BAB 7
BAB 7
HAPPY READING
***
Selama beberapa menit Taran menatap tajam Resti yang baru masuk ke dalam rumahnya. Ini hari sabtu dan Kejora juga tidak sekolah. Jadi hari ini mereka menghabiskan waktu di rumah, karena nanti sore Kejora harus persiapan manggung di acara konser Maha Karya. Kata Resti adiknya itu juga akan melakukan kolaborasi dengan musisi ternama tanah air.
Masalah pekerjaan Kejora tidak menjadi perosalannya, yang tercongkol di kepalanya adalah pria yang tadi malam bersama Resti. Entahlah kenapa ia tidak suka dengan kehadiran pria itu. Sangat lucu sekali jika ia tidak suka, padahal Resti itu bukan siapa-siapanya kecuali asisten adiknya.
“Kejora sudah bangun?” Tanya Resti melangkah masuk ke dalam, karena ia tidak mendapati Kejora di ruang keluarga. Yang ia lihat hanyalah Taran, pria itu mengenakan kaos hitam dengan celana pendek Puma, rambunya sedikit basah, ia yakin pria itu baru selesai mandi.
“Belum.”
Resti melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 07.00 menit, “Apa saya mesti bangunin?” Tanya Resti.
Taran memandang Resti, dia mengenakan rok kulit di padukan dengan kaos polos berwarna putih. Rambut panjangnya tergulung hingga ke atas, menyisakan sedikit di lehernya, ia tdak tahu rambut yang jatuh itu, disengaja atau tidak.
Ia merasa bahwa penampilan Resti selalu all out, yang ia lihat bahwa Resti bukan jenis wanita yang berpenampilan girly dan feminim seperti Pevita atau Sierra, yang suka mengenakan dress kemanapun berada. Namun Resti memiliki selera fashion yang baik, ia sangat menyukainya.
“Jangan. Biarkan Kejora bangun lebih lama, dia juga libur sekolah. Biarkan dia puas tidur, nanti malam juga dia akan konser pasti akan pulang larut,” ucap Taran, ia menyesap kopinya.
“Eh, ada non Resti,” ucap bibi, bibi menyiapkan nasi ke dalam magic com.
“Hai, bi.”
Resti melihat ke arah meja makan, tidak ada tersedia apapun di atas meja, hanya secangki kopi di depan Taran dan teko kaca yang berisi air mineral.
“Non, sudah sarapan?” Tanya bibi.
“Belum, bi,” ucap Resti, ia menyimpan tasnya di meja, ia merasa bahwa Taran mengawasinya.
“Bibi buatin ya, non.”
“Jangan bi, saya buat sendiri aja.”
Resti melirik Taran yang hanya diam, sambil menatap ke arah TV, menonton siaran berita.
“Kamu mau sarapan apa? Biar saya buatin,” Resti menawarkan diri kepada Taran, walau bagaimanapun Taran pemilik rumah ini.
“Apa saja. Apa yang kamu buat, akan saya makan,” ucap Taran tenang.
“Oke,” Resti melangkahkan kakinya menuju kitchen.
Resti membuka kulkas, ia akan membuat American breakfast, sebenarnya ini sudah ia sering buat di apartemen dan makan bersama Rara. Resti mengambil empat butir telur, empat buah jamur, dua lembar smoked beef, roti baguette yang ia olesi dengan mentega dan empat sosis frankfurter. Resti memanaskan mentega di teflon lalu memasak bahan-bahan makanan.
Makanan ini sangat praktis dan sering ia buat di rumah. Ia tidak tahu Taran akan suka atau tidak hasil masakannya.
“Bibi mau?” Tanya Resti.
“Enggak deh, non. Bibi makan roti aja, lagian tadi udah makan nasi uduk depan komplek, tadi habis nyapu halaman.”
“Kirain, bibi belum makan.”
Hidangan ini lebih hemat dan bahan-bahannya sangat simple menurutnya. Pertama-tama membuat telur orak-arik, dengan kematangan yang ia inginkan. Ia lalu taruh dipiring, setelah itu ia memanggang sosis, smoked beef, dan roti.
Sarapan yang dibuat Resti dalam hitungan menit sudah tersaji di meja, umumnya makanan ini memiliki kesan mewah jika beli di café ataupun di bistro langganggannya. Namun jika membuat sendiri, ia lebih berhemat dan rasanya tidak kalah enaknya.
Resti memandang hasil sarapannya terlihat sempurna, tidak lupa ia membawa kopi untuk dirinya. American breakfast ini memang sangat cocok disantap dengan secangkir kopi. Itu merupakan perpaduan sempurna. Ia lalu membawa hasil masakannya itu ke meja.
Taran menatap hidangan yang disajikan oleh Resti, ia melihat Resti yang sedang menyesap kopi. Ia tidak percaya bahwa Resti bisa membuat breakfast seperti ini, karena sejujurnya ia suka breakfast American style seperti ini. Dulu ia pernah berharap bahwa jika menjadi istrinya kelak ada yang bisa membuat sarapan American style tanpa berlu brunch di bistro di tempat kantornya.
“Saya biasa sarapan seperti ini di apartemen. Semoga kamu suka,” ucap Resti memandang Taran.
Taran menyungging senyum, “Saya suka sarapan seperti ini,” Taran lalu menyicipi breakfast buatan Resti, rasanya enak dan sama seperti yang ia beli di bistro langgangannya. Taran dapat mencium aroma parfume Resti yang khas yaitu vanilla yang manis.
“Syukurlah kalau begitu.”
“Apa kamu bersedia kalau breakfast dan makan malam di rumah saya?”
Resti lalu menatap Taran, “Why?”
“Karena saya suka masakan kamu,” ucap Taran mengakui.
“Untuk masalah bahan-bahan makanan, nanti akan saya kasih uang belanja biar kamu yang mengaturnya. Maaf kemarin saya sudah memarahi kamu, karena sudah mengacak-ngacak dapur saya.”
“’Justru saya yang meminta maaf, karena sudah tidak meminta izin kepad kamu, wajar kamu marah kepada saya semalam,” ucap Resti lagi.
Taran menarik nafas, ia memandang Resti dan Resti menatapnya balik, “Oke, lupa kan saja, masalah kemarin.”
“Iya tidak apa-apa.”
Resti dan Taran makan dalam diam, hanya terdengar detingan senduk dan garpu. Taran kembali memandang Resti.
“Apa yang menjemput kamu tadi malam, itu pacar kamu?” Tanya Taran penasaran, itu lah yang ia pikirkan sejak semalam.
Resti menyungging senyum, lalu menatap Taran, “Bukan, dia bukan kekasih ya.”
Ada perasaan lega ketika Resti mengatakan bahwa bahwa dirinya, “Saya pikir dia kekasih kamu.”
Resti menyesap kopinya secara perlahan, lalu melanjutkan makannya. Resti juga bingung akan berbicara apa lagi. Beberapa menit berlalu mereka sudah menyelesaikan makannya. Ia melihat bibi menyuci piring.
***
Beberapa menit berlalu Resti melihat Taran duduk di sofa ruang keluarga, ia masih ingat kemarin, pria itu mengikat tangannya dan mencontonya apa itu BDSM. Jika diingat-ingat itu dapat membuatnya merinding. Terlebih tangan Taran sangat lancang masuk ke dalam celananya.
Resti menelan ludah, ia menatap Taran mengganti channel TV berganti dengan film Finding Nemo. Taran menyadari kehadiran Resti, posisi wanita itu tidak jauh darinya. Taran menepuk sofa, di sampingnya.
“Sini duduk,” ucap Taran.
Resti merasa ragu, karena kemarin Taran sudah lancang menyentuhnya.
Taran menatap raut wajah Resti, ia tahu apa yang ada dalam pikiran wanita itu, “Saya nggak apa-apain kamu. Kita hanya nonton.”
Resti menghela nafas, ia melirik ke arah kamar Kejora. Sepertinya Kejora tidak ada tanda tanda bangun pagi. Ia melihat jam di pergelangan tangannya menunjukan pukul 07.45 menit, sepertinya jam bergerak lebih lambat. Resti lalu duduk sofa tepatnya di samping Taran.
“Kamu sudah pernah nonton Finding Nemo?” Tanya Taran membuka topik pembicaraan.
“Iya sudah. Kamu?” Resti balik bertanya.
“Iya sudah.”
“Saya sebenernya suka film animasi seperti ini sih, dari pada film lain,” gumam Taran, ia akan ngobrol santai dengan Resti di pagi ini.
“Enggak hanya Finding Nemo, saya juga suka film seperti Kunfu Panda, Boss Baby, Lion King, Madagaskar, Ice Age, Brave.”
Taran lalu memandang Resti, “Really?”
“Yes, saya suka banget.”
“Saya nggak nyangka kamu suka film ginian. Ternyata kita sama,” Taran tertawa.
“Setiap ada film animasi keluar di bioskop, saya sempetin nonton. Padahal sebenernya saya jarang nonton TV di rumah.”
“Kalau ada animsi terbaru, kamu mau nonton nggak? Maksud saya kita nonton sama-sama,” ucap Taran.
Resti tertawa, ia melirik Taran, “Nanti, pacar kamu cemburu lagi kalau kita nonton bareng,” ucap Resti.
“Pacar?”
“Iya, pacar kamu, Pevita, kan.”
Taran seketika tertawa, ia lalu memandang Resti, “Kamu nyangka kalau Pevita itu pacar saya?”
“Yes, kalian pacaran kan?”
“No, saya nggak pacaran sama dia Resti. Yang benar aja!”
“Terus.”
“Kita hanya teman, enggak lebih. Kalau deket, ya kita emang deket udah lama. Cuma kalau pacar belum.”
“Kenapa?”
“Belum pas, belum cocok, ada masih banyak pertimbangan lainnya. Walau saya ini pernah nikah, bukan berarti ada cewek cantik yang deket lalu saya pacari. No, karena saya tahu di mana hati saya harus berlabuh.”
“Jadi kamu milih yang seperti apa untuk menjadi pendamping kamu?” Tanya Resti penasaran.
“Saya nggak ada spesifikasi dalam memilih wanita, asal dia cocok dengan saya, yah, tentu saja saya akan memantapkan hati, memilihnya menjadi kekasih saya.”
“Berarti kamu sangat pemilih?” Dengus Resti.
Taran tertawa, ia memandang Resti, lihatnya wajahnya sangat cantik dari jarak sedekat ini. Walau wanita ini tidak secantik Pevita, namun ia tidak bosan melihatnya.
“Saya selalu memiliki pilihan, Resti.”
“Berarti kamu mengeliminasi wanita, untuk menjadi pasangan kamu?”
Taran lalu tertawa, ia menatap Resti dengan intens, “Kamu pernah nonton acara Take Me Out di sebuah channel TV?”
“Pernah.”
“Yups, analoginya seperti itu, memiliki option dan pilihan. Tidak ada yang salah dengan option dan paling, saya punya kesempatan untuk dipilih dan memilih.”
“Misalnya, kamu ingin terus dan terus berharap agar dia memilih kamu? Apakah kamu mau terus menunggu agar akhirnya kamu bisa mengalahkan Option-Option lainnya dan berhasil menjadi Option utama?”
Resti mengerutkan dahi, ia masih bingung dengan penjabaran Taran.
“Jadi begini, analoginya kamu sedang ke restoran Padang Pagi Sore. Di depan tersaji tersaji puluhan jenis makanan! Dan kamu bisa memilih dengan bebas! Sedangkan di restoran padang lain, ternyata di depan kamu hanya ada satu menu saja, telur balado!”
“Yang mana menarik menurut kamu?”
“Tentu yang banyak hidangannya dan lebih mahal pastinya,” ucap Resti.
“Berarti, kamu memiliki hak untuk memilih apa yang terbaik untuk kamu. Sekali lagi, kamu BERHAK untuk memilih!”
“Jadi kalau kamu ingin kencan dengan wanita, kamu mempertimbangkan wanita mana yang ingin kamu ajak kencan,” ucap Resti menyimpulkan.
“Iya benar sekali. Sepertinya kamu sudah paham.”
Resti lalu tertawa, ia menatap Taran, “Pria yang menarik selalu memiliki pilihan. Right?”
“Yes, it’s right. Enggak hanya pria, tapi wanita menarik juga memiliki pilihan.”
Resti menarik nafas, ia kembali menatap Taran, “Jika kamu di suruh memilih, ketika kamu ingin kencan malam Minggu ini, di antara saya dan Pevita. Mana yang kamu pilih?” Tanya Resti lagi.
Bibir Taran terangkat, ia tidak menyangka bahwa Resti bertanya seperti itu kepadanya.
“Kamu mau tau jawabannya?”
“Iya.”
“Kamu.”
Resti tidak menyangka bahwa Taran memilih dirinya untuk berkencan dibanding dengan Pevita. Seketika hatinya berdesir, ia melihat iris mata Taran, tidak ada keraguan pada tatapan itu.
“Why?”
“Apa saya harus menjelaskannya?”
“Iya.”
“Yah, saya akui bahwa Pevita cantik dan dia juga supel, dan dia juga sangat famous, semua orang mengenalnya. Namun itu tidak asyik, karena membuat ruang gerak menjadi tidak bebas, sedikit-sedikit jjka di luar orang-orang nanti malah minta foto, tanda tangan, apa asyiknya kencan seperti itu? Asal kamu tahu, selama saya mengenalnya, saya tidak pernah berkencan dengannya. Karena betapa ribetnya bersama dia.”
“Tentu saja memilih kamu, saya ingin berkencan dengan bebasnya melakukan apa saja berdua dengannya tanpa perlu meribetkan prihal lainnya. Terlebih adik saya Kejora menyukainya, saya ingin tahu apa yang membuatnya menarik. Apa kamu anggun keibuan, apa kamu itu supel, apa kamu asyik diajak diskusi.”
“Mau berkencan dengan saya?” Tanya Taran.
Resti menelan ludah ketika Taran mengajaknya berkencan. Mereka saling berpandangan satu sama lain beberapa detik. Seketika jantung Resti berdesir, ia tidak tahu apa yang harus ia lakukan ketika jemari Taran menyentuh kulitnya. Seakan aliran listrik masuk ke dalam tubuhnya.
“Jika saya menjawab iya, apa yang kamu lakukan?” Tanya Resti pelan.
“Saya mau mencium kamu mungkin lebih tepatnya tidur denganmu,” ucap Taran dalam hati.
Taran mencondongkan wajahnya ke tubuh Resti, kini jarak mereka sangat dekat, bahkan ia merasakan hembusan nafas Resti dipermukaan wajahnya.
“You know, what I do,” bisik Taran.
Entah siapa yang memulai bibir Taran dan Resti saling berpangutan satu sama lain. Terkadang mereka sama-sama ingin melepaskan tanggung jawab dan membiarkan orang lain melakukannya sementara waktu. Entah berapa lama ia tidak merasakan kecupan seperti ini, karena mereka sama-sama sudah bertahun-tahun lamanya menahan hasrat seperti ini.
Taran mengecup Resti dengan penuh hati-hati, dan Resti membalasnya dengan penuh kesadaran. Mereka saling menyesap dan memangut tanpa henti. Ciuman mereka awalnya pelan, lama kelamaan ritemenya semakin cepat, seolah tidak ada hari esok.
Kecupan itu membuat mereka hilang control, Taran memegang tengkuk Resti, agar ia lebih leluasa mengecupnya lebih dalam. Taran menghisap bibi bawah Resti secara bergantian. Resti mendesah panjang, semua control mereka hilang. Kecupan Resti berikan lebih perfect dari dalam mimpinya kemarin.
Taran menarik tubuh ramping Resti mendekati tubuhnya, kini tubuh mereka tidak ada jarak dan saling menempel. Gairah mereka meledak, Taran menyandarkan tubuh Resti ke sofa, lalu menenggelamkan Tubuh itu di sofa. Taran menyatukan semua partikel tubuhnya ke tubuh Resti.
Kedua tangannya aktif menyentuh tubuh Resti, tanpa melepaskan pangutannya. Ia merasakan tangan Resti menyentuh rambut dengan jemarinya, ia semakin bersemangat melakukannya. Beberapa menit berlalau, Taran melepaskan pangutannya, kini bibirnya beralih ke leher Resti.
Bibir Taran mengecupnya, menghisap dan memainkan lidah di leher. Ia mendengar Resti mendesah, wangi dari tubuh Resti di mana-mana. Ia tidak bisa mengontrol diri lagi, ia mengeksplor tubuh Resti. Menyentuh semua bagian tubuh itu dengan jemarinya. Taran kembali melumat bibir Resti dan tubuh mereka saling bergesekan satu sama lain.
Resti membuka matanya, ia melihat pupil mata Taran dan masih merasakan bibir Taran memangut bibirnya. Resti tersedar apa yang telah ia lakukan dengan Taran. Ia lalu melepaskan diri dari tubuh Taran dan Taran menghentikan kecupannya.
Mereka saling berpandangan satu sama lain, Resti melihat roknya sudah tersingkap ke atas dan kaosnya sudah berantakan. “Oh, my God,” ucap Resti berkali-kali.
Sekian menit, Resti tidak bisa berpikir jernih, karena di depan matanya itu adalah Taran. Resti menutup wajahnya dengan tangan, apa yang telah ia lakukan dengan Taran? Entah apa yang telah ia pikirkan, membiarkan Taran menciumnya. Ia mesih merasakan bagaimana Taran menghisap bibirnya dengan penuh nafsu.
Resti dengan capat lalu beranjak dari sofa, ia merapikan pakaian dan bajunya. Ia melihat iris mata Taran seolah menantangnya,
“Kita tidak seharusnya melakukan ini,” ucap Resti.
“I know, tapi kita berdua tidak bisa menahan diri melakukannya,” ucap Taran, ia juga beranjak dari duduknya. Ia sama sekali tidak akan meminta maaf, karena mereka berdualah menginginkannya.
Resti menutup wajahnya dengan tangan, ia mengatur nafasnya, “Lupakan kejadian tadi, anggap saja ini tidak pernah terjadi diantara kita.”
Bibir Taran terangkat, ia memandang Resti cukup serius, “Enggak bisa.”
“Kenapa nggak bisa?”
“Karena sekarang saya tahu bagaimana mencium kamu dan kamu mencium saya balik. Itu sama sekali tidak bisa menghapusnya dipikiran saya.”
“Oh, Jesus …” Desis Resti.
“Mba Resti !”
Otomatis Taran dan Resti memandang ke arah sumber suara, mereka menatap Kejora di atas sana. Gadis itu masih mengenakan pakaian tidurnya, dengan wajah khas bangun tidur.
“What are you doing?” Ucap Kejora dari arah atas.
Resti menatap Taran, ia menelan ludah, ia harap Kejora tadi tidak melihat apa yang telah mereka lakukan.
“We are discussing, about your concert,” ucap Resti gugup, penuh hati-hati.
“Sure?”
“Yes, tanya saja sama abang kamu.” Resti mengusap tengkuknya yang tidak gatal.
“I saw you kissing,” ucap Kejora to the point.
Resti yang mendengar itu lalu shock luar biasa. Resti dan Taran lalu saling berpandangan satu sama lain. Resti menggigit bibirnya, benar dugaanya bahwa Kejora melihat dirinya dan Taran berciuman. Ia tidak tahu apa yang harus ia jelaskan kepada Kejora, karena ia sudah tertangkap basah.
“Yes, we kissed,” ucap Taran tenang, ia berikan senyuman terbaik kepada adiknya itu.
“Taran …” desis Resti, namun Taran mengabaikan ucapan Resti.
“Are you dating?” Tanya Kejora lagi dari arah atas.
“No, we're just friends, baby,” sahut Taran.
“Would you be happy, if she and I were dating?” Tanya Taran kepada kejora dari kejauhan.
“Of course,” ucap Kejora lalu tertawa.
“Good, job.”
Resti mendengar itu nyaris menganga, ternyata Taran dan Kejora itu tidak jauh berbeda, mereka seperti dua bersaudara sama-sama kompak.
“Kamu mandi, setelah itu kamu sarapan.”
“Oke.”
Resti dan Taran melihat Kejora masuk ke dalam kamarnya. Taran melirik Resti, terlihat raut wajah cemas sekaligus shock.
“Kejora dan saya, sama-sama dibesarkan di Jerman. Jadi dia bisa memakluminya, kita hanya berciuman,” ucap Taran, ia lalu menyungging senyum.
***
