Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

5. Harga Dari Kelulusan

"Bagaimana jika ada jalan keluar yang lebih cepat dari sekadar wawancara gila ini?" lanjut Aldian.

Alina berkerut alis, matanya dipenuhi harapan yang rapuh. "Maksud Bapak?"

"Datanglah ke kantor saya besok pukul 10.00 pagi. Kita akan membahas proposal yang jauh lebih penting daripada skripsi kamu," kata Aldian, ekspresinya berubah menjadi sosok penyelamat yang dingin.

 "Kita akan membahas sebuah kesepakatan, Alina. Kesepakatan yang akan menjamin kelulusan kamu, tapi dengan harga yang mungkin sedikit lebih mahal dari yang Anda bayangkan."

Ia memberi isyarat bahwa pertemuan telah berakhir, meninggalkan Alina terpaku, terjebak di antara ancaman DO dan tawaran berbahaya dari dosen killer itu.

'Apa sebenernya yang dia maksud ini?' batin Alina.

******

Brak!

Pintu rumah dibanting. Bukan oleh Alina, melainkan oleh Kirana yang baru saja tiba. Wajahnya masih memerah akibat pertengkaran dengan Aldian di kampus tadi. Ia menoleh, melihat Alina yang baru saja melepas sepatu dan tasnya.

"Lihat siapa yang baru pulang," sindir Kirana, meletakkan tasnya dengan kasar di meja. 

"Sibuk mencari jalan keluar dari skripsi, Alina? Atau Pak Dosenmu itu akhirnya menyadari betapa bodohnya ide-ide skripsimu?"

Alina memilih diam. Perdebatan tidak akan pernah menghasilkan apa-apa. Ia hanya menghela nafas.

"Kirana! Kau sudah pulang?" Suara Karin, ibu tiri Alina, terdengar dari dapur. 

Karin muncul, langsung memeluk Kirana. "Ya ampun, Sayang. Wajahmu tegang sekali. Apakah Aldian masih bersikap dingin?"

Kirana mengangguk muram. "Dia bilang pernikahan ini ditunda tanpa batas waktu. Dia benar-benar acuh dan tidak peduli."

"Dasar pria tidak tahu diri! Padahal Mama sudah siapkan gaun paling mahal untukmu!" 

Karin mengalihkan pandangannya ke Alina yang masih berdiri kaku. "Kamu! Jangan hanya berdiri di sana seperti patung. Sana ke dapur, cuci piring bekas makan siang. Dan jangan lupa, cucian kotor Kirana sudah menumpuk. Kamu mau jadi beban keluarga terus, hah? Cepat lulus, agar kami tidak perlu bayar uang kuliahmu lagi!"

Alina mengepalkan tangan di samping tubuhnya. Ia ingin sekali berteriak bahwa uang kuliah itu murni dari investasi mendiang ayahnya, bukan dari kantong Karin atau Kirana. Tapi suara itu tercekat. 

Di rumah ini, ia memang hanyalah pembantu berstatus anak tiri yang menumpang. Ia hanya bisa menunduk dan menuju dapur.

Alina merasa dirinya seperti Cinderella yang terpenjara, menunggu keajaiban atau setidaknya, sebuah jalan keluar dari sangkar emas yang dipenuhi racun ini.

Ancaman Aldian sore tadi terasa menakutkan, namun ancaman Karin jauh lebih nyata dan menyakitkan setiap hari.

*****

Di sudut restoran mewah, Aldian duduk bersama dua teman sekolah lamanya, Vino dan Gani. Tawa mereka terdengar renyah, membahas masa lalu, hingga Vino menyinggung topik yang membuat suasana hati Aldian langsung keruh.

"Jadi, bagaimana persiapan pernikahanmu, Al?" tanya Vino, mengambil sepotong daging. "Kudengar Kirana sudah pesan gedung paling hits di Jakarta."

Aldian meletakkan garpunya dengan keras. Suara dentingan logam di piring porselen menarik perhatian Vino dan Gani.

"Tidak ada pernikahan," ujar Aldian, nadanya dingin dan final.

Vino mengerutkan kening. "Apa? Kamu bercanda, kan? Sudah sejauh ini? Undangan sudah hampir dicetak."

Aldian meneguk minumannya. "Aku tidak bercanda, Vin. Aku membatalkannya."

"Kenapa?" tanya Gani.

Aldian terkekeh pelan. "Kenapa? Karena tunanganku yang sempurna itu, yang sangat kucintai, ternyata punya hobi baru. Tidur dengan pria lain di hotel bintang lima."

Vino dan Gani terdiam. Syok. Vino bersandar ke kursinya. "Serius? Kirana?"

"Ya, Kirana. Aku melihatnya dengan mata kepalaku sendiri," jawab Aldian. 

Ia merasakan amarah yang selama ini ia tekan, kini meletup. "Aku sakit hati, Vin. Hancur. Dan sekarang, aku hanya punya satu tujuan. Membuat dia merasakan apa yang kurasakan."

"Balas dendam?" tanya Vino hati-hati.

Aldian mengangguk. "Ya. Aku bersikap acuh, cuek, tak peduli. Itu sudah membuatnya frustrasi. Tapi itu tidak cukup. Aku butuh pukulan telak yang menyakitkan baginya, pukulan yang melibatkan sesuatu yang sangat dekat dengannya."

Gani memandang Aldian dengan ngeri. "Maksudmu .... kamu akan merebut hartanya atau semacamnya?"

"Lebih pribadi dari itu, Gan," sela Aldian, matanya berkilat dingin. 

Ia mencondongkan tubuh ke depan, berbicara dengan suara rendah yang penuh intrik. "Aku akan menjalin hubungan dengan adik tirinya sendiri. Adik yang dia benci dan anggap sebagai sampah keluarga. Aku akan menunjukkannya bahwa aku menemukan yang jauh lebih baik, yang jauh lebih muda, dan yang akan menghancurkan citra keluarganya di depan orang tuaku."

Vino terperangah. "Kamu gila, Al. Kamu menggunakan mahasiswimu sendiri? Alina. Iya kan? Dia teman sepupuku. Mentari."

Aldian tersenyum puas. "Alina Salsabila. Mahasiswi bimbinganku. Dia dalam posisi sulit. Terancam DO, terus-terusan ditekan ibu tirinya. Dia sangat membutuhkan kelulusan. Dan aku, aku sangat membutuhkan alat balas dendam."

Vino menggeleng, tidak percaya dengan rencana temannya itu. "Kamu yakin ini jalan terbaik? Kamu bermain dengan hati seseorang, Aldian."

"Aku tidak peduli," tegas Aldian. "Hati ini sudah mati sejak aku melihat Kirana di kamar hotel itu. Sekarang, hanya dendam yang tersisa. Aku akan menjebaknya dalam kesepakatan yang tidak bisa dia tolak. Dan aku akan menikmatinya, melihat Kirana hancur berkeping-keping."

*****

Keesokan paginya, Alina terbangun dengan linglung. Ia tidak tidur nyenyak. Ancaman DO dari Aldian dan cemoohan dari Karin bercampur aduk dalam mimpinya.

Saat sarapan, Karin kembali menyindir. "Apa kamu akan terus makan gratis di rumah ini? Segera cari kerja paruh waktu kalau memang tidak bisa lulus cepat. Atau kamu memang mau jadi beban selamanya?"

Alina tak merespon. Ia menatap jam. Pukul 08.00 Satu jam menuju pertemuan penting itu. Ia ingat tawaran Aldian semalam. Sebuah kesepakatan yang lebih penting dari skripsi, dengan harga yang lebih mahal.

Ia tahu, tawaran itu pasti mengandung intrik, mungkin melibatkan sesuatu yang melanggar etika atau bahkan hukum.

'Aku tidak tahu. Apa yang akan ditawarkan oleh dosen killer itu. Tapi, mungkin itu bisa menyelamatkanku untuk cepat lulus,' batinnya.

Ia meraih tasnya. Bangkit dari posisinya, dan langsung bergegas menuju kampus tanpa berpamitan pada Karin. Ia harus bertemu Aldian.

*****

Tepat pukul 09.45. Alina berdiri di depan pintu ruang kerja Aldian. Ia menarik napas dalam-dalam, mengumpulkan keberaniannya yang tersisa. Ini adalah titik balik, entah menuju kehancuran total atau kelulusan yang dipercepat. Ia mengetuk pelan.

 "Masuk," suara Aldian terdengar tegas dari dalam.

Alina membuka pintu dan melangkah masuk. Aldian sudah menunggunya, duduk tegak di kursinya. Dia tidak terlihat seperti dosen pembimbing, melainkan seperti seorang negosiator yang siap memenangkan tawarannya.

"Kamu datang tepat waktu, Alina," sambut Aldian, senyum tipis terukir di bibirnya. Senyum yang tidak meyakinkan, penuh misteri.

Alina berdiri di hadapan meja, tangannya menggenggam erat tali tasnya. "Saya menerima tawaran Bapak. Apa pun kesepakatannya, saya akan menurut. Asalkan saya bisa lulus tepat waktu dan tidak di-DO."

Aldian mengangguk puas. "Bagus. Saya suka mahasiswi yang cepat mengambil keputusan."

Aldian bangkit dari kursi, berjalan mengitari meja hingga berdiri di hadapan Alina. Postur tubuhnya yang tinggi dan auranya yang mendominasi membuat Alina merasa sangat kecil.

"Dengarkan baik-baik, Alina," bisik Aldian, matanya menatap tajam, penuh perhitungan. 

"Proposal ini sangat sederhana. Saya ingin kamu menjadi pacar baru saya. Pacar yang jauh lebih baik dan pantas diperkenalkan kepada orang tua saya. Kita akan menjalin hubungan palsu, dan kamu harus memainkan peran ini dengan sempurna di depan semua orang. Sebagai imbalannya..."

Aldian mendekatkan wajahnya sedikit. "Saya jamin, kamu akan mendapatkan gelar sarjana dengan predikat terbaik. Bagaimana? Berani kamu menerima sandiwara berbahaya ini?"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel