Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 3: Mantan Pacar Menggoda

Airmata Diana hampir saja luruh, jika Tian tidak menyentuh tangannya.

“Ma? Kakak udah selesai sarapannya.” Sang putri sulungnya menatap dengan wajah polos.

“Oh, udah selesai ya, Sayang. Pinter anak mama.” Diana membantu mengusap mulut Tian dengan tisu. “Ayo, Kevin, cepatan habisin makanannya, Nak.” Diana mengalihkan perhatian pada anak keduanya. Ia berusaha menghilangkan rasa sedih atas sikap sang suami dengan sibuk mempersiapkan keperluan sekolah kedua anaknya. Pekerjaan rutin yang ia lakukan setiap hari. Mengantar dan menjemput kedua anaknya itu sekolah.

Tidak ada sopir pribadi di rumah mereka. Suaminya bilang, anak-anak itu lebih aman kalau diantar oleh salah satu orang tuanya. Diana pun dengan senang hati melakukannya, karena ia tidak punya kegiatan lain selain mengawasi keempat anak-anak mereka. Apalagi ada dua orang babysitter yang membantu mengurus semua anak-anaknya. Untuk urusan mengurus rumah juga ada Tuti--Asisten Rumah Tangganya. Hidup yang sudah sempurna sebenarnya. Namun, hanya satu yang kurang, yaitu waktu dan perhatian dari suaminya.

***

Denny melambaikan tangannya begitu melihat Diana yang berjalan masuk ke dalam kafe. Wanita itu terlihat sangat menawan dengan rambut panjangnya yang diwarnai kecoklatan. Kacamata lebar berlensa coklat menghiasi wajah cantiknya yang putih bersih. Siapa yang menyangka di tubuh ramping itu pernah melahirkan empat orang anak.

“Sorry, Den. Nidurin anak-anak dulu, repot kalau harus membawa mereka,” ucap Diana seraya duduk di kursi kafe paling pojok yang dipilih Denny.

“Gak apa-apa, aku juga baru tiba kok,” balas Denny sambil tersenyum tipis. Padahal ia sudah satu jam menunggu di kafe itu.

“Kamu mau makan apa, Diana?” Denny menyodorkan buku menu makanan ke hadapan Diana.

“Aku pesan minuman aja deh, barusan habis makan di rumah.” Diana mengedarkan pandangan ke penjuru kafe. Ia berharap semoga saja tidak ada orang yang mengenalnya.

“Jus alpukat?” suara Denny membuat wanita cantik itu kembali menatap pria yang duduk di hadapannya.

“Kamu masih aja ingat sama minuman kesukaanku.” Diana tersenyum lebar memamerkan gigi putihnya yang tersusun rapi, membuat Denny diam-diam menelan saliva.

“Iya, dong. Aku mengingat semua kesukaanmu, semua yang ada padamu.” Denny menatap tajam mantan pacarnya itu.

Diana memalingkan wajahnya ke arah lain dengan rasa bersalah. Ia tidak menyangka Denny masih mengingat semua tentang dirinya, padahal sudah tujuh tahun berlalu.

“Kamu kerja di mana sekarang, Den?” Diana mengalihkan pembicaraan.

“Di perusahaan leasing mobil,” jawab Denny singkat.

“Terus di sini kamu sendirian?”

“Iya.”

“Kenapa kamu belum menikah juga sih, Den?” tanya Diana penasaran.

“Karena aku masih menunggumu, Diana,” jawab Denny mengagetkan Diana.

“Ih, kamu mendoakan aku menjadi janda, ya?” Diana tertawa geli mendengar ucapan Denny. “Bisa aja kamu bercanda, Den.”

“Aku serius, Diana. Meski terdengar jahat, aku memang berharap kamu berpisah dari suamimu.” Ucapan Denny membuat Diana tertegun. Apalagi kemudian tak disangka Diana, mantan pacarnya itu meraih tangannya yang diletakkan di meja. Mata Diana membelalak begitu Denny tangannya. Bibir kenyal laki-laki itu terasa hangat menyentuh ujung jemarinya.

“Kamu apa-apaan sih, Den? Ntar kalau ada kenalanku yang melihat, gimana?” Diana menarik dengan cepat tangannya yang masih dalam genggaman tangan kekar pria masa lalunya itu.

“Maaf, Diana. Aku tidak bisa menahannya, jangan marah, ya?”

“Hm … jadi apa maksudmu mengajakku datang ke sini, Den? Aku gak bisa lama-lama. Sebentar lagi anak-anakku segera bangun tidur. Mereka pasti akan nyariin aku.” Diana melihat jam tangan yang melingkar di tangan mulusnya.

“Gak ada maksud apa-apa, Diana. Aku masih kangen saja sama kamu. Kemarin sore kita cuma bertemu sebentar. Aku masih ingin mengobrol denganmu.”

“Tapi, next, kita tidak baik bertemu seperti ini lagi, Den. Aku adalah istri seseorang dan ibu dari empat orang anak,” ucap Diana tegas.

“Aku melihatmu tidak bahagia, Diana,” ujar Denny dengan berani.

“Ngawur kamu, Den. Itu tidak benar. Aku bahagia, kok. Buktinya anak-anakku banyak.” Diana membantah sambil berdiri dari duduknya.

“Itu bukan jaminan, Diana,” jawab Denny bersikukuh.

“Aku pulang dulu! Terima kasih atas minumannya. Tolong jangan menghubungiku lagi, Denny.” Diana bersiap ingin berlalu ketika didengarnya laki-laki dihadapannya bicara, “jika kamu butuh seseorang, jangan lupa menghubungi aku, Diana. Aku selalu ada untukmu.”

Diana terpaku sejenak menatap pria berdagu belah yang ada di hadapannya itu. Ia menghela napas panjang melihat kegigihan mantan pacarnya yang sejak dulu masih saja menjadi budak cinta untuk dirinya. Tanpa bicara apa-apa lagi, Diana melenggang pergi dari hadapan Denny yang masih menatapnya tak berkedip.

***

“Diana, aku belum bisa pulang ke Samarinda, ya? masih ada yang perlu diurus di Berau.”

“Duh … belum kelar juga ya, Mas? Ini sudah lebih dari seminggu, lho?” rengek Diana begitu menerima panggilan dari suaminya.

“Kamu harus terbiasa, Diana. Kalau proyek di Berau ini deal, kita akan sering berpisah seperti ini.”

“Astagaa, aku ikut ke Berau kalau begitu. Gak mau aku jauh-jauh kayak gini,” balas Diana keras kepala.

“Ah, kamu kayak anak kecil aja! Oh, ya, anak-anak gimana? Sehat ‘kan?”

“Anak-anak semua sehat, aku yang gak sehat,” keluh Diana.

“Kamu sakit apa? Udah ke dokter belum?”

“Sakit rindu! Memangnya ada dokter jual obatnya.” Diana mendengar Reynaldi terbahak di seberang sana.

“Sabar … kamu cari kegiatan apa lah, biar gak pikirin rindu terus. Udah ya, ini mau ketemuan sama orang, nih.”

Diana belum menjawab apa-apa ketika suaminya sudah langsung memutuskan panggilannya.

“Mas Rey kebiasaan, orang belum selesai ngomong udah main putusin aja,” gumam Diana dengan wajah cemberut.

“Hari libur begini enaknya kemana, ya? Masa akhir pekan mau rebahan di rumah aja,” pikir Diana sembari membuka layar ponselnya. Aplikasi hijaunya sudah terlihat banyak chat yang belum dibukanya.

“Denny ngapain lagi sih! Masih aja miscall dan ngirim WA. Udah dibilangin juga, jangan berharap lebih jauh lagi.” Diana mengomel dalam hati begitu melihat banyak pesan dari sang mantan pacar.

Diana mengabaikan saja tanpa membaca atau membalas pesan dari Denny. Ia kemudian malah tertarik dengan pesan Riska--teman akrabnya ketika masih kuliah dulu. Ia segera menghubungi ponsel temannya itu.

“Diana, datang ya, ke acara reuni kampus kita ntar malam.”

“Jam berapa acaranya, Ris? Duh, kok malam Minggu, sih? Bukannya besok siang aja hari Minggu,” balas Diana.

“Gak apa-apalah, Diana, ‘kan membawa pasangan ini. Ya, ajak lho, suami gantengmu.”

“Nah, itu dia. Mas Rey masih di Berau, belum pulang,” keluh Diana.

“Hm … apa kamu mau aku samperin ntar malam?”

“Aku gak usah ikut aja ya, Ris? Males banget ntar cuma jadi nyamuk kamu dan suamimu,” ujar Diana tiba-tiba. Padahal ia sebenarnya sangat ingin ikut di acara reuni yang sudah diadakan selama dua tahun terakhir ini. Untung Reynaldi mau menemaninya setiap acara itu dilaksanakan. Hanya kali ini saja sang suami tidak bisa menemani.

“Yah, ikut dong? Gak seru kalau primadona kampus kita dulu tidak hadir, hahaha.”

“Bisa aja kamu ngerayu, Ris. Ya, udah, ntar aku usahain datang deh, gak usah dijemput! Aku bawa mobil sendiri aja,” putus Diana dengan senyum di wajahnya. Ia sudah membayangkan serunya bertemu dengan teman-teman lamanya. Ia tidak bisa melewatkan begitu saja. Suara riang Riska di seberang sana juga membuat Diana semakin bersemangat.

***

Diana menghubungi berkali-kali nomor ponsel suaminya, tapi hanya nyanyian suara Judika yang terus terdengar. Akhirnya dengan kesal ia mengirim pesan, meminta izin kepada sang suami, bahwa ia akan pergi ke acara reuni kampusnya.

“Bodolah, kalau nanti Mas Rey marah. Salah sendiri itu Hp gak diangkat,” gerutu Diana sembari mengambil kunci mobil di meja riasnya.

Sekitar setengah jam di perjalanan, Diana tiba di lokasi acara yang diadakan di Hotel Aston Samarinda. Ia langsung menuju ruangan yang sudah dipesan panitia.

Suara musik langsung terdengar ketika ia masuk ke ruangan itu. Langkahnya terhenti sejenak di depan pintu yang sudah tertutup kembali. Mata indahnya memindai seluruh ruangan yang sudah ramai oleh teman-teman seangkatannya semasa kuliah dulu.

“Akhirnya kamu datang, Diana, setelah tidak membaca pesan-pesanku samasekali,” sambut seseorang yang tiba-tiba sudah berada di sisinya.

Diana cukup kaget melihat Denny yang sudah berdiri di sampingnya. Ia benar-benar tidak menyadarinya. Diana mengamati sosok beralis tebal dengan sorot mata tajam bak elang mengincar mangsa. Bibir tipis merah dan seksi. Rahang kokoh serta tegas. Juga satu lagi yang mungkin membuat semua wanita ingin melemparkan diri ke pelukan badan tinggi tegap dan gagah itu, wajahnya yang tampan mempesona. Mata keduanya bersobok, saling mengunci.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel