BAB 6
BAB 6
HAPPY READING
***
Mobil Ben masuk ke kawasan komplek Puri Indah. Resti tahu betul ini merupakan salah satu komplek elite yang ada di Jakarta Barat, ah ia masih ingat bahwa rumah Maikel berada dalam komplek kawasan ini. Resti melihat Ben memarkir mobil di depan rumah dengan dua lantai. Rumah ini berwarna cream putih, dengan pagar tinggi.
Resti tahu bahwa ini lah rumah Ben, menurutnya rumah ini tidak kalah mewahnya dengan rumah Taran. Rumah ini memiliki halaman yang luas, tumbuhan tertata rapid an terawatt sangat baik. Ben melepas seat belt lalu mematikan mesin mobil, begitu juga dengan Resti melepaskan sabuk pengamannya.
“Ini rumah kamu?” Tanya Resti.
“Iya.”
“Tinggal sendiri?” Tanya Resti lagi.
“Enggak sendiri, di dalam ada bibi, penjaga rumah, saya dan Robert. Waktu primary school, Robert dulu tinggal dengan mama dan papa saya. Baru-baru ini Robert mulai tinggal di rumah menemani saya. Mungkin sudah beranjak remaja dia mulai mengerti, dia tahu kalau papi nya kesepian sendiri di rumah sebesar ini.”
“Saya pikir Robert tipe anak yang sangat pengertian.”
“Exactly, pikirannya sudah dewasa, menurut saya.”
“Bersyukurlah kamu memiliki anak seperti Robert,” ucap Resti lalu terkekeh.
Ben membuka hendel pintu dan diikuti oleh Resti, mereka melangkah menuju pintu utama. Ia memandang Resti yang menyeimbangi langkahnya.
“Robert ada di dalam?” Tanya Resti.
“Iya ada, sedang menunggu kita.”
Resti melihat Ben membuka pintu utama dan Ben mempersilahkan Resti masuk ke dalam. Ini pertama kalinya Resti masuk ke rumah ini. Rumah Ben di dominasi warna putih bergaya American style. Rumah mewah seperti tidak lepas dari desain jendela kaca yang besar. Jendela-jendela itu berfungsi untuk memperbanyak sirkulasi udara yang baik.
Rumah ini terlihat lebih luas, Resti melihat ruang tamu terdapat sofa berwarna abu-abu yang senada dengan gorden. Lampu Kristal menambah kesan mewah di rumah ini. Rumah Ben tidak kalah mewahnya seperti rumah Taran.
Resti masuk ke rumah tengah, ia memandang Robert di sana. Pria muda itu, mengenakan kaos putih dan celana Adidas berwarna hitam. Dia tersenyum dan lalu beranjak dari duduknya.
“Hai, tante Resti,” sapa Robert, menyambut hangat kepada Resti.
“Hai juga Robert,” Resti berikan senyum terbaiknya.
Ben menyungging senyum, karena Robert terlihat sangat welcome kepada Resti. Ben melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 21.00. Ia tahu ini sudah terlambat untuk makan malam, namun tetap mereka lakukan, setidaknya tidak terlalu larut.
Resti memandang wanita mengenakan daster batik berwarna hitam, rambut panjang itu tergulung hingga ke atas, wanita itu tersenyum kepada Resti. Ia yakin wanita yang mengenakan daster itu adalah asisten rumah tangga di rumah ini. Wanita itu menyiapkan malam untuk mereka.
“Ini bi Inah, asisten rumah tangga saya. Bi ini Resti.”
“Salam kenal non Resti,” ucap bibi ramah.
“Salam kenal juga bi.”
“Temen baru, pak Ben?”
“Iya, bi.”
“Cantik temennya pak Ben. Cocok jadi ibu nya Robert.”
“Ah, bibi, bisa aja,” Ben tertawa.
“Silahkan duduk, Res.”
Resti memandang Ben mempersilahkannya duduk di kursi, ia menatap Robert duduk di hadapannya dan Ben berada di tengah. Resti melihat menu berupa daging sapi tumis, sup ayam, ayam goreng lengkuas, dan capcay yang masih segar, karena baru saja di masak oleh bibi. Di atas meja terdapat nasi putih.
“Silahkan di makan non Resti. Bibi cuma masak ini,” ucap bibi sambil menuang air mineral ke gelas.
“Maaf seadaanya,” ucap Ben memandang Resti.
“Ini lebih dari cukup,” ucap Resti masalahnya tadi di rumah Taran, ia juga sudah makan menemani Kejora. Namun ia tetap menghargai undangan Ben dan Robert, ia akan makan masakan yang di sajikan.
Resti memandang Robert, “Bagaimana tadi di sekolah, Robert?” Tanya Resti kepada Robert.
“Baik, tante.”
“Ada PR?” Tanya Resti lagi.
“Enggak ada,” Robert mengambil gelas berisi air mineral itu lalu meneguknya.
Ben mengambil nasi dan menaruh di piring, begitu juga dengan Robert. Resti mengambil daging dan capcay. Mereka makan dalam diam. Resti memperhatikan Robert, sebenarnya ia tidak tahu apa hobi Robert karena ia tidak melihat ciri-ciri pada pakaian yang dikenakannya. Jadi ia tidak tahu bagaimana mendekatkan diri kepada pria remaja itu. Sebaliknya, Kejora sangat kentara, dia suka music, apapun berhubungan dunia seni.
“Besok kamu kerja?” Tanya Ben membuka topik pembicaraan.
“Iya, saya kerja full time, apalagi kalau weekend, karena saat weekend ngurusin Kejora manggung, ngisi acara di stasiun TV, seperti itu lah,” ucap Resti.
“Wow, banyak juga ya kerjaan kamu.”
“Lumayan. Saya kerja 15 jam sehari.”
“Ada libur?”
“Ada seMinggu sekali, itupun jarang saya ambil, kebanyakan kerja seperti ini, jarang liburnya. Terlebih kalau artisnya tenar, jadwalnya padat,” Resti mulai menceritakan pekerjaannya kepada Ben.
Resti menatap Robert, “Minggu ini Kejora Manggung, apa kamu mau nonton?” Tanya Resti kepada Robert.
“Robert nonton dii TV aja nanti, tante.”
“Kalau suatu saat nanti kamu mau nonton secara langsung, bisa hubungi tante, nanti tante kasih tempat yang terbaik.”
Robert lalu tersenyum, “Iya, tante,” Robert lalu memakan nasi dan lauknya.
Jujur sebenarnya Ben sudah lama sekali ia tidak merasakan makan malam komplit seperti ini. Kehadiran Resti membuat rumah ini seperti hidup lagi.
Resti menatap Robert, “Kamu suka musik?” Tanyak Resti kepada Robert, ia melakukan ini agar Robert dekat dengannya.
“No, aku nggak terlalu suka tante. Kalau dengerin sih biasa, kalau bermusik kayaknya nggak berbakat,” ucap Robert terkekeh.
Ben menyungging senyum, “Robert itu, hobi masak, Res,” ucap Ben.
“Really?”
“Yes, Robert pernah membuatkan saya kue ulang tahun kemarin, dengan tutorial di youtube. Hasilnya enak.”
“Itu keren banget loh,” puji Resti.
“Ah, papi. Robert kemarin cuma mau ngasih yang special buat papi, jadi buat sendiri.”
“Tapi, kalau seumuran kamu sudah bisa buat kue apalagi birthday cake, itu hebat loh ya. Tante saja sampe sekarang masih belum bisa buat cake atau pastry.”
“Saya pikir kemarin Robert dibantu sama bibi, ternyata kata bibi Robert yang masak sendiri. Bibi cuma bantu beli bahan-bahan kue di pasar. Kata bibi, dia aja nggak bisa buka cake.”
“Wah, hebat. Mau sekolah masak, biar kreatifitas kamu bertambah?”
“Emang ada tante?”
“Ada dong.”
Ben menyungging senyum, “Kamu mau?”
“Mau, pi,” ucap Robert, ia memakan makanannya dengan tenang.
“Kalau nggak salah, di Slipi ada tempat kursus namanya Arkamaya, robert bisa ngikutin kelas di sana. Kapasitasnya 18 orang saja setiap kelas, katanya bagus,” ucap Resti.
“Tante tau dari mana?”
“Pernah gitu cerita-cerita sama artis senior, anaknya kursus masak di sana.”
“Mau tante.”
“Oke, nanti tante cari tahu dulu, ya.”
“Iya, tante.”
Makan malam ini diisi dengan pembicaraan yang ringan, membicarakan kegemaran Robert dan aktifitasnya. Setelah makan Robert lalu pamit mengundurkan diri, dia masuk ke dalam kamarnya lagi. Kini tinggallah Resti dan Ben, mereka berada di ruang keluarga. Resti memandang ke arah samping, di sana ada kolam renang berukuran sedang, dan ada gazebo.
Resti melihat di rumah ini tidak ada foto pernikahan Ben dan Istrinya, kecuali foto Robert mengenakan pakaian sekolahnya, itupun di ambil secara candid yang terpajang di nakas dekat TV. Resti melirik jam melingkar di tangannya menunjukan pukul 22.10 menit. Resti ingin tahu sudah berapa banyak wanita yang Ben bawa ke rumah ini dan diperkenalkan dengan Robert.
“Enggak apa-apa kan, pulangnya sedikit lagi?” Ucap Ben, ia masih ingin ngobrol-ngobrol dengan Resti.
“Enggak apa-apa kok,” ucap Resti, ia sebenarnya ingin tahu, apa pekerjaan Ben sebenarnya. Namun ia mengurungkan pertanyaan itu, karena terlihat tidak sopan, ia yakin Ben seorang pengusaha seperti Taran.
Resti dan Ben memandang ke arah TV, layar itu menayangkan film Benedetta, film bergenre drama mengisahkan tentang seorang gadis biarawati lesbi yang membuat kontroversial. Katanya film ini berdasarkan kisah nyata seorang biarawati abad ke-17, Benedetta Carlini yang memiliki hubungan seksual dengan sesama biarawati.
“Kamu pernah nonton ini?” Tanya Ben membuka topik pembicaraan.
“Iya pernah. Saya menontonnya di Netflix,” ucap Resti.
“Kamu?”
“Belum, saya jarang nonton, sibuk kerja,” ucap Ben, ia menyandarkan punggungnya di kursi. Ia melihat ada adegan sexual di sana sesama antara biarawati.
“Mereka lesbi?” Tanya Ben, karena ia nonton setengah-setengah, sebenarnya ia tidak tahu cerita film di tampilkan itu.
“Iya.”
“Boleh ceritakan, saya lebih tertarik jika kamu menceritakannya.”
Resti menarik nafas, ia memandang Ben, “Menurut aku, film ini mencampurkan unsur agama, psikologis dan erotica. Bahkan ada beberapa negara melarang film ini ditayangkan, karena sudah melanggar terhadap symbol-simbol agama.”
“Terus.”
“Wanita itu bernama Benedetta Carlini, dia seorang biarawati sejati di Pescia, sebuah desa kecil di Italia Utara. Benedetta memiliki kemampuan khusus bertemu dengan Yesus. Puncak karirnya sangat bagus, dia diangkat menjadi kepala biarawati dan dia menyelamatkan seorang budak yang dijual ke biara. Budak itu menjadi asisten Benedetta. Asisten benedetta itu mengalami sexually abused dulunya, namun Benedetta merangkulnya. Hal itu lah yang menjadi masalah bagi Benedetta.”
“Seiringnya berjalannya waktu, keduanya mulai tertarik satu sama lain dan menjalin hubungan romantis. konflik cerita ini sebenernya ada tersimpan issue jauh lebih luas dari pada lesbi mereka. Saya awalnya bingung nonton film ini, apakah Benedetta ini benar-benar seorang biarawati yang mendapatkan ilham atau bukan? Yang menjadi perantara Yesus bagi warga Pescia? Atau dia seorang penipu ulung?”
“Banyak adegan-adegan Benedetta kerasukan roh lain, membuat warga percaya bahwa dia mendapatkan ilham dari Yesus.”
“Menurut saya Benedetta itu perwujudan dan kemunafikan dalam penerapan agama. Benedetta itu tentang penyimpangan agama, dia menggunakan kekuasaanya membuat orang tunduk kepadanya.”
“Agak aneh sih menurut saya, namun saya hanyut dalam film ini. Filmnya soft namun ganas. Apalagi adanya wabah yang menimpa penduduk di sana. Akhirnya dia memang tetap menjadi biarawati. Over all, saya puas nonton ini.”
Ben menyungging senyum, ia melirik layar film itu, ia sebenarnya lebih suka Resti menceritakannya dari pada menonton, karena ia tidak terlalu suka menonton TV. Walau gambar itu menampilkan adegan erotic sesama wanita, namun tidak membuatnya horny, kecuali adegan itu diisi pria dan wanita. Mungkin ia akan trun on.
“Apa pernah Robert bertanya tentang ibunya kepada kamu?” Tanya Resti penasaran, ia membuka obrolan topik lain.
“Pernah, saya menceritakannya bahwa ibunya meninggal saat dia melahirkan dan kita ke makam berdua. Dia tahu ibunya sudah meninggal sejak lama dan menerima lapang dada.”
“Beberapa bulan belakangan ini Robert mengatakan kepada saya dan menyuruh sayamenikah. Namun wanita yang saya dekati itu, tidak cocok dengannya, berakhir kandas.”
“Akhirnya kemarin saya mengatakan kepada Robert, untuk meminta kepadanya untuk mendekati kamu meminta pendapatnya dan dia setuju. Kadang Robert jika dia tidak suka, dia berterus terang mengatakan kepada saya. Dia selalu mengatakan “saya tidak suka tante itu dan diiringi dengan alasan.”
“Wow, saya merasa terhormat diterima di keluarga ini,” ucap Resti tersenyum dan juju ria merasa tersanjung.
“Robert itu anaknya cerdas, nilai akademiknya baik bahkan sering juara kelas. Mungkin dia lagi suka dengan Kejora, jadi mengganggu Kejora.”
“Saya juga berpikiran seperti itu. Saya nggak nyangka kalau Robert secerdas itu. Umur kamu berapa?” Tanya Resti penasaran.
“Tiga delapan. Saya nikah dulu umur 26 tahun, udah lama sekali.”
“Wah, lama juga juga kamu menduda.”
“Lumayan, ada beberapa kali dekat dengan wanita, bahkan pernah pacaran dengan sekretaris saya sendiri. Namun berakhir kandas, karena Robert kurang cocok. Well, sepertinya Robert menyukai keberadaan kamu di sini, dia tadi ngobrol dengan luesnya kepada kamu, bahkan meminta kamu untuk mencarikan tempat kursus memasak.”
“Itu positif sekali menurut saya, sebelumnya dia tidak pernah melakukan seperti itu kepada teman wanita saya. Dan bahkan Robert dengan setianya menunggu kamu untuk makan malam bersama. Padahal kita biasa makan jam tujuh.”
“Makasih ya, kamu sudah menerima ajakan makan malam saya dan Robert.”
“Saya harusnya terima kasih kepada kamu. Saya merasa diterima baik di keluarga ini.”
Resti melirik jam melingkar di tangannya, sudah menunjukan pukul 22.10 menit. Ben memandang Resti,
“Kamu sudah mau pulang?”
“Iya.”
“Yaudah, saya antar,” ucap Ben, ia beranjak dari sofa.
***
Ben memanuver mobilnya, menuju apartemen Senopaty. Ben memperhatikan jarak mobil dan motor di hadapanya sambil memegang setir. Ia melirik Resti yang bersandar di kursi.
“Res.”
“Iya.”
“Kalau saya ajak kamu makan malam lagi, mau nggak?” Tanya Ben.
Resti tersenyum, ia menatap Ben, ia akui bahwa Ben adalah tipe pria idaman di luar sana. Wajahnya tampan, tubuhnya bagus proporsional, ia yakin banyak sekali wanita-wanita cantik menginginkan menjadi ibu pengganti untuk Robert.
“Iya, mau,” ucap Resti.
“Kalau liburan dengan Robert?”
“Liburan ke mana?”
“Staycation mungkin, bertiga ke Puncak paling dekat, atau ke Eropa, karena Robert tidak pernah merasakan keluarga utuh seperti remaja lainnya di luar sana.”
Resti tersenyum, “Iya, boleh.”
“Thank you,” ucap Ben, ia merasa bahagia ketika ajakannya disetuji oleh Resti.
Beberapa menit kemudian mobil Ben kini sudah berada di lobby apartemen Senopaty. Resti membuka sabuk pengaman.
“Makasih ya, sudah diantar pulang,” ucap Resti ia berikan senyum terbaiknya kepada Ben.
“Iya, sama-sama Res.”
Resti membuka hendel pintu namun Ben menahan tangan Resti, otomatis lampu dasbor menyala Resti menoleh ke samping menatap Ben. Mereka saling berpandangan satu sama lain beberapa detik.
“Res …” ucap Ben pelan.
Resti menelan ludah, ia bingung akan berbuat apa, karena jemari Ben menyentuh permukaan kulitnya. Inilah pertama kalinya mereka bersentuhan,
“Iya.”
Tatapan Ben beralih ke bibir Resti, tadi di rumah, ia mati-matian agar tidak melumat bibir itu, karena pikirannya masih waras dan ia tidak ingin Resti berpikiran tidak-tidak kepadanya.
“Boleh saya cium kening kamu?” ucap Ben pelan.
Resti menelan ludah, ia menatap iris mata Ben, ia tidak tahu berbuat apa, ia lalu menganggukan kepala secara reflek.
“Iya, boleh.”
Ben mendekatkan wajahnya ia lalu mengecup kening Resti, hanya kecupan biasa yang menenangkan. Resti adalah satu-satunya wanita yang diterima baik oleh Robert. Ia tidak akan berbasa-basi lagi untuk menunjukan ketertarikan kepada gadis ini. Ia tidak peduli suatu saat nanti akan bersaing dengan saudara Kejora. Ia yakin, pria itu juga menaruh hati kepada Resti.
Resti merasakan ketenangan ketika bibir Ben menyentuh keningnya. Sedetik kemudian Ben melepaskan kecupannya, ia memandang Resti, ia berikan senyum terbaiknya.
“Terima kasih.”
“Iya, sama-sama.”
“Good night, Resti,” ucap Ben, melihat Resti sudah keluar dari mobilnya.
“Good night to, kamu hati-hati di jalan.”
***
