Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 1. Resemble

6 tahun kemudian...

"Panasnya..." Eileen membuka kepala maskot beruang. Meletakkannya di bangku sebelahnya. Mengibaskan tangan ke wajahnya yang dipenuhi keringat. Ini adalah pekerjaan sampingannya yang menjadi seorang maskot di tempat-tempat tertentu. Seperti, peresmian pembukaan resort, toko, taman, dan lain-lain.

Dia memang harus bekerja keras banting tulang mengingat kini ada puteranya yang berumur lima tahun sedang menantinya. Lagipula, mana ada yang mau menerima pekerja dengan memakai masker seperti dirinya? Bisa-bisa disangka ia adalah seorang penipu.

Malam ini memang terasa cukup panas, belum lagi dengan keadaannya yang memakai kostum besar beruang coklat. Membuat keadaannya begitu memprihatinkan. Selesai sudah pekerjaan Eileen malam ini dan dia harus pulang setelah menerima bayarannya.

Melepas kostum beruang, Eileen beranjak menemui pemilik kafe yang menyewanya melalui temannya.

"Terimakasih atas kerja kerasmu."

"Sama-sama, Mam." Eileen menjawab sopan. Mengantongi hasil kerjanya lalu memilih pulang dengan menggunakan bus terakhir malam ini. Mudah-mudahan saja ia masih sempat.

Berjalan cepat menuju bus stop, Eileen duduk bersama beberapa orang disana. Tak lama, bus sampai, ia bergerak masuk dan menempelkan kartu. Lalu duduk di tempat kosong. Eileen menghela napas pelan, memikirkan biaya kehidupan yang semakin hari semakin besar. Belum lagi biaya Bibi Jenny yang audah membantunya merawat Vincent selama ia bekerja. Untung saja, ia memiliki rumah sederhana peninggalan orang tuanya. Jika tidak, Eileen dipastikan akan mengais kesana-kemari untuk membayar sewa rumah dan hal lainnya.

Sampai di pemberhentian berikutnya, wanita itu turun lalu berjalan kaki menuju rumahnya yang berjarak 20 meter dari tempatnya sekarang.

Membuka pintu, rasa lelah yang di deritanya seketika lenyap ketika dia melihat sosok Vincent sedang duduk menonton televisi. Seolah sadar kehadiran Ibunya, Vincent menatap datar. "Kau sudah pulang, Mom?"

Eileen mengangguk. "Sudah makan? Dimana Bibi Jenny?"

"Sudah. Dia baru saja pulang. Dia bilang bahwa anaknya sakit."

Menatap lekat pada puteranya, Eileen sembari berpikir bahwa dia sama sekali tidak mengingat apa yang sudah terjadi malam itu hingga melahirkan puteranya yang begitu tampan dengan rambut berwarna hitam kebiruan. Matanya yang abu-abu jelas bukan turunan dirinya mengingat warna mata Eileen adalah biru.

"Kau sudah bisa melepas maskermu, Mom."

Eileen tersenyum. Benar, dia sudah bisa melepas maskernya. Membiarkan puteranya itu menatap lekat ke arahnya.

"Kenapa menyembunyikan wajahmu, Mom?"

Eileen menggeleng pelan. "Wajah ini kutukan, Vince. Kau takkan mengerti."

"Baiklah. Apakah Mami sudah makan? Biar aku siapkan."

Mencubit gemas kedua pipi tembem Vincent. "Oh boy... Kau begitu menggemaskan."

"Aku sudah besar." Sahutnya jengkel sembari menghindari cubitan Ibunya kembali. "Aku juga akan bekerja membantumu. Jangan perdulikan aku."

"Astaga... Umurmu baru lima tahun dan kau sudah berlagak seperti orang dewasa. Anak siapa kau ini?"

Vincent mengendikkan kedua bahunya tidak acuh. "Kenapa Mami bertanya padaku? Mami yang melahirkanku."

"Baik-baik, Mami menyerah." Eileen mengangkat kedua tangannya. Merotasikan bola matanya karena tingkah puteranya yang begitu cuek dan terlalu pintar yang entah mengikuti gen siapa. "Sekarang, Mami mandi. Kau tidurlah, besok harus sekolah."

"Baik, Mom. Good nite."

"Good nite, Sweetheart."

?

Eileen melangkah terburu-buru saat melihat pria kecilnya bersedekap dada sambil menunggu di depan pintu rumah dengan wajah jengkel mengingat ia sudah telat ke sekolah. Vincent langsung masuk ke elementary school di tahun pertama mengingat otaknya yang encer tanpa perlu melalui play group. Ia bahkan dapat mengingat hanya dengan sekali lihat dan baca.

"Your mask, Mom." Tegur Vincent datar saat melihat Ibunya yang lupa memakai masker.

Menepuk jidatnya, Eileen mengambil masker baru di dalam laci dan memakainya. "Ini karena kau yang menyuruh Mami cepat-cepat."

Mengabaikan omelan sang Ibu, Vincent melangkah keluar dari rumahnya dengan kedua tangan yang dimasukkan ke saku celana pendeknya. Eileen hanya menggeleng gemas melihat tingkah puteranya itu. Dan dengan terpaksa, ia mengikuti Vincent setelah memastikan bahwa pintu rumahnya terkunci rapat.

"Jam berapa Mami pulang hari ini?"

Eileen mengendikkan bahunya. "Entahlah. Tapi, Mami akan menjemputmu nanti."

"Baik. Aku masuk dulu. Bye Mom." Lelaki kecilnya mengecup pipinya sekilas kemudian melambaikan tangan dan masuk ke dalam lokalnya dengan langkah tenang.

Eileen menghela napasnya pelan. Menatap punggung kecil yang semakin menjauh. Ia berbalik dan beranjak pergi tanpa sadar bahwa ada empat pasang mata memperhatikan tingkahnya dan puteranya sejak awal.

?

"Kau serius ingin ke kantor?" Daniel menatap Aeron dengan pandangan kesal. "Kau tahu, aku bahkan dapat meng-handle segalanya."

"Aku memiliki urusan." Sahutnya singkat sembari meletakkan ponsel dalam saku jasnya dan memilih menatap luar jendela.

Daniel menipiskan bibirnya untuk menahan umpatan yang keluar. Dia benar-benar kesal ketika semalam Aeron membangunkannya tengah malam hanya untuk mempersiapkan urusan kantor hari ini karena pria itu berhalangan hadir. Tapi, apa ini? Nyatanya Aeron tetap memilih ke kantor dan membiarkan waktunya semalaman terbuang sia-sia.

Kali ini, Daniel mengalah. Turut melirik luar jendela. Matanya seketika menyipit saat melihat seorang anak yang begitu mirip dengan lelaki di sampingnya sedang berbicara dengan wanita bermasker.

"Pak, berhenti!" Pintanya pada supir mobil mereka.

"Apa yang kau lakukan? Ingin mati?!" Desis Aeron tak suka.

Daniel menggeleng tanpa melirik sahabat sekaligus orang penting dalam dunia malam itu. "Aku akan mati setelah kau melihat anak itu dan mengatakan bahwa dia sama sekali tidak mirip denganmu!"

Merasa penasaran, Aeron menoleh. Matanya menyipit tajam saat melihat anak kecil itu berbicara dengan seorang wanita muda. Matanya, hidungnya, bahkan rambutnya terlihat begitu mirip dengannya.

"See? You two are so resemble."

Mengabaikan ucapan Daniel, Aeron menyipitkan mata kala anak kecil tersebut mencium pipi wanita itu, melambaikan tangan lalu masuk ke dalam lokalnya.

"Apa dia kakaknya?" Tanya Daniel sambil melirik wanita yang kini berjalan menjauh dari sekolah sederhana tersebut. "Atau justru Ibunya yang pernah kau tiduri?" Menatap Aeron dengan horor.

Masih diam. Aeron menatap punggung kecil itu menjauh. Kemungkinan yang dikatakan oleh Daniel sangatlah konyol. Jika memang anak itu adalah anaknya, dipastikan wanita itu akan mengejarnya dan meminta pertanggungjawaban. Tapi, tidak. Wanita itu bukan siapa-siapa. Ya, pasti bukan siapa-siapa!

"Aku tidak pernah tidur dengannya. Lagipula, jika dia anakku, pasti dia akan mencariku." Aeron berusaha meyakinkan dirinya sendiri, walau hati kecilnya berteriak tak setuju.

"Bagaimana jika saat itu dia mabuk?" Tanya Daniel tak menyerah. "Ayolah, anak itu begitu mirip denganmu, Aeron! Kalian seperti kembar tapi beda. Dia masih lucu dan menggemaskan sedangkan kau sudah tu-" Daniel menyengir lebar kala tatapan tajam Aeron menghujamnya.

"Kau sudah membuatku terlambat 8 menit 32 detik, Daniel." Gumamnya sinis membuat Daniel langsung bungkam. "Jalan." Titahnya kembali kepada supir pribadinya. Melewati wanita yang sedari tadi menjadi perhatiannya sedang berusaha memakai kostum maskot.

Wanita seperti itu pernah kugauli? Aeron berdecih sinis tak percaya.

???

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel