Pustaka
Bahasa Indonesia

Hello, Vinero!

50.0K · Tamat
Nana RM
31
Bab
1.0K
View
7.0
Rating

Ringkasan

Dia NeroOrang menganggap dia menyebalkan, biang onar yang kebetulan otaknya cerdas, playboy cap kadal yang sukanya bikin sakit hati cewek. Dia Nero.Yang selalu tersenyum meski hidupnya nggak baik-baik saja.Dia Nero.Yang selalu hidup dalam kepura-puraan.Dia Nero.Yang mempunyai banyak rahasia.Dia Nero.Yang takut ditinggalkan oleh sahabat-sahabatnya.Dia Nero.Yang hancur karena kesalahan yang dulu diperbuatnya.

KampusMetropolitanMenyedihkan

Bab 1 Perkelahian Dan Bola

Bab 1 Perkelahian Dan Bola

"DNA di pembuluh darah mengatakan kepadaku. Kaulah yang kucari selama ini."-DNA, BTS

Ocha menatap orang yang sedang dipandangi Rena lalu mengerutkan kening bingung. Dia terperanjat kaget saat Rena berteriak heboh melihat lelaki yang ditaksirnya itu memasukan bola ke dalam gawang.

"Astaga, dia udah gila," gumam Ocha. Dia berniat pergi meninggalkan lapangan tapi ditahan Rena.

"Mau ke mana? Pertandingannya belum selesai!"

Ocha memutar bola mata. "Aku mau ke toilet," katanya bosan. Ia benar-benar kebosanan menemani Rena yang antusias menonton Fahri—lelaki yang ditaksir Rena—bertanding bola melawan 12 IIS-C. Padahal Ocha sama sekali tidak suka menonton apalagi bermain sepak bola.

"Tahan aja dulu, nanti aku temani."

Ocha memutar bola mata. "Tapi—"

"Dua jam nungguin kamu di toilet, aku juga siap."

Tahu bahwa ia tidak bisa membantah Rena, Ocha terpaksa duduk kembali. Menonton Fahri dan mendengarkan ocehan Rena sambil bertopang dagu. Bosan. Padahal pelajaran kosong sampai dua jam ke depan, tapi malah diisi dengan hal tidak berguna seperti ini. Andai saja yang main bola adalah para laki-laki tampan, mungkin Ocha akan betah tinggal di lapangan. Tetapi, sejujurnya lelaki tampan di IIS bisa dihitung dengan jari. Malah yang terkenal adalah adik kelas mereka yang imut-imut, tapi sayangnya mereka sedang sibuk dengan tugas masing-masing.

"Apa serunya menonton pertandingan bola? Lebih seru menonton pertandingan tinju," gumam Ocha, lalu mengambil ponselnya dari dalam saku rok. Siapa tahu ada pesan yang masuk, sehingga dia bisa pergi dari lapangan terkutuk ini.

"Eh, coba liat itu," kata Rena sambil menggoyangkan tangan Ocha.

"Apa?" balas Ocha tanpa melihat Rena, permainan di ponselnya terlalu sayang untuk dilewatkan.

"Astaga." Rena merebut ponsel Ocha secara paksa lalu mengarahkan kepala Ocha ke tengah lapangan.

"Liat itu!"

Ocha menaikan sebelah alisnya, melihat bingung ke arah dua laki-laki yang sedang berdiri di tengah lapangan sambil beradu argumen. Bukannya tadi pertandingannya berjalan dengan baik dan aman, kenapa tiba-tiba jadi ricuh? Mendadak senyum Ocha melebar saat dua laki-laki itu hendak berkelahi, sepertinya dia akan menonton pertandingan tinju secara gratis.

"Sayang sekali tidak ada popcorn."

"Aaaaakkk!!"

Ocha langsung menutup telinga saat semua orang menjerit. Dia kembali melihat ke tengah lapangan, rupanya Fahri dipukul salah satu oleh laki-laki itu saat hendak memisahkan mereka. Ketika Ocha melihat ke smaping, Rena sudah tidak lagi berada di sampingnya.

"Eh, kapan dia pergi?" tanya Ocha saat melihat Rena sudah berdiri di dekat Fahri, bahkan dia tidak tahu kalau Rena bisa berlari secepat itu.

"Pergi selagi masih ada kesempatan."

Laki-laki berwajah datar tersenyum kecil. "Siapa kamu? Seenaknya menyuruhku pergi."

"Kamu sudah menganggu permainan kita. Sana pergi. Kamu juga sudah memukul Fahri."

"Setelah apa yang kamu lakukan padaku, kamu menyuruhku pergi begitu saja? Apa kamu buta?"

"Apa?"

"Apa aku keliatan menganggu permainan kalian? Apa aku memukul Fahri? Jelas-jelas kamu yang memukulnya." Laki-laki datar itu berdecak. "Ck, aku tidak menyangka ada kapten bola sebodoh dirimu."

"Berengsek! Sini kamu—" Derian maju, tampak geram pada Nero. Dia ingin memukul Nero tapi pukulannya melenceng, karena Nero dengan cepat menghindari pukulan tersebut dan balik memukul Derian hingga tersungkur

.

"Kenapa? Mau main-main denganku? Sialan!" Wajah Nero begitu dingin, dia memukul Derian sekali lagi hingga Roland—sahabat Nero—berlari menahan Nero agar tidak kebablasan memukuli Derian.

Derian bangkit. Mengusap darah di sudut bibirnya. "Kamu pikir aku takut padamu?! Sini kalau berani!" Sayangnya Derian hanya bisa bicara, karena lagi-lagi dia kalah oleh Nero.

"Kenapa? Masih belum mau mennyerah?" Nero mencemooh. "Kamu mau berkelahi denganku sampai Pak Arif datang lalu menghukummu?"

"Aku tidak pedu—"

"Derian, tenang! Nero benar. Lebih baik kamu berhenti dari pada nanti Pak Arif datang dan memberikanmu hukuman," kata Reza menahan Derian agar laki-laki itu lebih tenang, takut jika Nero memukuli Derian habis-habisan.

Nero terlihat begitu tenang, dia memasukan kedua tangannya ke dalam saku celana lalu tersenyum mengejek. Benar-benar seperti iblis, bahkan dia tidak terlihat merasa bersalah setelah membuat bibir Derian sobek dan giginya tanggal satu.

"Aku tidak berniat menganggu permainan kalian, aku cuma mau mengambil barangku yang jatuh ke tengah lapangan." Nero melirik tajam Derian dan Fahri. "Sekali lagi kamu menuduh, apalagi mukul aku tanpa sebab, aku tidak akan segan-segan membuatmu koma selamanya."

Mendadak suasana menjadi hening, entah mengapa keberadaan Nero membuat bulu kuduk mereka merinding.

Fahri maju ke depan. "Maaf, kita bukan bermaksud menuduh kamu yang tidak-tidak—" Dia tergagap ketika Nero pergi begitu saja meninggalkan lapangan.

Lalu setelahnya, Ocha mendengar teriakan para perempuan yang sibuk membicarakan Nero, laki-laki yang lumayan populer di sekolah. Padahal ini pertama kalinya Ocha melihat Nero. Perempuan itu memandang kepergian Nero dengan sebelah alis terangkat, menyadari kalau Nero bukan laki-laki sembarangan.

Ketika semua orang sibuk mengerubungi Fahri dan teman-temannya sambil bertanya tentang Nero, Ocha menggunakan kesempatan tersebut untuk pergi dari lapangan. Dia keluar bersamaan dengan Nero, dan saat itulah Ocha melihat bola melambung tinggi ke arah laki-laki yang berjalan di depannya.

Refleks Ocha mendorong Nero dan membiarkan bola itu mendarat di wajahnya. Perempuan itu mendesah panjang saat merasakan hidung dan kepalanya sakit. Untungnya ia tidak pingsan, Ocha tidak bisa membayangkan jika dia pingsan dan membuat semua orang heboh melihat dia dalam keadaan yang sangat mengenaskan.

"Kenapa juga aku malah dorong dia? Heh, kamu—ke mana dia?" tanya Ocha menyadari kalau orang yang ditolongnya sudah pergi. "Astaga, dia laki-laki yang tidak tau terima kasih."

Ocha meraba hidungnya yang berdarah. Dia mengambil tisu lalu mengelap darahnya, harusnya tadi Ocha tidak mendorong Nero dan membiarkan bola itu mengenai Nero saja bukan dirinya.

"Ya ampuun, Ocha, kamu kenapa? Hidungmu, astaga!" pekik Rena, buru-buru menghampiri Ocha, ikut mengusap darah di hidung Ocha dengan tisu.

"Ini semua gara-gara kamu," kata Ocha kesal. "Coba kalau kamu tidak mengajakku menonton pertandingan bola, pasti hidungku tidak akan begini."

Rena tersenyum salah tingkah. "Maaf, lagi pula, siapa yang menyuruhmu pulang duluan? Lihatlah, kamu jadi berdarah begini." Rena menyengir lebar. "Jangan marah. Nanti aku akan meneraktirmu bakso Mang Iman sepuasnya, bagaimana?"

Sontak Ocha tersenyum lebar, tapi buru-buru dia memasang wajah datar lagi. Dia mendelik. "Hanya segitu saja, mana bisa aku luluh!"

"Jus juga. Bagaimana?"

Ocha hendak mengatakan 'iya' saat tiba-tiba pintu toilet dibuka dengan secara kasar oleh Nero. Sontak semua orang yang ada di toilet menjerit lalu memukuli Nero sampai laki-laki itu mengaduh kesakitan.

"Astaga, kalian itu perempuan atau macan, sih?! Kasar sekali!!" Nero mendengus, penampilannya yang berantakan terlihat tambah berantakan, rambutnya yang panjang mencuat ke mana-mana, bahkan 3 buah kancing bajunya terlepas. "Apa kalian ini mau memperkosaku?!" Nero menutupi tubuhnya dengan kedua tangan, takut diserang lagi oleh para perempuan.

"Salah sendiri, siapa yang menyuruhmu masuk ke toilet perempuan?" timpal Vina.

"Kita bukan Cecil yang menyodorkan tubuhnya ke sembarang laki-laki." Rena menimpali.

Nero hanya berdecak lalu menghampiri Ocha yang bersembunyi di balik punggung Rena. Seolah tahu kalau Nero datang untuk membawa dia pergi, Rena berseru kaget, "Apa maumu?!" menghalangi Nero agar tidak bisa melihat Ocha.

Nero menunjuk Ocha, "Dia siapa? Nama siapa? Dari kelas mana? Rumahnya di mana?"

"Untuk apa kamu bertanya tentang temanku?! aku tidak akan membiarkan playboy kadal semacam dirimu menganggu temanku!"

"Apa kamu bilang? Playboy kadal? Aku lebih suka dipanggil playboy macan." Kemudian Nero menarik tangan Ocha.

"Eh, kamu—lepas!" kata Ocha tapi tidak didengarkan Nero. "Rena, tolong!"

Rena berusaha menarik tangan Ocha tapi tenaganya kalah dari Nero. Dengan terpaksa Ocha mengikuti Nero, sambil berusaha untuk melepaskan tangan Nero, walau usahanya itu sia-sia.

"Kamu mau membawaku kemana?" tanya Ocha kesal, bukannya berterima kasih karena sudah ditolong, Nero malah membuatnya kesal setengah mati.

Nero melirik Ocha sekilas, rupanya laki-laki itu membawa Ocha ke atap gedung. Dia mendudukan Ocha dan menyuruh Roland, yang sebelumnya disuruh Nero untuk mengambil kotak obat di UKS, untuk memberikan kotak tersebut pada Nero. Tanpa banyak kata, Roland memberikan kotak obat tersebut lalu melangkah mundur sambil sesekali memandang Ocha dan Nero bergantian.

"Diam!" kata Nero saat Ocha terus menghindarinya.

"Mau kamu apa?" Ocha mundur sebisa mungkin, benar-benar takut pada Nero. Apalagi setelah dia melihat bagaimana beringasnya Nero, saat memukuli Derian tanpa ampun. Dia tidak ingin bernasib sama seperti Derian.

Nero menunjukan kotak obat. "Menurut kamu apa?" Karena Ocha tidak bisa diam, Nero mencengkram wajah Ocha, sehingga perempuan itu tidak bisa menghindar, kemudian dengan telaten dia membersihkan darah di hidung Ocha. "Aku cuma tidak mau disebut sebagai laki-laki yang yang tidak tau terima kasih."

Akhirnya Ocha terdiam, dia menghindari tatapan Nero. "Aku bisa melakukannya sendiri."

"Aku tau kamu bisa sendiri, tapi biarkan aku membalas perbuatan kamu yang sudah mendorongku tadi." Ada senyum di wajah Nero saat ia mengatakan hal tersebut. "Entah karena kamu bodoh atau emang hati kamu terlalu baik."

Ocha berdecak, tidak terima dia disebut bodoh oleh laki-laki semacam Nero. " Asal kamu tau, aku ini tidak bodoh. Dan, aku tidak mendorongmu, tapi aku menolongmu."

Nero tersenyum.

"Kenapa kamu senyum? Kamu pikir kamu lucu?!"

Nero membersihkan luka di wajah Ocha, lalu menatap mata Ocha hangat hingga perempuan itu mengerjap bingung. "Terima kasih."

Ocha tergagap, "Eh?"

Nero kembali tersenyum. "Sebagai tanda terima kasihku karena kamu sudah mendorong—maksud aku menolongku tadi. Mulai sekarang kamu akan menjadi pacarku."

Ocha melongo, apa kata Nero tadi? Pacar? "Kata siapa aku mau?!!"

Nero menggeleng. "Tentu aja harus."

"Dasar gila!"

"Jangan galak begitu pada pacarmu sendiri, ah."

Ocha tidak habis pikir dengan jalan pikiran Nero yang super aneh, sepertinya tadi yang terkena bola adalah dirinya kenapa malah otak Nero yang bermasalah?

Laki-laki itu menatap Ocha, dia mengernyit saat teringat sesuatu.

"Eh, tapi siapa namamu?"

"Astaga ..." desah Ocha dan Roland bersamaan.

Harusnya tadi dia tidak menolong Nero, kalau akhirnya akan seperti ini.

***