Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Eric Part 3

Seperti yang telah aku dan Sean rencanakan, hari minggu ini kami akan menyelidiki penyebab hantu gentayangan di salah satu kamar Asrama pria. Aku tidak ingin berbohong pada penjaga Asrama karena itu aku mengatakan yang sejujurnya niatku untuk memasuki kamar itu. Tanpa ragu kukatakan tujuanku bahkan aku pun menceritakan tentang kemampuan anehku ini. Apakah penjaga Asrama itu percaya begitu saja dengan perkataanku? Tentu saja jawabannya tidak. Dia bahkan tak memberikan izin padaku dan Sean untuk mendatangi kamar itu meskipun aku sudah memohon berulang kali.

Sean sudah menyuruhku untuk menyerah tapi tentu saja aku tidak mungkin menyerah semudah itu. Hingga akhirnya aku tidak memiliki jalan lain selain meminta bantuan Angie. Ya, aku menelepon Angie dan kuceritakan semua yang terjadi. Angie memang sahabat baikku, dia selalu mendukung keputusanku dan melakukan apa pun untuk membantuku. Melalui telepon, Angie menceritakan semua tentangku pada penjaga Asrama. Angie bahkan meminta bantuan pada guru-guru lain di Grandes High school untuk menceritakan tentang kebenaran ucapanku. Tentang kebenaran bahwa aku seorang gadis indigo yang sanggup untuk melihat dan berkomunikasi dengan hantu. Berkat bantuan Angie dan guru-guru di Grandes High School, akhirnya penjaga Asrama itu mengizinkanku dan Sean untuk mendatangi kamar itu. Dia bahkan memberikan kunci kamar itu kepada kami.

Di sinilah kami sekarang. Aku sudah berada di dalam Asrama pria. Asrama ini tidak jauh berbeda dengan Asrama wanita. Namun, di sini sangat sepi, mungkin penyebabnya karena hari ini hari minggu sehingga semua orang memutuskan untuk pulang ke rumah mereka daripada menghabiskan waktu libur dengan sia-sia di Asrama.

“Leslie, kita ke kamarku sebentar, ya,” kata Sean yang membuat langkahku terhenti.

“Untuk apa?”

“Ada sesuatu yang ketinggalan,” ucapnya sambil tersenyum.

Hmmm ... aku ingat betul ketika di perpustakaan dia mengatakan tidak ingin mengajakku ke Asrama pria karena dia takut orang-orang berpikiran yang tidak-tidak tentang kami. Tapi sekarang? Dia justru mengajakku ke kamarnya. Bukankah pacarku ini sangat aneh? Ya, meskipun aku tidak memiliki pilihan lain selain mengikuti keinginannya. Aku tidak ingin penolakanku menimbulkan pertengkaran dengan Sean yang bisa saja membuat dia berubah pikiran dan tidak mau menemaniku lagi pergi ke kamar berhantu itu.

Sean membuka sebuah pintu yang tertempel angka 203 yang merupakan nomor kamarnya.

“Masuklah, Leslie.”

“Hm, iya.” Kulangkahkan kaki memasuki kamar Sean. Kamar itu tampak rapi mengingat ini kamar para pria. Tentu Sean tidak mungkin menempati kamar ini sendirian karena di Asrama wanita pun, satu kamar ditempati tiga orang. Aku pikir Asrama pria pun demikian. Kurasa yang kupikirkan memang benar jika dilihat dari tiga tempat tidur yang berada di kamar ini.

Aku cukup terkejut ketika menyadari ada seorang pria di kamar ini. Sudah pasti dia teman sekamar Sean, aku berharap dia tidak salahpaham padaku karena aku masuk ke kamar ini bersama Sean.

“Hei, Carl. Kau tidak pulang?” tanya Sean pada pria itu yang baru kuketahui bernama Carl. Carl mengabaikan pertanyaan Sean, dia menatap ke arahku. Setelah itu, dia pergi begitu saja tanpa menjawab pertanyaan Sean ataupun menyapa kami.

“Kenapa dengannya? Dia sombong sekali,” ujarku tentu saja setelah pria itu pergi dari kamar.

“Biarkan saja dia, dia memang seperti itu.”

“Dia itu teman sekamarmu, kan?”

“Iya.”

“Padahal sudah tiga bulan kalian tinggal satu kamar. Apa dia selalu mengabaikanmu seperti itu, Sean?”

“Begitulah. Mungkin dia membenciku. Aku rasa wajar saja jika dia membenciku.” Aku sama sekali tidak mengerti perkataan Sean, aku ingin menanyakannya tapi aku mengurungkan niat ketika dia mengajakku pergi dari kamar itu.

“Sebenarnya benda apa yang tadi ketinggalan?” tanyaku. Sean menjawabnya dengan memperlihatkan sebuah senter di tangannya.

“Mungkin lampu di kamar itu sudah mati, jadi untuk jaga-jaga kita harus membawa ini.” Aku hanya menganggukkan kepala menanggapi perkataannya. Langkah kaki kami pun kembali melangkah menuju kamar berhantu itu.

Kami menaiki sebuah tangga, rupanya kamar itu berada di lantai atas. Aku merasa merinding dan kedinginan ketika menginjakkan kaki di lantai 3 Asrama ini. Asrama ini memang terdiri dari 3 lantai. Rasa dingin semakin terasa ketika kami berjalan menyusuri sebuah lorong yang dipenuhi pintu kamar yang saling berhadap-hadapan.

Langkah kaki kami berhenti ketika kami berada di depan pintu yang tertempel angka 303. Seketika itu juga kurasakan sakit yang amat sangat di kepalaku. Hingga tanpa sadar aku memegangi kepalaku untuk menahan rasa sakitnya.

“Kau baik-baik saja, Leslie?” tanya Sean dengan panik.

“Ya, aku bisa merasakan keberadaan hantu di dalam kamar ini. Inikah kamar yang berhantu itu, Sean?”

“I-Iya. Apa kita urungkan saja niat untuk masuk ke dalam kamar ini? Kau terlihat kesakitan.”

“Tidak apa-apa, Sean. Ini salah satu tanda bahwa kamar ini memang ada hantunya. Cepat bukalah pintu itu, Sean.”

Meskipun Sean masih terlihat ragu, dia tetap mengikuti perkataanku. Dia memasukkan kunci pintu dan membukanya dengan perlahan.

Begitu pintu itu terbuka ...

Wuussshh ...

Aku merasakan angin berhembus dari dalam kamar dan bau aneh menyeruak memasuki hidungku. Hawa dingin membuat sekujur tubuhku terasa menggigil. Suasana gelap di dalam kamar itu menambah keseramannya.

“Kita masuk, Sean,” ajakku pada Sean. Aku melangkahkan kaki di depan Sean, Sean mengikutiku dari belakang. Akan tetapi ...

Sebelum Sean memasuki kamar, pintu itu tertutup dengan sendirinya. Aku mencoba membuka pintu tetapi percuma pintu itu seakan-akan terkunci. Aku bisa mendengar suara Sean yang menggedor-gedor pintu dari luar sana. Aku pun mendengar teriakannya memanggil namaku. Sedangkan aku ... aku tak mampu mengeluarkan suaraku. Seakan-akan sekujur tubuhku menjadi kaku, aku hanya mampu merasakan dengan jelas sosok seseorang di belakangku. Dengan sangat perlahan kubalik tubuh ke arah seseorang di belakangku.

Lalu ...

“Aaaaaaaaaaaa!”

Teriakan itu terlontar dengan sendirinya dari mulutku.

Sosok itu melayang karena kakinya tidak menapak pada lantai. Sosok itu memakai jubah berwarna hitam dengan kepala yang miring ke samping. Lidahnya menjulur keluar dan darah menetes dari mulutnya. Matanya berwarna merah dan tengah melotot ke arahku. Selain itu, ada lingkaran berwarna hitam pekat di kelopak matanya. Tubuhku semakin gemetaran ketika sosok itu melayang mendekatiku. Tubuhku terasa lemas hingga tanpa kusadari aku jatuh terduduk.

Sosok itu kini berdiri tepat di depanku dan secara perlahan dia mendekatkan wajahnya yang menyeramkan itu padaku. Mataku bertatapan dengan matanya yang melotot itu. Sensasi ini sudah tidak asing bagiku. Ya, aku tahu sosok itu akan memperlihatkan kenangannya padaku.

Sebuah pemandangan asing berada di depan mataku saat ini. Kutatap sekeliling dan sepertinya aku sedang berada di dalam sebuah kamar. Ada seseorang sedang duduk di depan meja belajar, aku pun mendekatinya. Kulihat seorang pria sedang serius belajar. Ketika kutatap wajahnya aku merasa mengenali wajah ini. Kurasa ini wajah dari sosok hantu yang sedang memperlihatkan kenangannya padaku. Siapa namanya? Aku ingin menanyakan namanya tapi tentu saja itu tak mungkin kulakukan karena di dunia kenangan ini aku tidak bisa berkomunikasi dengan siapa pun.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel