Bab 2 Pindah Rumah
Mobil hitam itu melaju mulus meninggalkan pusat kota, melewati deretan bangunan tinggi yang perlahan berganti dengan jalanan lebar dan pepohonan rapi. Di dalam kabin yang senyap, hanya terdengar dengung mesin dan detak jam di dasbor.
Ella duduk bersandar, menatap keluar jendela, mencoba mengabaikan pria di sampingnya. Namun tatapan Nikolas terasa seperti bayangan yang selalu mengikuti.
“Berhenti cemberut,” ucapnya tanpa menoleh.
“Aku nggak cemberut,” bantah Ella datar.
“Wajahmu sudah cukup jelas menunjukkan kamu sedang memprotesku dalam hati.”
Ella melirik sekilas, lalu kembali memandang keluar. “Nikolas, kamu sadar nggak, ini terlalu cepat? Kita bahkan belum bicara soal… kita.”
“Kita?” Nikolas mengernyit tipis. “Yang aku tahu, kita sudah berbagi satu hal yang mengikat lebih kuat daripada sekadar hubungan. Kamu mengandung anakku, Ella. Dan itu cukup untuk membuatku bertindak.”
“Aku nggak minta kamu bertanggung jawab dengan cara memindahkanku ke rumahmu.”
Nikolas menghela napas, tapi nadanya tetap tegas. “Kamu pikir aku akan membiarkan calon ibu anakku tinggal sendirian di apartemen sempit, pulang larut malam, makan seadanya? Tidak, Estella. Aku akan pastikan kamu aman, terurus, dan diawasi.”
Ella memutar tubuhnya, menatapnya penuh ketidakpercayaan. “Diawasi?”
“Ya. Aku tidak akan membiarkanmu membuat keputusan yang membahayakan diri sendiri atau anak ini.”
Hening sejenak. Ella bisa merasakan mobil semakin mendekati area yang asing baginya. Jalanan mulai dihiasi pagar tinggi dan gerbang besar.
“Sekarang pegang ini,” kata Nikolas sambil menyodorkan sebuah kartu akses tipis. “Mulai hari ini, ini rumahmu.”
Ella menatap kartu itu lama. “Dan kalau aku bilang aku nggak mau masuk?”
Nikolas tersenyum tipis, tatapannya singkat tapi cukup membuat Ella menelan ludah. “Kalau kamu nggak mau masuk, aku akan membawamu masuk. Sama seperti tadi.”
Tak lama kemudian, mobil berhenti di depan sebuah gerbang besi besar yang perlahan terbuka, memperlihatkan mansion megah dengan pilar-pilar tinggi dan halaman yang luas.
Ella menelan napas dalam-dalam. Ia tahu, begitu melangkah masuk, tak akan ada jalan kembali.
Begitu mobil berhenti di pelataran, pintu depan mansion terbuka otomatis, menampakkan seorang kepala pelayan yang sudah menunggu. Dua pelayan lain berdiri rapi di belakangnya, menunduk hormat saat Nikolas turun dari mobil.
“Selamat datang, Tuan,” sapa kepala pelayan. Tatapannya sempat berpindah ke Ella, yang turun beberapa detik kemudian dengan langkah ragu.
Nikolas menggandeng tangan Ella tanpa memberi kesempatan untuk menolak, membawanya masuk melewati pintu besar yang menjulang. Aroma wangi lembut menyambut di dalam, bercampur dengan kilau marmer yang memantulkan cahaya lampu kristal.
“Diana,” panggil Nikolas kepada seorang wanita paruh baya berpenampilan rapi yang berdiri di sisi lorong. “Mulai hari ini, Nona Estella tinggal di sini. Siapkan kamar tamu di sayap timur—buat senyaman mungkin. Pastikan ada pakaian baru, perlengkapan mandi, dan semua kebutuhan untuk ibu hamil.”
“Baik, Tuan,” jawab Diana dengan hormat, lalu segera memberi isyarat pada pelayan lain.
Ella menatap sekeliling, merasa aneh melihat begitu banyak orang bergerak cepat hanya karena satu perintah Nikolas. “Kamu nggak perlu repot segininya,” gumamnya.
Nikolas menoleh, tatapannya tenang namun mengikat. “Bukan repot. Ini yang seharusnya.”
Seorang pelayan muda menghampiri, membawa nampan berisi minuman hangat. “Silakan, Nona.”
Ella mengambilnya dengan ragu, merasakan kehangatan cangkir di tangannya. Sementara itu, Nikolas memberi instruksi tambahan pada kepala pelayan. “Pastikan dokter pribadi datang sore ini untuk memeriksanya. Dan mulai besok, makanan Ella harus disesuaikan dengan kebutuhan nutrisi kehamilan.”
Ella memandangnya, antara kagum dan kesal. “Kamu bahkan sudah atur sampai makanan?”
Nikolas tersenyum samar. “Aku akan mengatur semua yang menyangkut kamu dan anak kita. Mulai dari yang kamu makan sampai di mana kamu tidur.”
Ella hanya bisa menatapnya, sadar bahwa di balik segala kemewahan ini, ia benar-benar berada di wilayah Nikolas—dan keluar mungkin bukan pilihan.
Diana kembali setelah beberapa menit, membungkuk sedikit ke arah Nikolas. “Kamar di sayap timur sudah siap, Tuan. Semua perlengkapan yang diperlukan Nona Estella juga sudah diantar.”
Nikolas mengangguk singkat. “Bagus. Bawa kami ke sana.”
Ella mengikuti langkah Nikolas menyusuri koridor panjang yang dipenuhi lukisan-lukisan mahal dan vas-vas antik. Setiap langkah terasa asing. Dinding yang terlalu tinggi, lantai marmer yang terlalu mengilap—semuanya membuatnya merasa seperti tamu di dunia yang bukan miliknya.
Pintu kamar terbuka, memperlihatkan ruangan luas dengan ranjang berkanopi putih, jendela besar menghadap taman, dan sofa empuk di sudut. Meja rias berisi perlengkapan baru, bahkan lemari pakaian sudah terisi.
Ella tertegun. “Kamu… belikan semua ini dalam semalam?”
Nikolas berdiri di ambang pintu, menyelipkan tangan di saku celananya. “Dalam beberapa jam.”
Ella membalikkan badan, menatapnya dengan campuran bingung dan tak percaya. “Kenapa? Kamu bisa saja biarkan aku bawa barang-barangku dari apartemen.”
“Karena aku tidak mau kamu membawa barang lama ke awal yang baru,” jawabnya datar. “Mulai hari ini, kamu tinggal di sini. Lupakan apartemen itu.”
Ella menghela napas berat, merasa dipojokkan. “Dan kalau aku butuh sesuatu?”
“Katakan padaku,” Nikolas melangkah masuk, jaraknya kini hanya satu meter darinya. “Atau katakan pada pelayan. Apapun yang kamu mau, kamu dapatkan. Tapi…”
Tatapannya mengeras. “…jangan pernah mencoba pergi dari sini tanpa izin dariku.”
Ella terdiam, merasakan hawa dingin dari nadanya.
Nikolas menoleh pada Diana. “Biarkan dia istirahat. Pastikan ada camilan sehat di meja setiap dua jam sekali.”
Setelah memberi instruksi, Nikolas kembali menatap Ella, kali ini lebih lembut tapi tetap penuh kendali. “Aku punya rapat. Sore nanti kita bicara lagi. Istirahatlah, Ella.”
Lalu ia pergi, meninggalkan Ella berdiri di tengah kamar mewah itu—terperangkap di antara rasa aman yang berlebihan dan kebebasan yang perlahan menghilang.
Begitu pintu tertutup, keheningan menyelimuti kamar itu. Ella menatap sekeliling, mencoba meresapi setiap detail—tirai putih yang melambai lembut tertiup angin dari jendela terbuka, aroma segar bunga lili di vas kaca, dan kilau perhiasan kecil di meja rias yang jelas bukan miliknya.
Ia duduk di tepi ranjang, menatap cermin besar di depannya. Bayangan dirinya memantul di sana—wajah yang tampak lelah, mata yang sedikit bengkak karena semalam tak tidur, dan di balik semua itu, perasaan campur aduk yang sulit ia uraikan.
Tiba-tiba, ketukan pelan terdengar di pintu. “Nona Estella?” suara Diana terdengar sopan.
“Masuk,” jawab Ella.
Pintu terbuka, Diana masuk membawa nampan berisi semangkuk sup hangat, potongan buah segar, dan segelas air putih. “Ini camilan siang Anda. Tuan Nikolas menekankan agar Anda makan setiap dua jam sekali.”
Ella tersenyum tipis. “Dia selalu memerintah semua orang ya?”
Diana menunduk, tapi senyum kecil terukir di bibirnya. “Tuan Nikolas memang… sangat protektif, Nona. Apalagi jika menyangkut keluarga.”
Kata ‘keluarga’ membuat dada Ella terasa aneh. Ia menatap sup itu sejenak, lalu mengambil sendok. “Terima kasih, Diana.”
Diana meninggalkan kamar, dan keheningan kembali menyelimuti. Ella menyendok sup perlahan, namun pikirannya melayang ke Nikolas—cara tatapannya, cara ia memutuskan segala sesuatu tanpa memberi ruang untuk bantahan, dan cara ia mengucapkan ‘anak kita’ dengan begitu yakin.
Di luar, langit mulai meredup, tanda sore menjelang. Ella menatap keluar jendela, melihat taman luas di bawah sana. Entah kenapa, taman itu justru membuatnya merasa seperti berada di pulau yang indah… tapi tak memiliki perahu untuk pergi.
