2. The Boss
Mungkin karena masih shock, hanya beberapa detik kemudian Amanda pun pingsan.
Ia bahkan sama sekali tidak sadar ketika Kairo mengangkat tubuhnya dari lantai dan membawanya keluar dari gudang tempat Enzio menyekap Amanda.
"Siapkan mobil!" Perintah lelaki bersurai legam itu kepada pria muda yang berdiri menunggunya di depan pintu gudang.
Pria itu mengangguk hormat, lalu sekilas melirik penuh rasa ingin tahu kepada wanita yang berada di dalam dekapan Tuannya.
Kairo membungkukkan badannya saat memasuki mobil Rolls Royce. Ia memasukkan tubuh Amanda perlahan untuk didudukkan di kursi bagian belakang.
Lalu dengan setengah tubuh yang masih berada di luar mobil, ia menatap lelaki muda yang berada di bagian kemudi depan.
"Sam, apa barang-barang Amanda sudah dibawa semua?"
Sam mengangguk kecil. "Sudah, Tuan. Koper Nona Amanda sudah aman di bagasi," sahutnya.
“Bagus,” tukas Kairo puas, lalu ia pun ikut masuk ke dalam mobil untuk duduk di samping Amanda.
Maniknya lekat menatap wajah cantik yang sedang terlelap itu, ketika satu tangannya terjulur untuk menyentuh leher jenjang Amanda yang terlihat jejak lebam di kulitnya.
"Enzio sudah kamu amankan?" Kairo bertanya pada Sam, namun netra abu-abu gelapnya tak lepas dari gadis di sampingnya.
"Dia sedang dalam perjalanan menuju The Tomb. Apa Tuan ingin dia segera dieksekusi?" Sahut Sam.
The Tomb adalah ruang bawah tanah, yang biasa digunakan Kairo sebagai tempat penyiksaan dan kurungan bagi tahanan musuhnya.
"Jangan sentuh Enzio. Biar aku yang akan memberikan pelajaran untuknya, tentang bagaimana rasanya menjadi korban perdagangan organ tubuh ilegal," tukas Kairo dengan seringai dinginnya.
Sam tidak menjawab, namun ia hanya mengangguk karena kali ini Kairo menatapnya tajam melalui spion atas.
Tatapan Kairo kembali tertuju kepada Amanda, dan sontak manik dingin itu pun melembut. Perlahan ia mendekatkan bibirnya dengan bibir ranum Amanda yang menggiurkan itu untuk mengecupnya hanya sekilas.
"Mi prenderò sempre cura di te, mia cara Amanda (Aku akan selalu menjagamu, Sayangku Amanda~terjemahan dari bahasa Italia)," bisiknya lembut di telinga gadis itu, lalu kembali mengecup bibirnya--kali ini dengan pagutan yang cukup lama dan penuh gairah.
Mengabaikan Sam di depan sana yang sempat melirik ke belakang dan langsung merasa salah tingkah.
Selama lima tahun mengabdi untuk Kairo, Sam tidak pernah melihat big boss-nya itu memperlakukan siapa pun selembut dan sehangat itu hingga membuatnya heran dan bingung.
Kairo Aldevara--Sang Pemimpin kejam itu lebih sering menyiksa musuhnya tanpa perasaan daripada bersikap normal seperti layaknya manusia biasa.
"Jalan, Sam. Kamu tahu tujuannya kemana," titah Kairo dengan ekspresi dingin tak terbaca, setelah ia puas melampiaskan hasrat terdalamnya kepada bibir merekah yang hampir membuatnya tak bisa menahan diri.
Akhirnya, Kairo pun merengkuh bahu Amanda hingga kepala mungil itu kini bersandar di dada bidangnya.
***
Amanda baru terbangun ketika mendengar suara dering ponsel dari samping tempat tidurnya.
Sambil meringis menahan nyeri di lehernya yang terasa tegang, gadis itu pun menjulurkan kedua tangannya ke atas nakas dimana alat komunikasi itu berada.
"Pronto (halo)?" Sapanya lirih dengan suara yang masih serak. Uh, lehernya masih sakit sekali.
"Agent Peacock!! Dari mana saja kamu?!" Seruan itu membuat Amanda sontak bergeming dari ranjangnya.
"Max?"
"Kamu membuatku khawatir saja! Sudah satu jam aku menelepon dan mengirimimu pesan, namun tak satu pun dibalas. Apa yang terjadi? Apa flash disc itu berhasil kamu dapatkan?!"
"Ehm... soal itu..." Amanda terdiam dan bingung tidak tahu mau menjawab apa. Dia sendiri tidak yakin kalau benda yang ditanya Max masih berada di tangannya.
Mungkin saja Enzio sudah mengambilnya, atau...
Seketika ingatan Amanda pun kembali ke dalam gudang di bandara tempat Dokter psycho itu mencekiknya.
"Max... Enzio tadi menyekapku," tuturnya pelan.
Keringat dingin sontak menetes di pelipisnya ketika bayang-bayang kejam wajah Dokter psikopat itu masih terekam di pelupuk matanya.
Tubuhnya menggigil saat mengingat betapa dekatnya ia dengan kematian, serta kemungkinan jika ia akan ditemukan dengan kondisi organ tubuh yang sudah tak lengkap.
Itu pun jika Enzio tidak membakar jasadnya.
Jika saja saat itu Kairo yang entah dari mana tidak datang untuk menyelamatkannya, semua skenario di atas sangat mungkin terjadi.
"Apa kamu bilang?? Enzio menyekapmu?!" Max terdengar terkejut dan kalut. "Apa kamu serius, Amanda? Lalu bagaimana bisa kamu lolos?!"
Gadis itu pun segera menceritakan semua yang terjadi tanpa ada yang ditutupi. Bahkan juga mengenai Kairo yang menyelamatkannya.
Amanda juga bercerita bagaimana ia dan pelukis jalanan itu pertama kali berkenalan.
"Kairo? Apa kamu tahu nama lengkapnya?" Tanya Max.
"Tidak. Aku dan dia juga tidak sedekat itu untuk saling mengatakan nama panjang kami," celetuk Amanda.
"Tapi dialah yang menyelamatkanmu, Agent Peacock. Dia juga tahu alamat apartemenmu, serta kuncinya yang berupa kode angka. Jika kamu tadi pingsan, maka siapa yang memberitahunya semua hal itu?" Balas Max.
Amanda memijat pelan pelipisnya. Itu juga yang membuatnya heran. Darimana Kairo bisa tahu? Apakah Amanda yang telah memberitahunya tanpa sadar?
"Aku... aku tidak tahu Max," tukas Amanda bingung. "Aku benar-benar tidak tahu..."
Terdengar helaan napas berat dari seberang sana. Max terdengar frustasi. Ya, ia begitu khawatir kepada Amanda yang baru menjalani tugas lapangan untuk pertama kalinya.
Sehingga ketika gadis itu mendadak tidak bisa dihubungi, Max yang sedang bertugas di London pun tidak bisa fokus dengan pekerjaan dan memutuskan untuk segera kembali ke Milan dengan private jet.
Ia hanya ingin memastikan kalau Amanda dalam keadaan baik-baik saja.
"Aku sedang di perjalanan menuju ke apartemenmu," Max pun tiba-tiba memberitahu.
"Hah? Max, bukankah kamu sedang berada di London sekarang?" Tanya Amanda kaget. Setahunya Max sedang menjalani agenda penting dan akan stay di sana selama tiga hari.
"Ya, dan aku langsung pulang ketika tahu ponselmu tidak diangkat selama satu jam, Agent Peacock. Jangan kemana-mana dan tunggu aku. Dan jangan buka pintu apartemenmu untuk siapa pun selain aku."
***
Amanda masih bengong tak percaya melihat seseorang yang masuk ke dalam apartemennya dengan tergesa-gesa.
Hanya satu orang yang tahu kode angka unit apartemen Amanda, dan itu adalah Max.
Ah ya, satu lagi manusia yang tahu--Kairo, meskipun hingga sekarang Amanda masih bingung entah bagaimana lelaki itu bisa mengetahuinya.
Tanpa buang waktu, Max langsung mendekati Amanda dan meletakkan kedua tangannya di pundak gadis itu.
Netra hazelnya saling beradu dengan manik zamrud Amanda, lalu beralih mengamati lebam mengerikan yang melingkar di leher wanita itu.
"Apa Enzo mencekikmu?"
Refleks Amanda menyentuh lehernya yang masih terasa nyeri. "Tak masalah. Yang penting aku berhasil mendapatkan flash disc itu," tukasnya sambil menyeringai bangga.
Ya, flash disc itu untungnya masih aman berada di dalam bra-nya. "Misi lapangan pertamaku ini berhasil, kan?"
Max mendengus keras dan melepaskan tangannya dari pundak Amanda untuk berkacak pinggang.
Lelaki berdarah ras campuran Amerika - Afrika itu terlihat gemas dengan sikap Amanda yang terlalu santai padahal sebelumnya nyawanya benar-benar berada di ujung tanduk.
Jari telunjuknya terangkat untuk diacungkan kepada Amanda. "Hei. Kamu itu hampir tewas, Agent Peacock! Jika saja orang asing yang bernama Kairo itu tidak segera datang, mungkin sekarang setiap organ tubuhmu telah berada di setiap negara yang berbeda!"
Amanda menggaruk kepalanya sambil mencebik--membuat Max semakin gemas.
Kalau sudah begini, Amanda terlihat sangat polos dan imut, apalagi rambut coklatnya yang sedikit berantakan dan wajahnya yang sudah bersih dari make up itu membuatnya seperti gadis remaja tanggung yang sedang ngambek.
Hilang sudah image 'wanita nakal' yang harus ia perankan selama ini, dan hanya di depan Max ia bisa membuka topeng serta menjadi diri sendiri.
"Max, please. Aku masih jet lag karena perbedaan waktu enam jam dan kamu malah membuat kepalaku semakin pusing!" Keluh Amanda sambil berdecih lalu dengan santainya merebahkan diri di atas sofa dan menutup matanya.
Gadis itu sama sekali tidak rikuh atau takut mengomeli bosnya seperti itu. Hubungan mereka yang lebih mirip teman daripada bawahan dan atasan, membuat Amanda jadi bersikap santai padanya.
Kembali Max menghempaskan nafasnya melihat gadis yang membuatnya khawatir sekaligus kesal ini.
Hei, dia adalah Pemimpin dari The Golden Badge! Bagaimana pun, tidak seharusnya Amanda yang notabene adalah bawahannya bersikap terlalu santai.
"Minggir!" Max lalu menepuk kasar kaki Amanda, dan segera menghempaskan bokongnya di material empuk itu ketika akhirnya kaki Amanda turun menjejak lantai.
"Bukan kamu saja yang jet lag, Agent Peacock," gerutu Max sambil memijat kepalanya yang berdenyut.
Ia sama sekali tidak jet lag, hanya saja otaknya sekarang serasa mau pecah karena cemas berlebihan yang dirasakan sebelum bertemu Amanda.
"Sekarang tolong buatkan sesuatu yang bisa dimakan. Aku lapar."
Amanda pun mendelik sambil berjengit. Apa-apaan lelaki ini?? Mana ada jet lag kalau jarak tempuh dan beda waktu antara London dan Milan hanya selisih satu jam??
"Jadi kamu menyuruhku untuk menyiapkan makanan??" Sergahnya tak percaya. "Kenapa aku harus melakukannya?"
Amanda merasa tidak harus menjamu bosnya ini, karena tidak biasanya Max singgah lama-lama di apartemennya.
Yang sudah-sudah, lelaki itu biasanya hanya datang jika ada perlu, dan langsung buru-buru pergi setelahnya.
Max menatap datar manik hijau zamrud berkilau di sampingnya. "Karena aku adalah bosmu. Dan karena aku yang menyuruhmu," tandas lelaki itu tajam dengan nada tak ingin dibantah.
***
