BAB. 5 Pertemuan Tak Terduga
Cahaya matahari pagi merayap masuk melalui celah tirai putih apartemen milik seorang gadis bernama, Mary Violet. Jarum jam menunjukkan pukul tujuh pagi, menandakan pagi yang sibuk telah dimulai. Hari ini bukan hari biasa baginya. Ini adalah hari wawancara kerjanya di JM Corp, sebuah perusahaan besar yang ada di Jakarta.
Mary berdiri di depan cermin besar di kamarnya. Saat ini dia mengenakan kemeja putih bersih, dipadukan dengan blazer hitam elegan dan rok hitam selutut. Rambut hitam panjangnya telah ditata rapi dengan sedikit gelombang di ujungnya. Mary pun merapikan kerah bajunya, memastikan tidak ada lipatan yang mengganggu.
"Okay, Mary. Kamu pasti bisa melakukannya," gumamnya pelan, mencoba menyemangati diri sendiri.
Dia mengamati refleksinya sekali lagi. Sepatu hak rendah berwarna hitam telah siap di kakinya, memberikan kesan profesional tanpa harus menyiksa kenyamanannya. Setelah merasa cukup puas dengan penampilannya, Mary mengambil anting kecil berbentuk mutiara dari meja rias dan mengenakannya.
"Sempurna," ujarnya sambil tersenyum tipis.
Selesai memastikan jika dirinya tampak rapi, Mary pun melangkah keluar dari kamar menuju dapur. Aroma harum dari omelet yang baru matang menyambutnya. Gadis itu telah menyiapkan sarapan lebih awal, mengingat pentingnya menjaga energi sebelum wawancara.
Mary duduk di kursi bar mini dapurnya, mengambil garpu, dan mulai menyantap omelet dengan tenang. Tekstur lembut telur berpadu dengan keju yang meleleh di dalamnya, memberikan rasa gurih yang pas. Tak lupa, di sampingnya ada secangkir cokelat panas yang mengepul hangat.
Saat Mary menyeruput minuman favoritnya, ponselnya bergetar di atas meja. Mary melirik layar dan melihat nama sahabatnya, Zera, muncul di layar. Dia tersenyum simpul lalu mengangkat panggilan itu.
"Halo, Zera," sapa Mary sambil meletakkan cangkirnya.
"Mary! Kamu udah siap? Hari ini kan wawancaramu di JM Corp?" Suara Zera terdengar penuh semangat di seberang telepon.
Mary tersenyum, merasa terhibur dengan antusiasme sahabatnya.
"Iya, aku sudah siap. Lagi sarapan sekarang."
"Bagus! Jangan sampai kamu telat ya. Sudah ada taksi online yang menunggu?"
Mary melirik jam dinding. Masih ada waktu sebelum dia harus berangkat.
"Aku bakal pesan dalam lima menit lagi. Aku gak mau buru-buru dan malah lupa sesuatu."
"Benar! Jaga fokus, ya! Kamu pasti bisa. Oh ya, nanti jangan lupa kasi kabar setelah wawancaranya selesai!"
Mary tertawa pelan.
"He-he-he! Pasti, Zera. Doakan aku ya!"
"Tentu! Good luck, Mary!"
Setelah panggilan berakhir, Mary pun menyelesaikan sarapannya, kemudian meraih tisu untuk membersihkan bibirnya. Dia pun berdiri dan membawa cangkir ke wastafel, mencucinya dengan cepat.
Setelah memastikan dapurnya tetap rapi, Mary beranjak ke meja di dekat pintu masuk dan mengambil tas tangan hitam miliknya. Dia membuka tasnya sekali lagi untuk mengecek isinya, CV, portofolio, pulpen, dan dompet, semua sudah lengkap.
"Tidak boleh ada yang ketinggalan," pikirnya.
Zera pun menghela napas dalam-dalam sebelum akhirnya berjalan keluar dari unit apartemennya. Saat menutup pintu, dia lalu mengecek ponselnya dan segera memesan taksi online.
"Taksi akan tiba dalam tiga menit." Demikian notifikasi dari aplikasi berbunyi.
Mary kemudian melangkah menuju lift yang akan membawanya ke lobi apartemen. Saat dia menekan tombol turun, pintu lift terbuka dan seorang pria berjas abu-abu yang tampaknya baru saja kembali dari luar tersenyum sopan padanya.
"Silakan duluan," ucap pria itu dengan ramah, memberi isyarat agar Mary masuk lebih dulu.
Mary mengangguk sopan. "Terima kasih."
Mereka berdiri berdampingan dalam diam saat lift turun. Mary merasa sedikit gugup, sehingga dia menggenggam tali tasnya dengan erat.
Saat pintu lift terbuka di lantai dasar, Mary melangkah keluar menuju lobi. Matanya segera mencari taksi online yang dipesannya. Sebuah mobil hitam dengan logo aplikasi terparkir di depan pintu masuk.
Mary berjalan menuju mobil, memastikan plat nomornya sesuai dengan yang tertera di aplikasi. Setelah yakin, diapun membuka pintu dan masuk ke dalam.
"Selamat pagi, dengan Mbak Mary?" tanya sopir, memastikan identitasnya.
Mary mengangguk sambil tersenyum.
"Ya, betul. Pagi, Pak."
"Tujuan kita ke JM Corp, ya?"
"Iya, benar," jawab Mary sambil memasang sabuk pengaman.
Sopir itu mengangguk dan mulai menjalankan mobil. Mary menatap keluar jendela, melihat gedung-gedung tinggi Jakarta yang mulai sibuk di pagi hari. Matanya sedikit menerawang, membayangkan bagaimana wawancara nanti akan berlangsung.
"Aku harus tenang. Aku sudah mempersiapkan semuanya. Aku bisa melakukannya."
Tak terasa, perjalanan menuju JM Corp telah dimulai. Hari yang baru membawa harapan dan tantangan baru untuk Mary Violet.
Sementara itu di apartemen tadi,
Christian menatap punggung gadis yang baru saja keluar dari lift dengan langkah anggun. Sosoknya tampak anggun dan elegan dalam blazer hitam dan rok selutut, sementara rambut hitam panjangnya tergerai rapi. Gadis itu berjalan lurus menuju pintu lobi, tampak terburu-buru.
Christian mengernyit. Ada sesuatu yang terasa akrab darinya. Tiba-tiba, seperti kilatan petir di benaknya, ingatan lama mulai muncul kembali.
"Tunggu dulu, bukankah gadis itu, Mary?" bisiknya pelan.
Darahnya tiba-tiba berdesir. Gadis yang baru saja ditemuinya di lift adalah Mary Violet, adik kelasnya di SMA Cipta Nusantara dulu. Perasaan terkejut, kagum, dan tak percaya bercampur jadi satu.
"Sial! Kenapa aku tidak mengenalinya tadi?" gumamnya dengan frustrasi.
Tanpa berpikir panjang, Christian berlari kecil keluar dari lift, matanya mencari sosok Mary di lobi. Namun, begitu dia sampai di pintu utama, pria itu hanya melihat pintu mobil hitam tertutup dan kendaraan itu melaju pergi. Mary sudah pergi.
"Ah, sial!" Christian merutuk pelan.
Dia pun berdiri di depan pintu kaca lobi, menatap mobil yang semakin menjauh di tengah hiruk-pikuk pagi di Kota Jakarta.
Perasaannya campur aduk. Sejak SMA, Christian memang sudah memendam perasaan kepada Mary, tapi saat itu mereka tidak terlalu dekat. Mary adalah gadis cerdas, manis, dan selalu terlihat ceria, sementara Christian yang saat itu menjadi salah satu atlet basket sekolah, hanya bisa mengaguminya dari jauh.
Kini, bertahun-tahun kemudian, takdir mempertemukan mereka kembali, di gedung apartemen yang sama. Senyum tipis muncul mulai di wajahnya.
"Jadi Mary tinggal di sini juga?" pikirnya dengan penuh semangat.
Meskipun mereka berpisah di masa SMA tanpa pernah benar-benar berbicara akrab, perasaannya tak pernah berubah. Melihat Mary lagi hari ini, mengenakan pakaian formal dengan aura dewasa dan profesional, membuatnya semakin terpesona.
Christian menghela napas dan melirik jam tangannya. Dia harus segera berangkat ke kantor, tapi pikirannya masih dipenuhi bayangan Mary.
"Aku harus mencari tahu di unit mana dia tinggal," gumamnya dalam hati.
Dengan langkah santai, Christian berjalan ke arah parkiran bawah tanah apartemen. Dia pun menekan tombol kunci mobilnya, dan lampu sedan BMW hitamnya berkedip, memberi tanda bahwa mobilnya telah terbuka.
Saat masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesin, pikirannya kembali melayang ke saat-saat SMA dulu.
Christian masih ingat pertama kali melihat Mary di koridor sekolah, dengan seragam putih abu-abu yang rapi dan rambut dikuncir setengah. Mary selalu membawa buku tebal di tangannya, terlihat pintar dan serius, tapi saat tersenyum, dia bisa membuat siapa pun terpesona.
"Dulu aku hanya bisa melihatnya dari jauh. Sekarang, dia tinggal satu apartemen denganku."
Pagi yang cerah menyambutnya saat mobilnya meluncur keluar dari basement apartemen, memasuki jalanan Kota Jakarta yang mulai ramai. Langit biru dengan sinar matahari keemasan memberikan kesan hangat, tapi yang benar-benar membuat hatinya terasa hangat adalah bayangan Mary.
"Apa dia sudah punya seseorang?" pikir Christian tiba-tiba.
Tangan kirinya menggenggam setir lebih erat.
Jika Mary masih sendiri, mungkin ini adalah kesempatan kedua baginya. Dulu, Christian tidak berani mendekati Mary karena merasa mereka berasal dari dunia yang berbeda. Tapi sekarang, keduanya sudah dewasa, sudah memasuki dunia kerja, dan mulai kembali dari awal bukanlah hal yang mustahil.
Tiba-tiba, suara dering ponselnya memecah lamunannya. Christian menekan tombol di kemudi, mengaktifkan fitur hands-free.
"Halo?"
"Christian, Lo udah jalan ke kantor?" suara rekannya, Brian, terdengar di speaker.
"Iya, lagi di jalan. Kenapa?"
"Jangan lupa, hari ini meeting jam sembilan sama klien dari Jepang. Lo jangan telat!"
Christian melirik jam di dashboard. Masih ada cukup waktu.
"Tenang aja, gue gak bakal telat," jawabnya santai.
"Okay, gue cuma ingetin. Btw, suara Lo kok kayak orang habis mimpi indah. Ada apa?"
Christian terkekeh.
"He-he-he. Ini bukan mimpi, tapi gue ketemu seseorang yang gak pernah gue duga akan ketemu lagi."
"Siapa?"
"Adik kelas gue dulu di SMA Cipta Nusantara."
"Oh? Yang mana?"
"Mary Violet."
Hening sejenak di telepon sebelum Brian berseru, "Serius? Lo masih ada rasa sama dia, kan?"
Christian hanya tersenyum tipis.
"Mungkin."
Brian tertawa.
"Ha-ha-ha. Wah, ini menarik! Lo ketemu dia di mana?"
"Di apartemen gue. Ternyata dia tinggal di gedung yang sama."
"Wah! Itu pertanda baik, Bro! Lo harus cari tahu lebih banyak tentang dia."
Christian mengangguk, meskipun Brian tidak bisa melihatnya.
"Gue juga berpikir begitu."
"Good luck, Man! Jangan sia-siakan kesempatan ini. Gue tunggu cerita lengkapnya nanti di kantor!"
"Pasti," jawab Christian sebelum menutup panggilan.
Saat mobilnya melaju di antara deretan gedung pencakar langit Jakarta, Christian merasa lebih bersemangat dari sebelumnya.
Hari ini mungkin adalah hari biasa bagi sebagian orang, tapi bagi Christian, ini adalah awal dari sesuatu yang baru dan menjanjikan.
Pria itu menatap lurus ke depan, tapi dalam hatinya, hanya ada satu hal yang ingin dia lakukan, mencari tahu lebih banyak tentang Mary Violet.
