Pustaka
Bahasa Indonesia

Hamil Anak Miliarder

56.0K · Ongoing
Ayu Andita
48
Bab
55
View
9.0
Rating

Ringkasan

"Aku tidak butuh uangmu, Nikolas. Aku hanya ingin kau bertanggung jawab atas anak kita." Estella tak pernah menyangka bahwa malam penuh emosi bersama Nikolas, pria arogan yang dikenal sebagai pewaris tunggal keluarga miliarder, akan mengubah hidupnya selamanya. Ketika dua garis merah muncul di test pack-nya, satu-satunya yang ada di pikirannya adalah masa depan bayinya—bukan cinta, apalagi pernikahan. Namun Nikolas tidak semudah itu melepaskan tanggung jawab. Di balik tatapan dinginnya, tersembunyi rahasia masa lalu yang membuatnya tak percaya pada cinta. Tapi saat ia tahu Ella mengandung darah dagingnya, dunianya berubah. "Aku akan menikahimu, bukan karena cinta. Tapi karena anak ini." Cinta tidak pernah ada dalam kesepakatan mereka. Tapi bagaimana jika hati mulai berkhianat, dan Nikolas justru menjadi pria yang paling tak ingin Estella tinggalkan?

RomansaBillionaireIstriDewasaAnak KecilLove after MarriageKawin KontrakOne-night StandSweetSuspense

Bab 1 Pengakuan Ella

Lampu-lampu kota berpendar redup di luar jendela, memantulkan bayangan samar di wajah Estella yang pucat. Hujan rintik masih menempel di mantel tipisnya, sementara jemarinya gemetar memegang kotak kecil berwarna putih. Dua garis merah di sana seolah menatap balik padanya, menegaskan sesuatu yang bahkan belum berani ia ucapkan dengan lantang.

Suara dering ponsel memecah lamunannya. Nama yang muncul di layar membuat napasnya tertahan—Nikolas. Pria itu selalu terdengar tenang, nyaris dingin, bahkan ketika dunia seakan runtuh.

Ella menggeser ikon hijau di layar. “Halo?” suaranya serak, bukan karena sakit, tapi karena jantungnya terus memukul dinding dadanya.

“Aku di depan apartemenmu,” kata Nikolas singkat. “Buka pintunya.”

“Sekarang? Hujan-hujan begini?”

“Estella,” nada suaranya turun setengah oktaf, membuatnya terdengar seperti ancaman yang dibungkus sopan santun, “jangan buat aku mengulang.”

Beberapa menit kemudian, pintu apartemen terbuka. Nikolas berdiri di sana, mengenakan mantel panjang berwarna hitam. Rambutnya sedikit basah, dan tatapan matanya langsung menangkap wajah Ella.

“Kamu kelihatan… berbeda,” ujarnya sambil melangkah masuk tanpa menunggu izin. “Ada yang mau kamu jelaskan?”

Ella menggigit bibirnya, menatap punggung Nikolas yang kini berdiri di ruang tamu, melepaskan sarung tangannya. “Aku… tidak tahu harus mulai dari mana.”

“Mulai dari kebenaran.” Ia menoleh, menatapnya lurus.

Ella menelan ludah, lalu menyodorkan kotak putih di tangannya. Nikolas mengangkat alis, menerimanya, dan matanya hanya butuh sepersekian detik untuk memahami.

“Dua garis merah?” suaranya pelan, tapi penuh tekanan. “Kamu hamil?”

Ella mengangguk kecil. “Ya. Dan… itu anakmu.”

Keheningan tiba-tiba jatuh di antara mereka. Hanya suara hujan di luar yang terdengar. Tatapan Nikolas menusuk, seakan mencari celah di wajah Ella, memastikan ini bukan lelucon.

Akhirnya ia menarik napas dalam, lalu mendekat, jarak mereka hanya tinggal sejengkal. “Kalau begitu, kita harus bicara. Dan kali ini… aku yang menentukan jalannya.”

Ella bisa merasakan hawa dingin dari mantel basah Nikolas, bercampur panasnya tatapan yang membuat lututnya lemas. Ia tahu, malam ini hidupnya tak akan sama lagi.

Nikolas tidak langsung duduk. Ia berjalan pelan mengitari ruang tamu kecil itu, pandangannya menyapu setiap sudut seolah sedang menilai tempat yang akan menjadi bagian dari hidupnya—atau bagian dari masalahnya.

“Aku akan menikahimu,” ucapnya tiba-tiba.

Ella tertegun. “Apa?”

“Kita menikah,” ulangnya, kali ini lebih tegas. “Aku tidak mau anakku lahir tanpa nama keluarga yang sah. Dan aku tidak mau orang lain ikut campur dalam urusan ini.”

Ella mengerutkan kening. “Nikolas, ini bukan cuma soal nama keluarga. Aku… aku bahkan nggak tahu apa aku siap menikah sama orang yang…” Ia berhenti, menelan kata-kata itu.

“Orang yang apa?” Nikolas menatapnya, tatapannya menusuk, memaksa Ella untuk bicara.

“…yang nggak pernah benar-benar mencintaiku.” Suara Ella nyaris tak terdengar, tapi cukup jelas untuk membuat rahang Nikolas mengeras.

Ia mendekat, langkahnya mantap, lalu berhenti tepat di hadapan Ella. “Cinta itu urusan belakangan. Yang penting sekarang adalah memastikan kamu dan anak ini ada di bawah perlindunganku.”

Ella mundur setapak, punggungnya menyentuh dinding. “Kedengarannya lebih seperti pengendalian, bukan perlindungan.”

Nikolas tersenyum tipis—senyum yang lebih mirip peringatan. “Kalau itu membuatmu merasa aman, anggap saja apa pun yang kamu mau. Tapi aku akan memastikan satu hal, Estella…”

Ia menunduk sedikit, wajahnya hanya beberapa sentimeter dari wajah Ella. Suara hujan di luar seolah meredam, menyisakan hanya suara napas mereka.

“…kamu dan anakku tidak akan pernah lepas dariku.”

Jantung Ella berdegup kencang. Ia tahu Nikolas bukan tipe pria yang bercanda dengan ucapannya. Dan entah kenapa, di balik rasa takut itu, ada bagian kecil di hatinya yang bertanya-tanya—bagaimana rasanya, jika benar-benar berada di bawah lindungan pria ini?

Pagi berikutnya, cahaya matahari menerobos tirai tipis apartemen Ella, memantulkan kilau lembut di lantai kayu. Aroma kopi segar memenuhi ruangan, bercampur dengan wangi roti panggang yang baru diangkat.

Ella mengerjapkan mata, butuh beberapa detik untuk menyadari kalau ia tidak sendiri di dapurnya. Nikolas berdiri di sana, kemeja putihnya digulung sampai siku, dasi tergantung longgar di leher.

“Kamu—” Ella berhenti di ambang pintu dapur, masih mengenakan piyama. “Ngapain di sini pagi-pagi?”

Nikolas menoleh santai, seolah pemandangan ini adalah hal paling wajar di dunia. “Sarapan.”

“Di rumahku?”

“Sekarang ini rumah kita,” jawabnya tanpa ragu, menuangkan kopi ke cangkir. “Kalau mau tetap tinggal di sini, aku akan pastikan setiap hari aku tahu kamu makan, tidur, dan aman.”

Ella menghela napas, berjalan mendekat. “Kamu nggak perlu repot. Aku bisa urus diri sendiri.”

Nikolas menyodorkan cangkir ke arahnya. “Minum. Itu perintah, bukan saran.”

Ella memandangnya lama sebelum akhirnya menerima cangkir itu. “Kamu ini selalu harus mengatur segala hal, ya?”

“Aku miliarder, Ella. Mengatur segalanya sudah jadi kebiasaan,” katanya datar, tapi ada kilatan kecil di matanya—entah itu candaan atau ancaman.

Ella menyeruput kopinya, mencoba menutupi debar di dadanya. “Kalau nanti aku nggak betah sama atur-aturanmu?”

Nikolas mendekat, menempatkan satu tangan di meja, membatasi ruang gerak Ella. “Kalau kamu nggak betah, aku akan buat kamu betah. Bahkan kalau itu berarti aku harus mengunci semua pintu keluar.”

Ucapan itu membuat Ella terdiam. Ada nada serius di balik setengah senyumnya, dan Ella tahu—Nikolas benar-benar bisa melakukannya.

Di luar, matahari semakin tinggi. Di dalam, dunia Ella sudah tak sama lagi.

---

Selesai sarapan, Ella meletakkan cangkir kosong di meja. Ia berniat masuk ke kamar untuk bersiap ke kantornya, tapi langkahnya terhenti ketika Nikolas berdiri di depan pintu, seperti penghalang yang mustahil dilewati.

“Kamu mau ke mana?” tanyanya.

“Kerja. Aku punya meeting jam sepuluh.”

Nikolas menggeleng pelan, memasukkan tangan ke saku celana. “Hari ini kamu nggak ke kantor.”

Ella mengerutkan kening. “Dan kenapa aku harus nurut?”

“Karena aku bilang begitu,” jawabnya datar, lalu mengambil mantel Ella dari gantungan. “Kita akan ke mansionku. Mulai sekarang, kamu tinggal di sana.”

Ella menatapnya tak percaya. “Nikolas, aku belum siap pindah. Semua barang-barangku ada di sini. Dan aku…”

“Barangmu bisa dikirim. Yang penting kamu ikut aku sekarang.” Nikolas melangkah mendekat, meletakkan mantelnya di pundak Ella tanpa memberi ruang untuk perlawanan.

Ella mundur setapak, tapi punggungnya sudah menyentuh dinding. “Kamu nggak bisa seenaknya nyeret aku gini.”

Nikolas menatapnya lama, suaranya turun, tenang tapi mengancam. “Aku bukan nyeret. Aku memindahkan calon ibu dari anakku ke tempat yang lebih layak. Dan aku nggak akan minta persetujuan untuk itu.”

Ella menahan napas, mencoba mencari celah untuk membantah, tapi tatapan Nikolas terlalu tajam, terlalu yakin.

“Kalau aku nggak mau?” suaranya lirih, tapi penuh tantangan.

Nikolas tersenyum miring. “Kalau kamu nggak mau, aku akan tetap membawamu. Bedanya, kalau kamu ikut baik-baik, kita bisa bicara di mobil. Kalau kamu melawan, aku akan menggendongmu keluar.”

Ella memandangnya, antara marah dan tak berdaya. Pada akhirnya, ia hanya bisa menghela napas berat saat Nikolas meraih tas tangannya dan menggandengnya keluar apartemen.

Di lorong, suara hak sepatu Ella bergema, kontras dengan langkah mantap Nikolas yang seolah sudah menentukan segalanya.

Ia tidak tahu, saat pintu mobil mewah itu tertutup di belakangnya, bahwa hidup di mansion Nikolas akan membuka pintu pada dunia yang jauh lebih rumit daripada yang pernah ia bayangkan.