Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Susan Part 2

Seperti halnya kemarin, hari ini pun aku merasakan ketidaknyamanan belajar di sekolah ini, teman-teman sekelasku tidak ada satu pun yang mengajakku bicara seakan-akan aku ini tidak terlihat di mata mereka. Ingin sekali aku berteriak sekencang-kencangnya dan mengeluarkan kekesalan ini agar mereka menyadari kehadiranku. Namun, tentu saja aku mengurungkan niat itu karena tidak mungkin aku melakukannya di tengah-tengah suasana hening karena kini kegiatan belajar sedang berlangsung. Ada seorang guru yang sedang memberikan materi pelajaran.

Dua jam pelajaran terasa begitu lama bagiku. Padahal, ketika belajar di sekolah yang lama, setiap hari ku lalui dengan sangat menyenangkan. Di sekolah lama, aku begitu dekat dengan teman-teman sekelas, hingga rasanya betah berada di sekolah. Berbeda sekali dengan sekolah baruku ini. Baru dua jam saja berada di sini, aku sudah merasa tidak betah dan ingin cepat-cepat pulang.

Sang guru keluar dari kelas setelah bel tanda istirahat, berbunyi. Aku menghela napas, lega rasanya.

"Hei, kau. Kenapa menghela napas begitu?"

Aku terkejut bukan main, ketika melihat tiga orang teman sekelasku sudah berdiri di depanku saat ini. Mereka semua perempuan dan mereka berdiri tepat di depanku yang sedang duduk di kursi. Mereka menatap tajam ke arahku dengan tangan terlipat di depan dada. Terkesan angkuh dan mengintimidasi.

Apa kau tidak suka berada di kelas ini?" salah satu dari mereka bertanya demikian. Aku mengernyitkan kening, tak paham arah pembicaraan ini.

"Ti-tidak kok."

"Jangan bohong. Sejak kedatanganmu kemarin, kami perhatikan kau sepertinya tidak menyukai kami." Gadis lain ikut memprovokasi. Aku mematung di tempat, tak tahu harus berbuat apa.

"Itu tidak benar. Aku ...."

"Dengar ya anak pindahan. Jangan berlagak di sini. Jangan memasang ekspresi menyebalkan seperti itu, kami semua sama sekali tidak menyukaimu. Akan kami pastikan kau tidak betah berada di kelas ini!"

Setelah mengatakan itu, mereka kembali duduk di kursi masing-masing. Aku mengerjap beberapa kali, masih berusaha mencerna kejadian yang baru saja aku alami. Aku tidak mengerti kenapa mereka memperlakukan aku seperti ini. Memangnya apa yang telah aku lakukan sehingga mereka tidak menyukaiku dan ingin mengusirku dari kelas ini?

***

Rupanya ancaman mereka bukan sekadar ancaman. Semenjak tiga orang itu mengancamku kemarin, mereka selalu mengerjai aku. Pernah mereka menaruh bekas permen karet di kursi, sehingga permen karet itu menempel di rokku. Butuh perjuangan keras untuk membersihkan noda permen karet itu.

Selain itu, mereka juga pernah menaruh ember berisi air kotor di atas pintu. Sehingga, ketika aku membuka pintu, ember jatuh dan membuatku basah kuyup. Semua penghuni kelas menertawakan aku dengan lantangnya. Terlihat begitu menikmati menyaksikan penderitaanku. Air itu sangat bau, aku tidak sanggup menciumnya sehingga aku memutuskan untuk pulang.

Aku tidak ingin dianggap lemah oleh mereka, itulah sebabnya aku tetap berangkat ke sekolah meskipun diliputi amarah yang sangat besar di hatiku.

Aku tidak ingin mengalami hal yang serupa seperti yang aku alami pada hari-hari sebelumnya sehingga kini aku selalu waspada. Sebelum membuka pintu kelas, aku selalu memeriksa terlebih dahulu, di atas pintu itu tidak tersimpan apa pun. Dan ketika aku ingin duduk di kursi, aku memeriksa kursinya dengan teliti, memastikan tidak ada benda apa pun yang menempel.

Hari ini, aku merasa damai karena tidak ada gangguan dari teman-teman sekelasku. Aku bisa konsentrasi menyimak pelajaran.

"Pak Zein!"

Salah seorang temanku yang bernama Tina, entah mengapa tiba-tiba memanggil Pak Zein yang tengah memberikan pelajaran. Hal itu membuat semua pasang mata menatap ke arah Tina.

"Ada apa, Tina?"

"Pak, dompet saya hilang."

Suara bisik-bisik seketika terdengar. Tak terkecuali aku, semua penghuni kelas ini tentunya terkejut mendengar kabar tersebut.

"Benarkah? Coba cari dulu. Mungkin terselip di tas atau kau lupa membawanya ke sekolah?" ucap, Pak Zein.

"Tidak, pak. Saya yakin membawanya ke sekolah karena tadi pagi dompetnya masih ada. Saya juga sudah mencarinya di dalam tas, tapi tidak ada."

"Sejak kau tiba di sekolah, ke mana saja kau pergi?" Pak Zein kembali bertanya.

"Tadi saya pergi ke toilet tapi tidak membawa dompet. Saya menyimpannya di dalam tas yang saya tinggalkan di kelas."

Pak Zein terdiam, seolah tengah menimbang-nimbang langkah apa yang harus diambil selanjutnya.

"Kalau begitu ... mohon kerja sama dari kalian, kita geledah tas kalian satu persatu."

Akhirnya keputusan itulah yang di ambil Pak Zein.

"BAIK, PAK!"

Secara serempak, aku dan semua teman sekelasku menyahuti perkataan Pak Zein.

Pak Zein memeriksa satu persatu tas kami. Sejauh ini dompet milik Tina tidak ditemukan di tas mana pun. Lalu, tibalah saatnya Pak Zein memeriksa tasku. Aku tidak merasa panik atau gugup karena yakin dompet itu tidak akan ditemukan di dalam tasku. Alasan aku bisa seyakin ini tentu saja karena bukan aku yang mengambil dompetnya.

"Tina, apa warna dompetmu?" tiba-tiba saja Pak Zein bertanya demikian.

"Warnanya pink pak." Sahut Tina.

"Apa ini dompetmu?"

Aku seketika terbelalak. Pak Zein mengambil sebuah dompet dari dalam tasku. Dompet berwarna pink seperti yang dikatakan oleh Tina.

"Iya benar. Itu dompet saya, Pak."

Pak Zein menatapku tajam dan berjalan mendekatiku.

"Kenapa dompet Tina bisa berada di dalam tasmu, Leslie?"

"Sa-saya juga tidak tahu pak kenapa dompet itu bisa berada di dalam tas saya." Jawabku panik sekaligus bingung. Kenapa dompet itu bisa ada di tasku?

"Jangan mengelak lagi, kau sudah tertangkap basah, akuilah perbuatanmu." Dengan tegas, Pak Zein berujar demikian seolah dia menuduh aku seorang pencuri.

"Iya benar, dasaar pencuri!"

"Pak, hukum saja dia!"

"Jika perlu usir saja dia dari sekolah, Pak. Kami tidak mau sekelas dengan pencuri!"

Sahut-sahutan itu pun terdengar dari seisi kelas. Aku benar-benar sakit hati mendengarnya. Aku yakin mereka sengaja melakukan ini, mereka sengaja menaruh dompet Tina di dalam tasku. Mereka melakukan ini dengan satu tujuan ... untuk membully dan mengusirku dari sekolah ini.

Pak Zein membawaku ke ruang guru dan menginterogasiku. Aku tetap mengatakan hal yang sama setiap kali Pak Zein bertanya, jawabanku tetaplah 'saya tidak tahu kenapa dompet itu bisa berada di dalam tas saya'. Pak Zein terlihat kesal mendengar jawabanku. Aku merasa tidak pernah mengambil dompet itu jadi berapa kali pun Pak Zein bertanya, jawabanku tetaplah sama. Aku mengira Pak Zein akan mengeluarkanku dari sekolah ini. Namun, kenyataannya dia hanya memarahi dan memperingatkanku jika aku mengulangi hal ini, maka pihak sekolah akan mengadukannya kepada orangtuaku.

Setelah berada cukup lama di ruang guru, akhirnya Pak Zein menyuruhku kembali ke kelas. Semua teman sekelas berbisik-bisik membicarakanku begitu melihat kedatanganku.

"Dasar pencuri tidak tahu malu. Padahal baru beberapa hari sekolah di sini, dia sudah berani mencuri."

"Iya, tidak tahu malu. Aku tidak sudi satu kelas dengannya."

"Iya, aku juga."

"Aku juga."

Habis sudah kesabaranku. Aku tidak sanggup lagi menahan amarah sehingga tanpa kusadari, aku berteriak sekencang-kencangnya.

"Sudah Cukup!"

Semua orang terdiam begitu mendengar teriakanku.

"Aku tahu semua ini sengaja kalian lakukan agar aku dikeluarkan dari sekolah ini, kan? Kalian mengaku saja!”

"Jangan asal menuduh ya, dasaar pencuri murahan!!!" mereka balas meneriakiku dengan umpatan kasar. Aku sudah membuka mulut untuk kembali membalas, namun ....

Teng ... Tong ... Teng ... Tong ...

Suara lonceng yang menandakan sekolah telah berakhir pun berbunyi. Semua orang membereskan alat tulis dan satu persatu dari mereka pergi begitu saja meninggalkan kelas. Aku melihat Tina masih membereskan alat tulisnya, aku sangat marah padanya hingga aku berjalan mendekatinya.

"Tina, kenapa kau melakukan ini? Kau kan yang sengaja menaruh dompetmu di tasku?"

"Hm, kalau benar, memangnya kenapa?"

Tina mengatakan itu sambil memelototiku.

"Kenapa kau melakukan ini padaku? Apa salahku?"

"Aku tidak menyukaimu, aku ingin kau pergi dari sekolah ini." katanya ketus sembari menunjuk wajahku dengan jari telunjuknya, sungguh tak sopan.

Tina telah selesai memasukan alat tulis ke dalam tas. Dia bangkit dari duduknya lantas mendorongku dengan keras hingga aku pun terjatuh.

"Jangan halangi jalanku! Dasaar pencuri murahan!"

Setelah mengatakan itu dengan suara teramat sinis, Tina pergi meninggalkan kelas. Satu persatu siswa pergi hingga tinggal aku seorang yang berada di dalam kelas. Aku melangkah gontai menuju kursi. Kini aku tak sanggup lagi menahan kesedihan, hingga perlahan air mata mulai turun.

"Jangan menangis! "

Aku tersentak ketika tiba-tiba mendengar sebuah suara dari arah belakang. Aku dengan cepat membalik badan dan menatap ke sumber suara itu. Tampak seorang gadis berambut panjang berdiri di hadapanku saat ini. Kulitnya sangat putih dengan wajah terlihat pucat. Kendati demikian, dia sangat cantik. Aku belum pernah melihat dia sebelumnya, tapi kenapa dia bisa berada di kelasku, padahal aku yakin tadi tidak ada siapa-siapa di sini selain aku?

"Ka-kau siapa?"

"Namaku Celia Muran. Aku salah satu siswa di kelas ini."

"Haah? benarkah? aku tidak pernah melihatmu sebelumnya padahal aku sudah hampir satu minggu sekolah di sini?"

"Aku memang jarang datang ke sekolah, kesehatanku buruk."

"Oooh begitu, pantas saja kau terlihat pucat." Ujarku sembari mengangguk berulang kali.

"Boleh aku duduk di sampingmu?"

"Tentu saja."

Celia menarik satu kursi dan meletakkan kursi itu di sebelahku, lalu dia pun duduk di sana.

"Kau siswa pindahan, kan? Siapa namamu?" tanyanya.

"Ooh iya, maaf aku lupa belum memperkenalkan diri. Namaku Leslie Felicia." Ku ulas senyum seramah mungkin untuknya, dan dia balas tersenyum tak kalah ramahnya.

"Sepertinya kau juga menjadi korban bully di kelas ini."

"Memangnya kau juga menjadi korban bully di kelas ini seperti aku?"

Celia menggeleng untuk menanggapi pertanyaanku.

"Aku tidak mengerti kenapa mereka tidak menyukaiku. Padahal aku berusaha bersikap seramah mungkin pada mereka."

"Sudahlah ... kau tidak perlu mempedulikan mereka." ekspresi wajah Celia terlihat santai saat mendengarkan keluh kesahku.

"Tapi, aku tidak nyaman diperlakukan seperti itu. Tidak ada satu orang pun yang mau menjadi temanku."

"Aku mau menjadi temanmu."

Aku tersentak mendengar sahutannya yang tiba-tiba ini. Meski tak dipungkiri betapa senang aku mendengarnya.

"Benarkah itu?" harus ku pastikan sekali lagi karena takut indera pendengaranku salah menangkap kata-katanya.

Celia mengangguk, menandakan bahwa aku memang tidak salah dengar. Dia sungguh ingin berteman denganku.

Spontan aku memeluk Celia seerat yang kubisa, ingin menunjukkan betapa senangnya aku karena dia mau berteman denganku. Saat itulah, aku mencium aroma wangi pada tubuhnya. Wangi yang benar-benar menyengat.

"Celia, parfummu wangi sekali."

"Apa kau menyukainya?" tanyanya disertai senyum.

"Hm ... wangi sekali." aku bergumam sembari menggosok hidung dengan punggung tangan.

Celia masih mempertahankan senyumnya. Ia memang ramah. Setelah ku perhatikan, sepertinya dia orang yang cukup pendiam.

"Sudah sore, waktunya pulang."

Aku yang tengah memperhatikan lekuk wajahnya yang tirus seketika mengerjap begitu dia kembali bersuara. Aku melirik lengan kiri di mana sebuah arloji kesayanganku melingkar di sana. Benar, tanpa terasa waktu sudah menunjukan sore hari.

"Iya, kau benar. Ayo kita pulang!"

Aku merangkul lengannya, mengajaknya bangun dari kursi. Lantas berjalan beriringan meninggalkan kelas.

"Besok kau akan datang ke sekolah, kan, Celia?"

"Tentu saja."

"Syukurlah kalau begitu." Helaan napas lega meluncur mulus dari bibirku.

Lama kami berjalan menelusuri lorong, hingga tiba-tiba dia menghentikan langkah, aku pun tanpa sadar ikut berhenti.

"Sampai jumpa besok, Leslie. Aku akan pergi ke arah sana."

Jari telunjuknya tertuju ke arah yang berlawanan denganku. Arah menuju gerbang belakang sekolah.

"Oooh, kau tidak lewat ke gerbang depan?"

Celia menggeleng perlahan.

"Baiklah kalau begitu. Sampai jumpa besok, Celia."

"Iya. Sampai jumpa besok, Leslie."

Kami melanjutkan langkah menuju tujuan masing-masing. Aku baru ingat telah melupakan sesuatu, lupa mengucapkan terima kasih karena dia mau menjadi teman pertamaku di sekolah ini.

Aku segera berbalik badan. Namun, aku mengernyit bingung saat aku tidak menemukan sosok Celia di mana pun. Bagaimana bisa dia berjalan secepat itu hingga lenyap dalam sekejap? Terheran-heran pada awalnya, aku memutuskan untuk tak memusingkan hal tersebut. Aku kembali berbalik lantas melanjutkan langkah meninggalkan sekolah.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel