Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

Eric Part 2

Seperti janjiku pada Sean, aku akan menemaninya pergi ke perpustakaan sore ini. Karena itulah, sekarang aku sedang duduk di salah satu kursi di perpustakaan. Aku sedang sibuk memperhatikan Sean yang sedang mengerjakan tugas kuliahnya. Kebetulan aku sedang tidak memiliki tugas dan tak ada satu pun buku yang membuatku tertarik untuk membacanya karena itu kegiatanku sejak tadi hanyalah menatap ke arah pacarku yang terlihat sedang frustrasi dengan tugas kuliahnya yang cukup banyak. Sudah hampir satu jam aku dan Sean berada di perpustakaan ini. Melihat raut wajahnya itu, aku merasa kasihan padanya. Aku pikir tidak ada salahnya jika aku sedikit membantunya.

“Sean, apa ada yang bisa kubantu?”

“Hn ... tidak perlu. Aku masih bisa mengerjakannya sendiri,” jawabnya tanpa melihat ke arahku, tatapannya masih fokus pada buku-buku yang ada di depannya. Memang seperti ini, dia selalu memintaku menemaninya ketika dia mengerjakan tugasnya tanpa pernah sekali pun menerima tawaranku yang berbaik hati ingin membantunya. Jika aku lihat tugas-tugasnya, sepertinya mengambil jurusan hukum lebih sulit dibandingkan jurusan ekonomi yang kuambil. Ya, setidaknya begitulah menurutku jika aku melihat dari banyaknya tugas yang hampir setiap hari dikerjakan Sean. Bukan berarti aku tidak memiliki tugas, tentu aku memilikinya juga. Tapi tugasku tidak sebanyak tugas kuliah Sean.

“Kau tidak ada tugas, Leslie?” tanyanya yang membuatku tersentak dari lamunan.

“Ada, tapi sudah aku kerjakan semalam. Hari ini kebetulan aku tidak ada tugas.”

“Enak sekali, kau membuat iri saja,” katanya dengan tatapan mata yang tak sedikitpun menatap ke arahku. Dia masih sibuk menatap buku-bukunya.

“Tugasnya masih banyak?”

“Ya, dan sialnya besok harus sudah dikumpulkan.”

“Kau ini, ini salahmu sendiri. Sudah tahu banyak tugas kenapa tadi bermain basket? Kau selalu saja lebih mementingkan basket dibanding pelajaran.”

Sepertinya Sean terganggu dengan kata-kataku karena kini tatapannya beralih menatapku.

“Bukan begitu, fakultas ekonomi yang menantang kami bertanding. Tidak mungkin kami menolaknya.”

“Ya, ya, terserah kau. Menurutku, kau memang lebih mementingkan basket kok.” Dia menatap kesal padaku, aku mengabaikannya karena menurutku tidak ada yang salah dengan perkataanku ini. Cukup lama aku berpacaran dengannya jadi aku cukup mengenal kepribadiannya yang begitu mencintai olahraga basket itu.

“Waah, Leslie dan Sean juga sedang di sini, ya?” Sebuah suara terdengar dan sukses membuatku dan Sean menatap ke arah pemilik suara itu. Seorang gadis cantik dengan rambut yang hanya sebahu sedang berdiri di samping kami. Dia memegang beberapa buku di tangannya. Aku dan Sean sangat mengenalnya. Dia bernama Muggie Maxwel. Dia sepupu Sean sekaligus sahabat baikku di kampus ini. Aku satu fakultas dengannya, bukan hanya itu dia bahkan teman sekamarku di asrama.

“Buku apa itu?” tanyaku pada Muggie.

“Buku pelajaran, aku sedang belajar untuk kuis minggu depan. Apa kau juga sedang belajar bersama Sean di sini, Leslie?” tanyanya yang kujawab dengan gelengan kepala.

“Tidak, aku sedang menemani si maniak basket ini mengerjakan tugasnya,” jawabku sambil menatap malas ke arah Sean. Sean memasang wajah aneh menurutku, membuatku ingin tertawa melihatnya. Jelas dia tidak menyukai perkataanku.

“Hei, apa maksudnya maniak basket?”

“Kau kan memang maniak basket.”

“Enak saja, jangan bicara sembarangan.”

“Itu kenyataannya.” Aku terus beradu mulut dengan Sean tanpa kami sadari Muggie sedang menertawakan kami.

“Hahahaha ... kalian ini pasangan yang unik, ya? Aku juga terkejut melihatmu, Sean. Kau kan biasanya dingin dan kaku tapi ketika bersama leslie, kau berubah jadi seperti orang lain.” Semburat merah terlihat jelas di wajah Sean. Aku merasa yang dikatakan Muggie memang benar, pertama kali aku mengenalnya ketika di Grandes high School, dia memang sedikit kaku. Dia jarang bicara dan menurut Angie, dia sangat dingin pada wanita. Tapi aku senang karena kini dia sangat terbuka padaku. Setiap kali dia memiliki masalah pasti dia ceritakan padaku, tentu aku pun demikian.

“Jangan bicara yang aneh-aneh, Muggie,” ujar Sean masih dengan semburat merah di wajahnya.

“Oh, iya. Sean, apa rumor itu benar?”

“Rumor apa maksudmu, Muggie?”

“Rumor hantu di Asrama pria.” Aku sangat terkejut mendengar perkataan Muggie. Sean bahkan tidak menceritakan tentang rumor apa pun padaku.

“Memangnya ada rumor apa?’ tanyaku pada Muggie.

“Jadi Sean tidak memberitahumu?” Sekali lagi aku menjawab pertanyaannya dengan sebuah gelengan kepala.

“Hmmm ... maaf Leslie, aku juga tidak terlalu tahu tentang rumor itu. Lebih baik kau tanyakan saja pada Sean. Oh, iya. Maaf ya, aku kembali dulu ke mejaku. Leyna pasti sedang menungguku.” Tanpa menunggu persetujuanku, Muggie pergi begitu saja. Aku pun menatap tajam ke arah Sean meminta sebuah penjelasan.

“Kenapa kau menatapku seperti itu?”

“Kenapa kau tidak menceritakan tentang rumor hantu itu padaku?”

“Kalau aku cerita, kau pasti ingin melibatkan dirimu dengan hantu itu,” jawabnya dengan malas.

“Haah? Waktu itu kau bilang sudah bisa menerima kemampuanku ini. Tapi ucapanmu barusan sepertinya kau masih belum menerima kemampuanku?” Sungguh aku sangat kesal pada Sean.

“Bukan begitu.”

“Kalau begitu ceritakan padaku, memangnya ada rumor apa di asrama pria?” Sean memasang wajah malas, terlihat jelas dia sama sekali tidak ingin menceritakannya padaku. Tapi aku terus menatap tajam ke arahnya hingga akhirnya dia menghembuskan napas kasar. Sepertinya dia menyerah dan akan menceritakannya padaku.

“Ada sebuah kamar yang selalu terkunci dan kosong. Katanya kamar itu tidak boleh ditempati karena di sana pernah ada mahasiswa yang bunuh diri. Semua orang percaya hantunya gentayangan.”

“Kenapa mereka bisa mengira hantunya gentayangan?” tanyaku antusias, sedangkan Sean masih memasang wajah malas.

“Sering terdengar suara tangisan di dalam kamar itu. Selain itu, beberapa orang yang dulu pernah menempati kamar itu selalu kerasukan.”

“Jadi begitu? Kenapa mahasiswa itu bunuh diri?”

“Yaah ... mana kita tahu. Lagi pula, kejadian itu sudah lama sekitar 3 atau 4 tahun yang lalu.” Aku hanya terdiam dan Sean pun kembali menatap ke arah buku-bukunya.

“Pasti ada alasan yang membuat hantunya gentayangan.”

“Mungkin. Sudahlah, itu bukan urusan kita.” Perkataan Sean itu sukses membuatku kesal. Bagaimana mungkin dia bisa berbicara seenteng itu. Dia sama sekali tidak peduli, sedangkan aku ... tentu saja aku peduli karena aku memiliki kemampuan untuk berkomunikasi dengan hantu itu. Aku sudah berjanji pada Angie untuk menggunakan kemampuanku sebaik mungkin. Jadi bagaimana mungkin aku tidak peduli.

“Sean, nanti temani aku, ya. Aku ingin menyelidiki penyebab hantu itu gentayangan.” Kedua mata Sean membulat dengan sempurna, terlihat jelas dia sangat terkejut mendengar ucapanku.

“Sudah kuduga kau akan mengatakan itu. Itulah sebabnya aku tidak menceritakannya padamu.”

“Ternyata kau memang belum bisa menerima kemampuanku, ya?”

“Bukan begitu. Masalahnya hantu itu ada di asrama pria. Tidak mungkin aku membawamu ke Asrama pria!” Sean pasti sangat kesal padaku, terdengar dari nada suaranya yang sedikit membentakku.

“Memangnya kenapa? Aku, kan, hanya ingin menyelidiki hantu itu. Lagi pula, banyak kok mahasiswa pria yang main ke Asrama wanita untuk mengerjakan tugas,” jawabku sambil memberikan sebuah cengiran.

“Ya, itu kan karena mereka mengerjakan tugas kelompok dan sudah lapor dulu pada penjaga Asrama. Nah kau, memang kau mau lapor apa? Tidak mungkin kan kau lapor karena meminta izin untuk menyelidiki hantu. Lagi pula kau itu pacarku, aku tidak ingin orang lain berpikir yang tidak-tidak tentang kita.” Sebenarnya aku menyetujui perkataan Sean tapi tetap saja aku ingin membantu hantu itu. Aku merasa tidak seharusnya tinggal diam di saat aku memiliki kemampuan untuk membantunya kembali ke alamnya.

“Sean, aku mohon. Biar aku yang memikirkan alasannya. Temani aku, ya.”

“Tapi sekarang tidak ada Angie. Kau yakin bisa melakukannya sendirian?”

“Aku tidak sendirian. Aku bersamamu, Sean. Kita berdua akan membantu hantu itu. Aku mohon padamu, Sean.” Aku menyatukan kedua tangan mengisyaratkan bahwa aku sedang memohon padanya agar dia mau mengabulkan keinginanku ini. Sean hanya diam menatapku, kemudian dia menghembuskan napas dengan malas. Aku tahu jika dia sudah menunjukkan ekspresi seperti itu, dia sudah menyerah dan akan mengabulkan keinginanku.

“Baiklah, hari minggu nanti kita akan menyelidiki hantu itu. Tapi kau yang memikirkan alasan saat melapor pada penjaga Asrama.”

“Siap. Serahkan masalah itu padaku.”

“Sekarang diamlah, biarkan aku mengerjakan tugas kuliahku dengan tenang.” Aku menanggapinya dengan anggukan dan senyuman. Aku sangat senang karena Sean mau mengabulkan permintaanku. Sudah kuputuskan, aku akan mencari tahu alasan hantu di kamar itu menjadi hantu gentayangan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel