citra berinisiatif membuat nasi goreng dengan bumbu seadanya, beruntung dari dulu Citra hobby membantu Ibunya di dapur jadi saat seperti ini bukan hal yang sulit.
Aroma nasi goreng menyeruak, membuat cacing di perut Arjuna seakan berdemo meminta haknya. Arjuna menghampiri Citra yang tengah memasak di dapur, memperhatikan gerakan Citra yang luwes dan lincah saat memasak. Membuat Arjuna terpaku menikmati pemandangan di depannya.
''Selesai!'' teriak Citra yang telah mengisi piring kosong dengan hasil masakannya, dan menghidangkannya di meja. '' Ayo dimakan.''
''Kamu, nggak ngeracunin aku,'kan?'' Bibir Citra mencebik mendengar ucapan Arjuna yang nggak ada rasa terima kasihnya.
''Nggak usah dimakan kaluo gitu, buat aku aja mendingan. Dasar ngga tau terima kasih udah dimasakin juga.''
''Eits, enak aja! Jatahku nih, aku juga lapar kali.''
Citra memutar bola mata, sebal. Tak peduli omongam Arjuna dan langsung menyantap makanan di depannya dengan lahap karena perutnya sudah tidak bisa diajak kompromi.
Arjuna heran, karena ada wanita yang tak jaim makan di depannya. Melihat mulut Citra yang penuh makanan membuat Arjuna tersenyum, karena wajahnya terlihat lucu dan menggemaskan. Rasa lapar Arjuna menjadi lebih meningkat melihatnya Citra yang makan dengan lahap dan penasaran akan rasa masakannya.
Dahi Arjuna mengernyit setelah menyantap satu sendok nasi goreng yang dibuat Citra dan menyuapkan kembali untuk ke dua kali meyakinkan rasanya.
***
