Chapter 6 : Positano
Positano, Italy.
Emily mengedarkan pandangan nya ke tiap tempat. Meneliti suasana sore, yang baru saja ia injak untuk pertama kalinya. Anne, tampaknya benar-benar ingin mereka begitu nyaman. Sungguh, walaupun tempat ini begitu memukau, Positano merupakan kota kecil yang hanya di huni 4.000 jiwa.
Emily menoleh keluar jendela kamar hotelnya, menatap pantai bertebing dan bangunan tinggi khas Italia.
"Mi scusi per il disturbo, sir!"Emily menoleh ke arah pintu, memperhatikan Allan tengah bicara serius bersama salah satu staf hotel, cukup bersitegang selang beberapa waktu hingga akhirnya Allan memilih menutup pintu kamar dengan keras.
"Sialan, mereka tidak punya kamar lain untuk ku,"celetuknya sarkas sambil mengedarkan pandangan di area kamar luas hotel bintang lima bernuansa putih dan menyuguhkan pemandangan penuh Laut Mediterania, Le Sirenuse.
"Lalu bagaimana?"tanya Emily polos.
"Menurutmu? Apa kau ingin aku tidur di luar?"balas pria itu datar sambil melangkah ke arah balkon kamar pribadi mereka. Anne, merencanakan honeymoon mereka sangat hati-hati. Allan bahkan tidak berpikir serumit ini, sungguh, jika Anne tidak mengalami masalah dengan jantung nya seperti ia menolak pernikahan ini pertama kalinya. Allan dan Emily tidak akan pernah menjalin hubungan yang begitu serius seperti ini.
Allan melangkah pelan, menuju kursi kayu yang ada di sudut balkon dan mendudukinya cepat. Emily memutar tubuh dan menatapnya jelas.
"Aku saja yang tidur di luar, tidak masalah jika kau keberatan dengan ku!"ucap Emily membuat pria itu langsung mengangkat kepalanya dan mengarahkan pandangan begitu tepat pada gadis itu.
"Tidak perlu, Kau bisa tidur di sofa itu!"balasnya sambil menunjuk ke salah satu kursi aksen yang bahkan tidak akan bisa menampung seluruh tubuh Emily. Pria itu menatap tegas, memerhatikan tingkah Emily sejenak lalu mengulum bibirnya lambat. Tampaknya ia menyesal karena mengatakan hal itu.
"Ya!"jawab Emily begitu singkat sambil memutar tubuhnya menuju balkon. Hanya tempat itu yang membuatnya merasa tenang, begitu menyatu bersama alam.
"Ini sangat indah!"batin Emily sambil tersenyum kecil, ia menghela napasnya pelan dan meneliti tiap daerah yang ada di depan matanya saat ini. Jauh berbeda dengan New York yang padat akan bangunan tinggi.
Tiba-tiba Emily menoleh ke belakang saat terdengar suara pintu terhempas. Allan keluar dari ruangan itu, mungkin ia mulai gerah saat harus sekamar dengan gadis tersebut. "Sial, bagaimana bisa aku bertahan dengannya selama dua bulan!"batin pria itu sambil mengeluh kasar. Ia menelan ludah lalu mengedarkan pandangan ke seluruh lorong hotel dan segera meraih ponsel yang ada di dalam sakunya. Ia mencoba menelpon seseorang.
"Kau baru bangun?"tanya Allan dengan suaranya yang datar sambil melirik arloji yang menunjukkan sekitar pukul 16.05
"Baiklah, kabari aku jika kau sudah selesai,"sambungnya sambil mengeluh pelan dan menurunkan panggilan telpon tersebut seketika.
"Clarissa!"pria itu mendadak mengembalikan ponsel itu ke telinganya, ia mendengar suara serah wanita tersebut membalasnya begitu cepat.
"Aku...."Allan menelan ludah sejenak, ia meletakkan tangannya di tembok untuk memberi sandaran untuk keningnya.
Pria tersebut malah mematikan ponselnya dan mengurungkan niat untuk mengatakan apa yang sedang ia rasakan saat ini. Semua seakan hilang begitu saja, terlalu sulit untuk di jabarkan, ia bahkan tidak memahami apa yang sedang terjadi saat ini.
______________________
Allan menyandarkan tubuhnya di meja bartender, menatap gelas kecil yang ada di tangannya sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh ruang club malam. Pandangan sedikit nanar, pelan-pelan berubah sedikit kabur.
"Gadis itu mungkin sudah tidur, ini sudah lewat tengah malam,"pikirnya sambil menarik dompet yang ada di saku belakang dan membayar tagihan minumannya, lalu melangkah melewati padatnya manusia yang sesekali mencoba menghantam tubuhnya.
Allan membiarkan tubuhnya terhempas sesekali, mengabaikan sentuhan lembut dari para wanita-wanita yang mencoba menggodanya. Sungguh, ia tidak berselera sama sekali saat ini. Dalam benaknya hanya satu hal, pulang ke hotel untuk memeriksa Emily.
Dua puluh menit kemudian, Allan menghentikan mobil yang ia bawa dari New York dengan private jet miliknya, tentunya semua sudah mengikuti prosedur negara yang berlaku.
Pria itu diam sejenak, memukul-mukul setir mobilnya dan akhirnya ia memutuskan untuk kembali masuk ke kamarnya.
"Clarissa tidak akan mengetahuinya,"Allan membatin sejenak, ia khawatir dengan sesuatu hal. Namun, tetap saja, pada akhirnya ia melangkah meninggalkan parking area dan segera melangkah cepat menuju kamar nya dengan Lift hotel.
Ceklek!!!
Suasana kamar tersebut cukup terang dengan lampu berwarna orange, Allan lega melihat Emily tertidur pulas di sofa-nya. Ia melingkarkan tubuh sebisa mungkin tanpa selimut ataupun bantal. Gadis itu khawatir, jika mungkin Allan membutuhkannya. Ia terbiasa tidur dalam kondisi sulit sebelumnya.
"Sial, dia membuatku semakin buruk!"celetuk pria itu datar sambil melangkah masuk setelah pintu terkunci rapat dan melepas atasannya begitu saja. Ia bertelanjang dada.
"Ia benar-benar pulas,"ucapnya sambil berdiri di depan gadis tersebut. Allan menatapnya tanpa henti hingga akhirnya satu keluhan keluar dari mulutnya.
Pria itu sadar seutuhnya, walaupun alkohol sudah cukup berkuasa. Sulit untuknya tumbang hanya karena Alkohol. "Harusnya, ia tidur di ranjang!"Allan berpikir, ia melirik ke sudut lain dan kembali ke arah Emily. Pria tersebut tidak bisa menghiraukan gadis itu sedikitpun sekarang. Apalagi, soal kondisi Emily yang tampak tidak terlalu baik.
"Dia tidak akan bangun, aku akan melakukannya pelan-pelan,"Allan menarik napas lalu mencondongkan tubuhnya ke bawah hingga kalung yanf ada di lehernya jatuh nyaris mengenai gadis tersebut. Beruntung, ia lebih dulu menangkap benda tersebut.
Emily bergerak pelan, membuat pria itu sedikit terusik. Namun posisi Emily saat ini tampaknya lebih memudahkannya. Ia kembali berusaha, menurunkan tubuh dan menyentuh Emily.
Tap!!
"Ayolah, jangan bangun!"batinnya penuh harap setelah ia mulai berhasil mengangkat tubuh Emily yang terasa berat. Ia menelan ludah saat gadis itu malah melingkarkan kedua tangan di lehernya, hingga pria tersebut bisa meneliti jelas wajah gadis itu sangat dekat. Emily begitu tenang dalam pelukannya.
Allan mulai melangkah, menuju ranjang king size yang ada di tengah ruangan kamar tersebut, lalu meletakkan tubuh Emily perlahan.
Namun, sesuatu yang tidak di inginkan terjadi. Allan tanpa sengaja tersandung karpet tebal yang ada di sekitar ranjang hingga ia tidak mampu menahan tubuhnya.
Brakk!!
Emily terpental bersamaan ke atas ranjang hingga gadis itu langsung membuka kedua bola matanya, ia membulatkan mata saat memerhatikan wajah Allan begitu dekat dan nyata.
"A-alan. Apa yang kau—"Emily terdiam, mulutnya mendadak terbungkam oleh satu ciuman yang cukup dalam. Gadis itu bernapas lambat, mual saat mencium aroma alkohol yang semakin penuh di dalam mulutnya.
"Al—"racau Emily tidak jelas membuat pria tersebut semakin mudah mengakses bibir dalamnya. Ia mengerutkan kening saat Allan memegang sudut wajahnya sambil menaiki tubuh yang bahkan belum begitu siap.
"Layani aku!"suara Allan terdengar penuh paksaan, ia menatap penuh klimaks bersama napas yang tampak begitu memburu.
"Allan aku takut!"
"Layani aku! Perintah sebagai suami mu!"ucapnya lagi, tidak ingin kalah sedikitpun. Emily diam, menelan ludahnya yang penuh di dalam kerongkongan. Namun, belum seutuhnya ia menjawab, Pria tersebut kembali mencumbunya lebih dalam.
Gadis itu menekuk kedua kakinya ke atas, memudahkan Allan untuk menyisipkan tubuhnya di antara kedua paha Emily yang begitu terekspose akibat pakaian tidurnya yang tersingkap tinggi.
"Al... Allan.."Emily menggigit bibir saat pria tersebut menurunkan ciuman di puncak dadanya sambil melepaskan satu persatu kancing pakaian yang menggantung di helai gaun tidur tipisnya.
