Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2 Siapa Dia?

Bab 2 Siapa Dia?

"Aku mencintai kebahagiaan karena dia membuatku ceria, namun aku juga mencintai luka karena dia membuatku dewasa."-Janji Hati

"OCHA!!" teriak seseorang berlari tergesa-gesa menghampiri Ocha. "Kamu kenapa? Anak-anak bilang kamu terkena bola? Mana yang sakit?Kamu baik-baik aja, kan?"

Ocha melongo. "Apa-apaan?!" katanya menepis tangan Ares dari wajahnya. "Aku baik-baik saja. Tidak ada yang sakit."

"Tapi, kata Rena hidungmu berdarah."

Ocha memutar bola mata jengkel, sedangkan Nero dan Roland hanya melihat mereka dengan sebelah alis terangkat.

"Kamu, kan, yang membuat Ocha sampai seperti itu?!" tuduh Ares menunjuk Nero yang tidak menunjukan ekspresi apa pun.

"Kenapa?"

Ares mencengkram kerah baju Nero. "Siapa pun tidak ada yang boleh nyakitin Ocha, apalagi sampai berdarah seperti tadi." Wajah Ares terlihat menakutkan, Ocha buru-buru menarik tangan Ares, berjaga-jaga jika laki-laki itu berkelahi dengan Nero.

"Sudahlah, bukan salah Nero juga. Aku yang—"

"Kenapa kamu malah membela dia? Jelas-jelas dia yang sudah membuat kamu seperti ini." Ares tidak suka melihat Ocha membela laki-laki lain selain dirinya.

"Karena Ocha pacarku," timpal Nero dengan nada datar.

Ocha menutup mata kesal, menyadari kalau hidupnya akan berantakan. Roland tersenyum miring, sedangkan Ares menatap marah Nero.

"Apa kamu bilang tadi? Pacar? Jangan bermimpi!!"

"Aku tidak sedang tidur. Sebaiknya kamu mencari orang lain karena Ocha sudah menjadi pacarku."

Ares langsung memandang Ocha. "Itu bohong, kan? Pasti dia memaksa kamu untuk jadi pacarnya, kan."

"Itu—"

Nero langsung menarik tangan Ocha. "Apa hubungannya denganmu? Jangan ganggu pacarku atau—"

"Nero!" potong Ocha kesal. Nero dan Ares benar-benar membuatnya kesal setengah mati. "Pertama; aku tidak mau jadi pacarmu..."

"Tapi kamu sudah menjadi pacarku," kata Nero.

Ocha mendesis, "Astaga ... aku malas bicara denganmu. Terserah apa maupun, aku tidak peduli. Anggap saja aku tidak menolongmu tadi. Dan kamu, Ares, kamu sudah berjanji padaku tidak akan mengangguku saat di sekolah."

"Itu ..." Ares tergagap.

"Pokoknya, kalian berdua, jangan ganggu aku!" katanya lalu pergi diikuti oleh Ares.

"Ocha, tunggu dulu. Cha, Ocha!" Ares berteriak memanggil Ocha.

Sedangkan Nero menatap kepergian Ocha dengan wajah datar, meski matanya berkata lain saat memandang punggung Ocha.

"Kamu beneran menyatakan cinta kepada dia?" Roland bertanya.

Nero tersenyum kecil. "Menurutmu?"

Roland mendesah, "Aku tidak tau. Kamu terlalu susah ditebak."

Nero ikut mendesah, "Aku mau lihat bagaimana kedepannya dulu. Kalau cocok tidak akan aku lepas ... sampai kapan pun."

Roland hanya tersenyum, ia tahu jalan pikiran Nero yang satu itu. Jika laki-laki itu sudah menyukai seseorang, maka Nero tidak akan melepaskannya kecuali dengan satu hal ...

"Tapi sayang, sudah ada orang ketiga, padahal baru saja pacaran." Nero menggelengkan kepala. "Ngomong-ngomong, perempuan tadi itu namanya Ocha, kan. Dari kelas mana? Kok, aku baru liat dia?"

Roland ikut berpikir, mengingat-ngingat apakah dia pernah mendengar nama Ocha sebelumnya atau tidak. "Aku malah baru tau ada yang namanya Ocha di sekolah ini."

Nero berdecak, Roland memang tidak bisa diandalkan dalam hal ini. Dia tidak mepedulikan ocehan Roland yang menyuruh dia untuk menjauhi Ocha jika hanya ingin bermain-main seperti dengan mantan-mantan Nero sebelumnya. Laki-laki itu malah turun ke bawah, mencari seseorang yang menjadi informannya selama ini.

A. C. Vinero: "Di mana kamu sekarang? Temui aku di belakang sekolah sekarang!"

Setelah mengirim pesan singkat tersebut, Nero langsung pergi ke belakang diikuti oleh Roland lengkap dengan gerutuannya, karena Nero tidak mendengar nasihatnya untuk melepaskan Ocha.

"Lagi pula dia udah menolong kamu. Jangan buat dia sakit hati seperi kamu menyakiti mantan-mantan kamu."

Nero mendelik. "Kamu kenapa sih? Tiba-tiba jadi cerewet seperti perempuan!"

Roland memutar bola mata. "Aku cuman memberitahu aja. Kalau kamu serius dengan Ocha, mending kamu terus serius, jangan tergoda pada yang lain." Roland menyindir, teringat pada perempuan-perempuan yang menjadi selingkuhan Nero. "Emangnya kamu mau Ocha diganggu oleh mantan-mantanmu? Setau aku mereka masih tidak terima kamu putuskan."

Nero berhenti sesaat, membenarkan perkataan Roland. Ocha bisa saja diganggu oleh mantan-mantannya yang masih tidak terima Nero putuskan. Dia berdecak, seharusnya dari awal dia tidak memacari mereka, kalau pada akhirnya akan jadi seperti ini.

"Gampang. Kalau mereka macam-macam pada Ocha. Aku tinggal membasmi mereka aja."

Roland menatap Nero horor, sahabatnya itu memang sudah tidak normal. "Terserah kamu aja, deh."

Ketika mereka sudah sampai di belakang sekolah, laki-laki yang disuruh Nero untuk datang, sudah menunggu sambil duduk menyandar ke pohon kersen yang sering dijadikan tempat berkumpul anak kelas 11.

"Sial, aku menunggumu dari tadi!" seru Tian langsung menghampiri Nero dengan wajah ketakutan. "Menakutkan sekali, tahu!"

Roland menaikan sebelah alis, ikut duduk di bangku panjang seperti Nero. "Kenapa memangnya?"

Tian menunjuk pohon kersen dengan dagu. "Pohon itu ada penunggunya. Tadi saat aku menunggu kalian, ada yang meraba leherku."

Nero tersenyum kecil. "Sepertinya hantu itu suka padamu."

"Sial!" Tian memutar bola mata, duduk sejauh mungkin dari pohon kersen. "Ada apa kamu minta aku menunggu di sini? Kenapa tidak di kantin atau kelas aja?"

"Kalau aku suruh kamu ke sana, nanti ini tidak akan jadi rahasia lagi."

Tian mengerutkan kening, mulai penasaran. "Siapa lagi sekarang? Rosa? Yuli? Erna?" Dia jelas mengerti maksud Nero dengan rahasia. Karena bisanya Nero akan meminta bantuan Tian untuk menyelidiki calon pacarnya. Meski pada akhirnya Nero akan memutuskan mereka setelah berpacaran sebulan atau dua minggu.

"Ocha."

"Ocha?"

"Kayaknya dia perempuan baik-baik, kelihatannya pintar, alim, baik, tidak terlalu cantik tapi manis. Kamu tau?"

Tian dan Roland menganga, ini pertama kalinya mereka mendengar Nero menyebutkan seorang perempuan secara rinci. Tian menggaruk kepala, mengingat-ngingat apa di sekolahnya ada perempuan yang mirip dengan ciri-ciri yang disebutkan oleh Nero.

"Perempuan seperti itu sih biasanya ada di kelas MIA 1 atau IIS 1. Kamu cari saja per-kelas."

Nero mengangguk mengerti, kemudian pergi hendak mencari perempuan bernama Ocha di setiap kelas MIA 1 dan IIS 1.

"Hei, kalian mau ke mana? Jangan tinggalkan aku sendirian, dong!" seru Tian ketakutan, berlari menyusul Nero dan Roland setelah lagi-lagi merasa lehernya diraba oleh seseorang.

***

Nero menyandar di motor Roland, matanya melihat ke depan, mengamati orang-orang yang hendak pulang. Dan, saat orang yang ditunggunya datang, Nero langsung berdiri tegak.

"Kamu mau pergi sekarang? Jalan kaki?"

Nero tersenyum. "Bukan, naik sepatu. Kamu duluan aja. Jangan kemana-mana, langsung pulang ke rumah."

Roland mencibir, "Emang kamu ini mamaku? Untuk apa mengaturku?"

Nero terkekeh, lalu berjalan mengikuti Ocha dari belakang. Dia sudah mencari tahu tentang Ocha tadi—meski harus dengan sedikit pukulan sana-sini—kata mereka, Ocha sedikit tertutup, apalagi setelah ayahnya meninggal dua tahun yang lalu, Ocha tidak punya banyak teman. Hanya Rena dan Ares, teman kecil Ocha,yang mampu bertahan di sisi Ocha. Ocha juga murid yang pintar, mendapat beasiswa penuh dari sekolah.

"Dia sangat sempurna," gumam Nero ikut naik bus seperti Ocha. "Apakah aku bisa bersamanya?"

Nero mulai berpikir; apa yang harus dia lakukan untuk mendekati Ocha yang sepertinya sangat menjaga jarak pada siapa pun. Ini pertama kalinya dia merasakan kertarikan aneh terhadap perempuan, pada mantan-mantan saja, Nero tidak punya rasa seperti ini. Tapi kenapa pada Ocha, rasanya lain?

Jarak jalan raya ke rumah Ocha cukup jauh, apa perempuan itu tidak lelah setiap hari harus berjalan hampir 300 meter? Langkah Nero berhenti ketika Ocha masuk ke dalam sebuah rumah. Tidak besar, tapi terlihat cukup nyaman dan asri karena di depannya terdapat taman kecil dengan banyak bunga.

Nero langsung mengerutkan kening, terkejut melihat seorang wanita paruh baya yang membukakan pintu untuk Ocha. Apa dia sedang tidak salah lihat? Lalu Nero menatap Ocha lama.

"Ini ... tidak mungkin. Jadi, Ocha ...?"

Lalu bayangan yang ingin ia lupakan melintas di kepalanya, dia mundur ke belakang lalu melihat rumah Ocha dengan napas terengah.

"Apa yang harus aku lakukan?" desahnya.

Nero berbalik pergi sambil memikirkan apa yang baru saja dia lihat. Ocha…lalu wanita itu? Mereka pasti ibudan anak, kan? Mereka terlihat sangat dekat, lalu jika mereka ibudan anak bukankah Ocha juga putrinya? Nero memejamkan mata, semua ini membuatnya terkejut.

Nero tidak sadar bahwa di sudah sampai di rumah, mobil ayahnya tidak ada di garasi, berarti Aldo belum pulang dan sepertinya tidak akan pulang seperti biasanya. Nero berjalan masuk, melihat seorang lelaki sedang duduk santai di kursi sambil membaca majalah musik.

"Kamu kenapa di sini?" tanya Nero kebingungan.

"Memang kenapa? Aku tidak boleh ke sini?"

Nero memutar bola mata, pasalnya laki-laki yang duduk di kursi itu paling enggan datang ke rumahnya, atau lebih tepatnya rumah ayahnya. Jelas saja Nero kebingungan laki-laki itu tiba-tiba datang ke rumah.

"Biasanya, kan, kamu tidak mau pernah mau datang ke rumah, apalagi kalau ada ayah. Tapi sepertinya ayah tidak akan pulang, sih."

"Makanya aku ke sini."

Nero melempar tasnya sembarangan lalu duduk agak jauh dari Farel. "Ada keperluan apa? Bukannya kamu sibuk di toko?"

Farel mendorong kepala Nero. "Heh, kmu pikir aku tidak tau apa yang terjadi padamu?!" bentak Farel sambil melempar surat ke hadapan Nero.

"Apa-apaan, sih?"

Kali ini giliran Farel yang kesal dengan sikap Nero yang sok polos. "Jangan pura-pura polos begitu. Kamu pikir aku tidak tau apa yang terjadi sama kamu?!"

Nero membaca surat yang dilempar Farel tadi. Dia tidak berkata apa pun selain tersenyum kecil, cukup mengagumi Farel yang berhasil mengetahui hal ini begitu cepat.

"Aku tau kamu suka hidup sendiri. Tapi jangan keterlaluan seperti itu, Ner. Jangan tanggung semuanya sendiri."

"Aku bisa apa lagi, Bang. Semuanya udah terjadi, kan."

Farel mendesah, "Setidaknya kamu jangan patah semangat. Aku akan membantumu semampuku. Sebagai sepupu yang baik, aku sudah mem-booking dokter terhebat yang pernah ada."

Nero tertawa. "Sial, memangnya hotel, sampai harus di-booking? Kamu tidak perlu melakukan semua itu. Aku baik-baik aja, kok."

Farel mencibir, "Aku tidak peduli. Pokoknya besok kamu harus menemui dia, nanti alamatnya akan aku kirimkan padamu"

Nero terlihat tidak antusias, kemudian Farel pamit pergi, karena dia harus menjaga tokonya lagi. Laki-laki itu mendesah, menatap kembali surat pemeriksaan terakhir yang dia lakukan minggu lalu.

"Dari mana dia mendapatkan ini?" Nero menatap ke atas langit-langit. "Ocha ... Ocha. Apa aku bisa tetep mendekati dia?"

***

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel