Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Trik Nakal Gadis Perawan

"Hana, kamu di mana? Papa sudah mengecek jadwal kuliahmu. Seharusnya kamu sudah pulang sejak tiga jam yang lalu." Reigan terdengar marah.

Telinga Hana bagai ditusuk duri mendengar suara penuh tekanan dari Papa angkatnya, lebih tepatnya sang Donatur andalannya. Bahaya kalo sang Donatur marah, begitu pikir Hana.

"P-p-pa-pa...maaf. Kan, papa yang suruh Hana shopping pakaian bagus dan perawatan di salon. Semua itu butuh waktu. Memangnya Papa enggak pernah punya pacar, makanya enggak tahu kebiasaan cewek. Ini, aku segera pulang. Mau bangunin Pak Rido dulu Pa, soalnya dia ketiduran di mobil."

Reigan terdiam sejenak, kemudian ia menarik nafas lega. "Oh, ya sudah. Lekaslah pulang sebelum senja berakhir."

"Baik. Terima kasih sudah terlalu baik padaku," sahut Hana gusar. Ia mulai merasa menjadi beban bagi Reigan, merasa tak enak karena memiliki hutang budi yang entah kapan mampu ia balaskan.

Reigan menutup panggilan dengan resah. Kehadiran Hana telah mempengaruhinya. Kasih sayang tulus yang dulu pernah ia terima dari suster Arumi, benar-benar menghujam dalam di sanubarinya. Ia berjanji kepada dirinya sendiri untuk menjaga dan merawat Hana dengan maksimal.

Terlintas kembali di benak Reigan, bagaimana suster Arumi merawatnya dengan telaten tiap kali ia dalam kondisi sakit. Di waktu yang bersamaan, kedua orang tuanya sedang perang dingin saat itu. Terkadang suster Arumi begadang hingga dini hari untuk memastikan kondisi Reigan tetap stabil.

"Thanks god, kau pertemukan aku dengan putri dari wanita yang sangat berjasa kepadaku. Kini aku bisa membalas semua budi baik Suster Arumi."

Setelah melepas seluruh kain yang menempel di tubuhnya dan hanya menyisakan swim short cukup ketat, Reigan menceburkan diri ke dalam kolam renang. Renang adalah olahraga favoritnya.

Selain rutin nge-gym, Reigan juga rutin berenang setiap sore hari. Sehingga tubuhnya terbentuk sempurna. Bagian dadanya adalah bagian yang terbentuk oleh otot-otot yang paling indah. Setiap garis otot di dada, pinggang, hingga perutnya, bagaikan lukisan klasik karya sang maestro abad renaisanse.

Setelah menyelesaikan lintasannya, Reigan naik kembali ke balok renang di pinggir kolam, kemudian ia meluncur dengan gaya perenang profesional. Setelah menyelesaiakan lintasan untuk yang ketiga kalianya, Reigan berdiri di pinggir kolam, memilih bagian yang dangkal, sehingga otot-otot dadanya yang indah tampak menantang.

Reigan tak sadar, seseorang tengah berdiri mematung di bibir pintu belakang, menatapnya dengan netra membeliak lebar.

"Papa...." gumam Hana, air liur serasa penuh di dalam mulutnya. Buru-buru ia menelan semuanya agar tidak meluber kemana-mana. "Perfect!" pekiknya kecil.

Tepat di saat itu, tatapan Reigan mengarah ke tempat di mana putri angkatnya itu berdiri, Hana buru-buru berbalik. Namun, satu teriakan keras dari Reigan, menahan langkahnya.

"Hana! Papa haus, bawakan air mineral kemari." Reigan meminta dengan tegas.

Jantung Hana serasa hendak meledak. "Duh, gawat. Bisa-bisa otakku travelling di dekatnya. Astaghfirullah. Sadar Hana. Sadar!" Sejak kemarin, ia selalu merasa seperti jalang liar di dekat Reigan, sementara Reigan tetap cool tanpa ekspresi berlebihan.

"Jangan bengong!" teriak Reigan sekali lagi.

"I-i-iya, Pa."

Dengan gegas, Hana berjalan menuju ruang makan dimana kulkas besar berada. Ia mengambil dua botol air mineral berukuran sedang dari dalam sana.

Saat Hana kembali ke kolam renang, ia temukan Reigan tengah bersantai di kursi panjang yang terbuat dari rotan. Reigan menyandarkan punggungnya sembari tengadah memandang senja.

"Ini Pa, airnya." Tanpa disuruh, Hana membukakan tutup botol air mineral itu buat sang ayah. Ia jadi lebih leluasa memandang tubuh Reigan yang indah.

"Thank you, kamu boleh kembali." Reigan mengambil botol air mineral dari tangan Hana.

Hana terpaku di tempatnya. Reigan memicingkan netranya yang tajam, ia cukup terkesan dengan penampilan baru Hana, tapi buatnya itu masih terlalu kekanak-kanakan. Hana dengan rambut dibuat ikal, cardigan baru dengan dalaman dress panjang selutut motif floral warna dusty blue.

"Papa, aku ingin ikut menikmati senja." Dorongan alam bawah sadar membuat Hana bertindak berani. Ia duduk pada kursi panjang di sisi kursi Reigan. "Bagaimana penampilanku sekarang," tanyanya dengan jantung berdebar keras.

"Penampilanmu cantik. Sesuai usiamu." Reigan menyahut acuh.

Hana tak peduli. Yang terpenting baginya bisa terus berada di dekat Reigan, memandangnya dengan puas.

"Indah sekali melihat langit senja dari sini," pungkas Hana, berusaha menenangkan perasaan aneh yang menggeliat di dadanya.

"Hmm... iya. Papa suka senja. Setiap sore Papa berenang di sini sambil menikmati senja." Tatapan Reigan tak berpaling dari langit yang mulai memerah, tidak menyadari sepasang netra polos milik Hana tengah mengagumi alisnya yang menukik bagai kepakan sayap elang.

'Harusnya dia bukan jadi Papaku,' batin Hana. Pikirannya mulai melanglang buana, terlebih lagi melihat bulu-bulu halus di dada Reigan. 'Bagaimana rasanya dipeluk Papa.' Otak Hana mulai mesum.

"Bagaimana urusan kuliahmu? Apakah pembiayaan sudah kamu bereskan?"

Bukannya menjawab pertanyaan Reigan,  Hana saat ini tampak senyum-senyum sendiri dengan asyiknya. Ia sepenuhnya telah kehilangan fokus dan sedang berada di dunia lain, yaitu dunia hayal yang indah, merasakan lengan kokoh Reigan memeluknya dengan erat.

"Hana! Kenapa senyum-senyum begitu, apakah Papa terlihat aneh?" tanya Reigan polos.

"A-ap-apa? Apa Pa? Kenapa?" Hana tergagap. Ia tersentak dan kembali ke dunia nyata, menyadari bahwa pria yang kini tengah membuatnya merasa seperti jalang, adalah Papa angkatnya yang harus ia hormati.

"Bagaimana urusan kuliahmu? Apakah pembiayaan sudah kamu bereskan?" ulang Reigan.

"Alhamdulillah, Pa. Semuanya sudah beres. Semua berkat bantuan Papa. Hana enggak tahu bagaimana harus membalas kebaikan Papa."

"Sudah Papa bilang, kamu enggak usah sungkan dan terlalu memikirkannya. Apa yang kulakukan sekarang sama sekali enggak sebanding dengan kebaikan ibumu padaku. Aku yang sedang membalas budi. Tapi, budi baik ibumu terlalu banyak. Ia bukan hanya merawatku secara fisik, ia juga memulihkan jiwaku yang rentan dan putus asa saat itu. Ia membalut memperbaiki dan membalut mentalku yang sempat hancur berkeping-keping. Seperti dirimu, aku pun mencoba mengakhiri semuanya dengan tanganku sendiri, tapi Arumi menyelamatkanku tepat waktu."

Netra Reigan berkaca-kaca saat ia menceritakan kisah sedihnya.

Bahkan, Hana tidak bisa membendung sungai dangkal di pelupuk matanya. Tetesan kristal bening mengalir di kedua pipinya. "Aku tidak tahu kalau Mama sejauh itu dalam melaksanakan tanggung jawabnya."

Reigan bangkit dari kursi malas, ia menghampiri Hana, berjongkok di depan putri angkatnya yang malah sanghe melihatnya. Melihat pinggang Reigan yang kokoh, aliran air di pipi Hana seakan-akan hendak berbalik masuk kembali ke tempatnya semula.

Reigan menggenggam tangan Hana dengan lembut, tanpa bisa membaca isi kepala gadis itu yang sebenarnya. "Arumi, ibumu, adalah seorang wanita yang hebat. Papa yakin kamu bisa lebih hebat dari ibumu." Dengan kedua tangannya, Reigan semakin erat menggenggam jemar Hana.

"Papa..." Buru-buru Hana bangkit, menarik Ayah angkatnya untuk berdiri bersamanya, sebab ia merasa tidak sopan kalau Reigan harus berjongkok seperti itu di hadapannya. Atau... mungkin saja ada hal lain yang direncanakan oleh otaknya yang sedang butek.

Hana mencuri pandang dada bidang Reigan sekali lagi, bulu-bulu halus itu seakan-akan melambai-lambai padanya. Tanpa permisi, Hana melabuhkan kepalanya di sana. "Papa, terimakasih atas semuanya." Ia merasakan kenyamanan yang luar biasa. Terlebih lagi saat Reigan mengusap rambut panjangnya dengan lembut. Reigan melakukannya dengan sangat tulus.

"Maafin Papa udah bikin kamu sedih dengan cerita Papa." Perlahan-lahan Reigan mulai melepaskan pelukannya, padahal Hana masih ingin dipeluk lebih lama lagi. Candu  ia rasakan berada di dalam rengkuhan kokoh Reigan.

"It's OK. Enggak apa-apa. Hana jadi lebih tau banyak tentang Ibu." kilah Hana sembari menahan debaran di dada. Debaran yang tak pernah ia rasakan sebelumnya, bahkan saat bersama si mantan caboell!

"Baiklah, lanjutkan menikmati senja. Papa mau lanjut berenang sekali lagi." Reigan pamit dari hadapan Hana. Langkahnya begitu gagah menuju ke balok renang, melakukan beberapa gerakan yang membuat guratan otot indahnya kian terekspos.

'Astaga! Yang benar saja!' Hana mengerjap tak percaya. Memang baru kali ini ia melihat tubuh indah seorang pria secara langsung.

Reigan melangkah maju mandur berulang kali sebelum bersiap untuk terjun. Peregangan memanglah sangat penting sebelum berenang.

Tatapan Hana turut maju mundur mengikuti gerakan Reigan.

"Mau maju, mau mundur kek, gantengnya enggak ada obat! Aargh ujian macam apalagi ini. Baiklah, cukup!" Hana memijat keningnya dengan keras agar ia sadar diri.

"Papa...! Aku mau belajar berenang!" Tiba-tiba saja Hana jadi modus.

"Enggak ada waktu. Udah mau malam."

"Yah!" Bibir Hana mencebik kecewa.

"Cukup liatin gimana Papa berenang saja dulu!" teriak Reigan dari ujung kolam.

'Ah, Yes!'

Tersenyum penuh kemenangan, Hana berlari kecil  di pinggiran kolam, mengikuti kemana saja gerakan renang sang ayah angkat. Namun, malang tak dapat ditolak... untung tak dapat dicari.

Tiba-tiba....

BYURRR!

"Aaaaaaaargh. Papa.... tolong...!"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel