Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Bab 2: Budak Cinta

“Iya, Den.” Diana menjawab sedikit tersipu malu karena kepergok Denny ternyata ia terlalu subur.

“Hm ... produktif sekali, ya?” gumam Denny. Diana mendengarnya, membuat ia semakin malu.

“Mama? Tian lapar,” rengek gadis ciliknya.

“Kevin mau makan pizza, Ma!” teriak Kevin tak mau kalah dari sang kakak.

“Iya, ya, Sayang. Ayuk, kita makan pizza.” Diana menenangkan kedua anaknya sembari menggandeng tangan mereka.

“Den, aku pamit dulu ya, mau ajak anak-anak makan siang dulu,” ucap Diana kepada pria yang masih berdiri bengong.

“Oh, hm … Diana, boleh aku yang traktir kalian makan pizza?” tanya Denny penuh harap, meski masih ada kekesalan di hatinya terhadap Diana, tapi rasa ingin tahu tentang kehidupan mantan pacarnya itu cukup besar.

“Rame begini, Den?” Diana tertawa kecil.

“Gak apa-apa, gak bakalan bikin aku bangkrut, kok,” jawab Denny ikut tertawa.

“Ya, udah, ayuk.” Diana langsung berjalan bersama kedua anaknya. Diikuti oleh kedua babysitter yang mendorong trolly bayi.

“Suamimu kok gak ikut nemenin, Diana?” tanya Denny yang duduk di hadapan sang mantan begitu mereka tiba di restoran pizza.

“Lagi mancing dia,” jawab Diana santai. Ia sibuk menyuapi Kellan yang duduk di kursi khusus anak-anak.

Tian dan Kevin yang sudah bisa makan sendiri duduk bersama kedua babysitter di meja sebelah mereka. Sang adik bayi masih tertidur pulas di trolly-nya.

“Kamu bahagia menikah dengan laki-laki itu, Diana?” tanya Denny pelan. Matanya tiada lepas menatap wanita yang namanya masih awet di hatinya, meski sudah tak terhitung entah berapa orang wanita cantik yang sudah dipacari dan dikencaninya selama tujuh tahun terakhir ini. Wanita-wanita itu hanya sekedar mampir mengisi kekosongan hatinya setelah ditinggal kawin oleh Diana, cinta pertamanya.

Diana menatap Denny sejenak, ia tak menjawab, malah kemudian kembali asyik menyuapi anaknya. Sesekali potongan pizza itu juga masuk ke mulutnya. Tidak luput dari perhatian Denny yang lebih tertarik memperhatikan Diana daripada menghabiskan potongan pizza di piringnya.

“Aku langsung pulang dulu ya, Den. Anak-anak udah pada ngantuk, nih.” Diana langsung pamit begitu makanan mereka sudah habis semua.

“Aku antar, ya?” Denny masih berat melepas Diana pergi. Ia masih menyimpan rindu yang mendalam untuk wanita cantik di hadapannya itu.

“Gak usah deh, tadi aku bawa mobil sendiri. Makasih ya, Den, atas makan siangnya.” Kali ini Diana yang duluan mengajak bersalaman.

“Sebentar, tolong tulis nomor Hp-mu dulu.” Denny malah menyodorkan ponselnya ke tangan Diana.

Diana menatap ragu benda pipih yang berpindah ke tangannya. Namun, nomor ponselnya tetap diketik, lalu diserahkan kembali ke pemiliknya.

Kemudian terdengar suara nyanyian sang juara Indonesian Idol yang lagunya sangat disukai Diana. Itu suara dering ponsel Diana dari dalam tas selempang miliknya.

“Itu nomorku.” Denny mematikan ponselnya, lalu menyodorkan tangannya untuk bersalaman. “Hati-hati di jalan,” ujarnya lagi sambil menggengam erat tangan halusnya Diana. Senyum di wajah tampannya tampak sangat mempesona.

Diana menganggukkan kepalanya dengan rasa haru, melihat perhatian kecil dari Denny, mantan pacar yang begitu menggilainya dulu.

***

Diana baru saja akan merebahkan tubuhnya di pembaringan berukuran besar yang ada dalam kamarnya, ketika ponselnya di atas nakas berbunyi. Dilihatnya jam dinding sudah menunjukkan pukul sepuluh malam.

“Mungkin Mas Rey yang telpon,” pikir Diana buru-buru mengambil ponselnya.

Namun, ternyata itu panggilan dari Denny, sang mantan yang siang tadi ditemuinya di mall.

“Hallo ... ada apa telpon malam-malam, Den?" tanya Diana pelan.

“Iseng aja! Hm ... aku tebak pasti suamimu belum pulang, 'kan?”

“Kok, kamu tahu?” tanya Diana seperti orang bodoh.

“Ya, tahulah. Kalau ada suamimu, mana berani kamu mengangkat teleponku, iya, 'kan?”

“Kamu mau apa, Den? Mau terus mengejekku?” tanya Diana ketus ketika terdengar Denny tertawa geli.

“Maaf, Diana. Aku tidak bermaksud begitu, aku hanya ingin ngajak kamu bertemu lagi besok siang, bisa 'kan?”

“Buat apa, Den? Aku tuh udah istri orang dan sudah punya banyak anak. Kenapa kamu masih mau menemuiku?”

“Karena aku tahu, kamu gak bahagia, Diana.”

“Siapa bilang? Aku bahagia, kok!”

“Jangan bohong! Aku sangat mengenal dirimu. Dua tahun lamanya kita dulu pacaran, sebelum kamu pergi dengan laki-laki itu.”

“Denny! Itu sudah masa lalu. Untuk apa diungkit lagi!”

“Aku tidak pernah bisa melupakan hal itu.”

“Eh, Den, udah dulu, ya? Sepertinya suamiku pulang.” Diana ingin memutus pembicaraan mereka begitu didengarnya pintu kamar dibuka dari luar.

“Ok, pokoknya besok jam satu siang, aku tunggu kamu di kafe depan pintu masuk mall tadi.”

Denny langsung menutup pembicaraan mereka sebelum Diana sempat menjawabnya. Bersamaan dengan pintu kamar yang terbuka.

Diana buru-buru menyelipkan ponselnya ke bawah bantal di samping ia duduk.

“Kok belum tidur?” tanya Reynaldi yang melihat sang istri masih duduk di ranjang mereka.

“Nungguin kamu, Mas. Kok mancing ikan sampe malam begini. Cantik gak ikannya?” sindir Diana dengan hati cemburu. Jangan-jangan suaminya bukan memancing ikan, tapi memancing wanita cantik.

“Ngawur kamu! Udah, tidur aja duluan. Aku mau mandi dulu.” Reynaldy langsung menuju kamar mandi.

Diana menatap punggung suaminya dengan mulut seksinya maju dua senti.

“Mas ....” Diana meraba dada kekar sang suami yang baru merebahkan diri di sampingnya setelah selesai mandi.

“Aku lelah, mau tidur dulu! Besok pagi aja mainnya.” Reynaldi membalikkan tubuh, memunggungi sang istri.

“Huh! Siapa juga yang mau ngajak main,” gerutu Diana yang kemudian ikut membalikkan tubuhnya, memunggungi sang suami.

Rey tersenyum samar mendengar gerutuan sang istri dengan mata yang terpejam. Tidak lama kemudian terdengar dengkuran halusnya.

Diana tidak bisa terlelap, malah bayangan wajah Denny yang semakin tampan dan keren hadir di pelupuk matanya, membuatnya terus mengingat laki-laki yang ditinggalkannya begitu saja dulu karena terpikat oleh Reynaldi yang lebih dewasa dan mapan.

“Apa besok aku temui aja si Denny di mall, ya? Aku harus bilang padanya langsung, agar jangan menghubungi aku lagi. Ntar, kalau Mas Rey tahu, bisa berabe jadinya,” pikir Diana resah.

Tangan Reynaldi yang tiba-tiba memeluknya dari belakang, membuat Diana sadar dari memikirkan sang mantan pacar. Ia membalikkan tubuh menghadap suaminya. Ujung jemarinya mengusap halus garis wajah tampan dengan cambang tipis yang tercukur rapi.

Wajah Reynaldi tampak tenang dengan dengkuran yang halus. Tangannya masih memeluk tubuh Diana dengan erat. Diana tersenyum getir. Hanya dalam kondisi tidak sadar, Rey akan melakukan hal romantis itu terhadap tubuh langsing miliknya.

“Mungkin kau pikir aku hanya sebuah guling, Mas,” bisik Diana sembari menyembunyikan wajahnya di dada sang suami, memeluk lelaki tercintanya. Tidak lama kemudian ia pun tertidur pulas.

***

“Aku siang ini mau ke Berau, mungkin sekitar seminggu. Ada teman yang ngajak nambang di sana,” ujar Reynaldy saat sarapan pagi bersama istri dan kedua anaknya yang akan berangkat sekolah. Tian dan Kevin yang masih di taman kanak-kanak.

“Lama banget seminggu, Mas. Aku pasti akan sangat merindukanmu nanti.” Diana menatap suaminya dengan netra yang tiba-tiba mengembun. Ia memang tidak pernah menutupi perasaannya terhadap sang suami selama ini.

“Ah, kamu kayak ABG aja, masa udah tujuh tahun berlalu masih juga rindu-rinduan.” Reynaldi tertawa geli melihat istrinya yang sejak awal mereka menikah sangat terobsesi padanya. Bahkan hampir tiap hari istri cantiknya itu meminta jatah batin padanya, gak ada bosan-bosannya. Kadang Rey heran dengan kecanduan istrinya yang tidak berubah sejak awal mereka menikah.

“Jadi, Mas gak pernah merasa rindu sama aku ya, saat berjauhan?” Diana bertanya dengan sedih. Meski suaminya sering pergi ke luar kota, tapi hanya dua-tiga hari saja. Ia pasti akan sangat merindukan suaminya itu nanti, meskipun selama berada di rumah pun, Rey juga tidak terlalu memperhatikannya. Laki-laki itu hanya sibuk dengan rokok dan ponselnya di teras rumah mereka hingga tengah malam.

“Duh, males deh, pagi-pagi udah bahas hal yang gak penting kayak gini. Diana-Diana, udah anak empat juga, kok, masih membahas cinta dan rindu. Udah, sana! Anterin Tian sama Kevin! Ntar telat lagi sekolahnya.” Reynaldi tanpa peduli dengan perasaan istrinya, membawa gelas kopinya ke teras. Ia pasti akan merokok lagi di sana sebelum berangkat.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel