Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab. 2

2. Backstreet

Matahari sudah terbit sepenuhnya ketika Bita keluar dari pekarangan rumah. Senyumnya selebar bulan sabit, dan pipinya bersemu merah apel. Terlebih lagi sewaktu dia melihat seorang cowok bertubuh jangkung di seberang jalan sana, berdiri di dekat sebuah motor besar berwarna merah, senyumnya semakin melebar, dan matanya tampak begitu bersemangat. Cowok itu Atha, 16 tahun. Dia adalah satu dari banyak alasan yang membuat Bita bahagia setiap menyambut pagi. Setidaknya dalam beberapa minggu ini.

"Kenapa senyum-senyum?" tanya Atha, begitu Bita berhenti di depannya. Ia lalu mengacak rambut Bita yang sengaja dibiarkan tergerai.

Bita suka setiap kali Atha mengacak rambutnya seperti ini.

"Emmm, kenapa? Enggak boleh?" sahut Bita, dan semakin tersenyum lebar.

Melihat senyum di wajah Bita, Atha pun ikut tersenyum. "Kangen, yaaa?"

"Kangen nggak, yaaa?" Bita berlagak mikir. Bahasa tubuhnya memberi kesan yang manja.

Atha mencubit pelan hidung Bita karena gemas sambil berkata, "Sayang...."

Dipanggil seperti itu oleh Atha, rasa-rasanya, membuat Bita malu juga. Panggilan itu masih baru, dan dia belum terbiasa. Alih-alih membalas, Bita memalingkan wajah ke arah lain, dan tersenyum.

"Aku tinggal, yaaaa?" Atha tiba-tiba menghidupkan mesin motornya dan melaju begitu saja di hadapan Bita.

Bita tahu Atha cuma bercanda, karena pada jarak kurang dari tujuh meter, cowok berambut cokelat madu itu mengerem motornya sambil tertawa terbahak-bahak, merasa lucu dengan kejadian itu.

"Nyebelin banget siiiih?!" seru Bita dan mengacak rambut Atha hingga berantakan.

"Hahahah!"

Tak lama kemudian, motor besar itu pun melaju pelan diiringi derai tawa Bita dan Atha. Jarak duduk mereka sangat dekat, tidak seperti dulu, sehingga membuat seseorang di balik tirai jendela mengamati keduanya dengan pandangan aneh, penuh tanya serta rasa curiga. Namun, tiba-tiba, suara hatinya berkata, "Anakku sudah beranjak dewasa, dan aku tidak percaya waktu sudah berjalan begitu cepat."

Seseorang itu adalah Amira. Setelah kedua sosok remaja itu menghilang di kejauhan, rasa penasaran tak juga hilang dari hatinya, bahkan kian menjadi.

Yang dirinya tahu : Atha dan Bita adalah dua sahabat. Mereka sudah bersama sejak kecil dan menghabiskan banyak waktu bersama selama bertahun-tahun. Mereka sering pergi bersama, baik itu untuk nonton bioskop, ke mall, bahkan traveling ke luar kota.

Tetapi, pagi ini, ketika dia melihat kedua anak itu saling bicara, saling menatap, dia mengetahui hal yang baru ; ada sesuatu di antara mereka. Yang Bita tidak pernah ceritakan padanya.

****

?

Setibanya di sekolah, Bita dan Atha langsung berjalan menuju kelas sambil bergandengan tangan. Pemandangan itu sudah biasa, karena semua tahu, seberapa dekat hubungan mereka. Couple goals, begitulah julukan yang diberikan satu sekolah untuk mereka. Sosok Atha yang populer, selalu menjadi topik hangat para siswi perempuan. Karakternya cukup membuat banyak cewek di sekolah penasaran. Dia sedikit bicara, tersenyum hanya jika dia mau.

Namun, tidak dengan Bita.

Setahun yang lalu, Bita hanyalah murid biasa. Teman-temannya juga termasuk dalam kategori cewek yang nggak banget : aneh, kuper, kudet, dan semacamnya. Kerjaan mereka di sekolah cuma sibuk di dapur sekolah. Entah itu untuk bereksperimen menciptakan sebuah masakan baru, mencoba berbagai resep, ataupun debat rasa masakan.

Yaaa, dulu Bita tidak seperti sekarang. Kehidupannya biasa-biasa saja, tidak menarik, hanya berputar di situ-situ aja, tidak seperti Atha.

Lantas, kapan dia berubah? Tepatnya enam bulan lalu, saat Atha mengajaknya ke pesta ulang tahun Adila, teman ceweknya yang juga populer di sekolah. Tidak sulit bagi Bita untuk berinteraksi dengan teman-teman Atha, karena Bita termasuk orang yang mudah nyambung saat diajak ngobrol. Yang terpenting sih, dia menarik dan cantik, sehingga membuat Adila tertarik untuk menjadikannya teman.

"Lo mau gabung sama kita nggak?" tanya Adila waktu itu, yang kemudian membuat Bita terkejut bukan main.

Gimana nggak kaget? Bita diajak menjadi bagian satu-satunya kelompok populer di sekolah! Ini tuh kesempatan besar, tahu nggak? Maksudnya, Bita bisa punya lebih banyak teman, punya pergaulan di luar sekolah, dan yang pasti, Bita bisa dikenal oleh semua orang di SMA Cendikia sebagai anggota baru kelompok itu.

Oleh sebab itu, tanpa berpikir panjang, Bita langsung menjawab 'iya'.

Dan, tanpa dia sadari, dia mulai jarang berkumpul dengan para sahabatnya. Dia mulai gemar mempercantik diri, dan sibuk dengan semua media sosial miliknya yang dulu sering terabaikan. Teman-temannya bertambah, dan satu per satu anak laki-laki di sekolah mulai mendekatinya. Namun, sayang, Atha sudah lebih dulu menjadikannya pacar.

Begitulah, Bita sudah berubah, sehingga keempat sahabatnya sejak di bangku SMP, pelan-pelan menjauhkan diri dari Bita yang baru.

"Putri?!" panggil Bita pada seorang cewek berambut ikal yang berjalan di depannya. Sementara Atha sudah pamit lebih dulu ke kelasnya.

Cewek itu menengok melalui bahu, kemudian berhenti berjalan. Pandangannya terlihat enggan, sepertinya dia juga merasa tidak nyaman.

"Lo kenapa sih? Setiap gue panggil nggak pernah mau nyahut?!" tanya Bita, malas berbasa-basi.

Putri melihat Bita dari ujung sepatu sampai ujung rambut dengan tatapan menilai, kemudian mendengus. "Ada apa?"

"Kalian lagi marah sama gue? Enggak elo, nggak Lista, Fani, Cia, setiap gue samperin bilangnya gitu," seru Bita lagi sambil menyebut nama-nama sahabatnya dengan aksen jengkel.

"Gini ya, Bita. Kamu udah nggak kayak dulu lagi. Kita udah nggak cocok. Lagian gini ya, kamu kan udah punya temen baru tuh, yang anak gaul abis, jadi kenapa sih masih deketin kami?"

Oke, sepertinya Putri pun juga tidak mau berbasa-basi.

"Kok lo ngomong nya gitu sih, Put? Kan, gue udah minta maaf soal itu."

"Ya terus, sekarang mau kamu itu apa?"

Bita meringis, heran. Harusnya, yang bertanya seperti itu kan dia. Soalnya, Bita sudah minta maaf karena jarang bisa berkumpul seperti dulu lagi sama mereka. Tapi kenapa sikap keempat sahabatnya ini masih juga cuek bebek. Nggak adil.

"Kalian marah karena gue nggak pernah ngumpul sama kalian lagi?" Bita melangkah lebih dekat, berusaha bicara dari hati ke hati.

Namun, Putri mundur sedikit, seakan tidak memberikan Bita kesempatan itu.

"Putri!"

Suara lain membuat kedua remaja itu menoleh secara bersamaan. Begitu tahu siapa pemilik suara itu, Putri langsung tersenyum dan menghampiri tiga orang cewek yang tidak lain adalah para sahabatnya.

"Kok kalian lama, sih?" tanya Putri.

"Iya, tadi ke kantin sebentar." Cewek yang berambut ikal menjawab. Lista Arianna, begitu huruf yang tercetak di seragam sekolahnya.

"Ya udah, yuk!" Putri hendak beranjak, begitu juga dengan teman-temannya. Tapi, tiba-tiba, gerakan mereka terhenti oleh perkataan Bita.

"Kalian norak, tau nggak?"

"Apa dia bilang?" tanya yang bertubuh kurus.

"Masa kamu nggak dengar sih, Fan? Dia bilang kita norak," jawab Putri, lalu tertawa kecil.

"Ya ampun, masa kita dibilang norak, sih...?"

Bita menatap wajah-wajah polos khas anak baik-baik di hadapannya itu dengan kesal. "Kalian nggak tau caranya bersenang- senang."

"Bersenang-senang versi kamu sama versi kami ya jelas bedalah! Di sini, kami datang buat belajar. Nggak seperti kamu sama temen-temen populer kamu itu. Nggak jelas mau ngapain." Ucapan Putri membuat mimik Bita berubah masam.

"Udah deh, Put, mending kita pergi aja."

"Yuk!"

"Lucu, ya? Cuma gara-gara masalah sepele aja, kita jadi berantem." Bita bersuara lagi.

"Gini ya, Bita ... ketika kita butuh kamuuu, kamunya nggak pernah ada. Jadi, udah deh, mendingan kita gini aja. Bubar, selesai," kata Lista, mencoba membuat Bita paham bahwa hubungan mereka tidak sama seperti dulu lagi.

"Kalian iri sama gue?"

"Bahkan kamu lupa caranya ngomong ke kita itu gimana ...."

Bita terdiam. Karena sudah terbiasa dengan gaya bahasa Adila dan Bunga, dia lupa kalau seharusnya dia ber-aku-kamu.

"Lagian, kita bukannya iri. Cuma kecewa aja, karena kamu lebih milih bareng mereka di saat ibunya Fani meninggal waktu itu."

Perkataan Cia barusan, menjelaskan bahwa itulah alasan sebenarnya mengapa ada jarak yang terentang di antara mereka dan Bita.

Bita lalu menatap Fani yang langsung membuang muka. Sejurus kemudian, Fani membalikkan badan.

"Udahlah, yuk pergi aja," katanya malas.

"Bentar, Fan." Putri maju selangkah, berdiri lebih dekat di hadapan Bita. Sebelum bicara, Putri kembali menatap Bita dengan pandangan menilai.

"Sebenarnya, tujuan kamu masuk ke sekolah ini apa sih, Bit? Mau belajar masak, atau cuma mau ikut-ikutan Atha doang? Kamu itu nggak punya bakat sama sekali tau nggak? Kamu masuk ke sini cuma ngabisin waktu sama duit orangtua kamu aja."

Lista, Fani dan Cia saling berpandangan begitu mendengar perkataan Putri yang menyakitkan itu. Ketiganya tidak menyangka kalau Putri akhirnya berani mengatakan hal itu.

"Apa?" tanya Bita, sepenuhnya merasa tersinggung. Dadanya sesak seakan dipenuhi udara ketika mendengar ucapan Putri tadi.

"Pergi, yuk! Nggak penting!" Putri berbalik dan mulai melangkah. Tapi, Bita menghentikannya lagi.

"Gue mau kita kompetisi masak!"

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel