
Ringkasan
Alina tak pernah tahu bahwa Aldian, dosen pembimbing skripsinya yang kejam, adalah calon kakak iparnya. Sejak awal, Aldian membebaninya dengan tugas berat, membuat masa kuliah akhir Alina terasa seperti neraka. Yang Alina tahu, Aldian adalah sumber kekesalan terbesar baginya. Tekanan dari Aldian dan keluarga tirinya yang menganggapnya beban, membuat Alina terpojok. Apalagi ketika Aldian menawarkan "jalan pintas." Berpura-pura menjadi pacarnya. Syok, namun terpaksa, Alina menyanggupinya. Ia tak sadar, karena baru saja masuk ke dalam permainan balas dendam Aldian pada Kirana, kakak tirinya. Namun, saat romansa palsu itu mulai terasa nyata, Alina harus menghadapi kenyataan pahit. Apakah hatinya hanya dijadikan umpan belaka?
1. Koridor Patah Hati
Aldian memutar cincin perak yang baru saja ia beli dari toko perhiasan. Cahaya lampu lobi hotel mewah itu memantul indah di permukaan logam mulia tersebut. Hanya beberapa bulan lagi ia akan mengucap janji suci bersama Kirana, wanita yang ia yakini adalah belahan jiwanya.
Ia tersenyum, membayangkan kejutan kecil yang akan ia berikan malam ini.
Ia berada di Grand Gold Hotel, tempat yang sama di mana ia dan Kirana berencana menggelar resepsi pernikahan. Aldian sengaja mampir untuk memastikan tata letak aula. Tapi kini, yang ia genggam bukan lagi denah meja, melainkan sebuah kotak beludru merah berisi cincin kawin mereka.
Langkahnya terhenti ketika ia melihat sosok yang sangat familiar, beberapa meter dari lift VIP. Kirana. Tunangannya.
'Kirana?' batin Aldian, mengerutkan dahi.
Ia tahu Kirana sedang ada urusan pekerjaan, tapi kenapa di hotel ini? Dan mengapa Kirana tidak memberitahunya?
Ia hendak menghampiri, memanggil nama Kirana dengan riang. Namun, Aldian membeku, bayangan cincin di tangannya seolah menghilang ditelan kegelapan mendadak.
Kirana tidak sendirian. Di sampingnya, berdiri seorang pria tinggi, mengenakan jas mahal, dan terlihat asing. Pria itu merangkul pinggang Kirana dengan gestur yang terlalu intim untuk sekadar rekan kerja.
“Tidak. Ini pasti salah lihat,” Aldian meyakinkan dirinya sendiri.
Jantungnya mulai berdebar tak karuan, iramanya terasa memukul rusuknya dengan keras. Ia memaksa kakinya melangkah maju, ingin memastikan penglihatan yang menyesatkan ini.
Saat ia mendekat, Aldian melihat Kirana tertawa kecil, menyandarkan kepalanya di bahu pria itu. Mereka terlihat seperti pasangan yang sedang dimabuk asmara, baru saja menyelesaikan kencan rahasia yang mendebarkan.
“Sayang, kita harus lebih sering seperti ini,” bisik pria itu, suaranya terdengar jelas di telinga Aldian yang hanya berjarak beberapa langkah.
Kirana mengangguk. “Tentu. Jangan khawatir, Aldian tidak akan pernah tahu. Dia terlalu sibuk dengan kampus dan skripsi mahasiswa-mahasiswanya.”
Kata-kata itu, diucapkan dengan nada meremehkan, menusuk Aldian lebih tajam daripada belati. Aldian tidak lagi merasa butuh klarifikasi. Pengkhianatan itu nyata, terpampang jelas seperti poster raksasa di hadapannya.
Pria itu kemudian bercumbu dengan Kirana, dalam dan penuh gairah, di depan lift. Mereka sengaja menekan pintu lift agar tak tertutup.
“Sepertinya kita akan menghabiskan malam kita di sini, sayang," bisik pria itu, suaranya dalam dan sedikit serak. Ia melangkah satu inci lebih dekat, tangannya terangkat ke dinding lift untuk menopang diri, menempatkan tubuhnya di sudut pandangan Kirana.
“Tentu, sayang,” hanya itu yang bisa Kirana gumamkan. Kehangatan tubuh pria itu, meskipun belum bersentuhan, sudah terasa menekan.
Mata mereka bertemu. Tatapan pria itu tampak hitam pekat, tajam, dan penuh janji. Ia tersenyum tipis, senyum yang tidak sampai ke mata, melainkan hanya menggerakkan bibir penuhnya.
“Kau terlihat tegang, Sayang. Rilek," kata pria itu.
Tanpa peringatan, pria itu bergerak cepat. Kirana tidak sempat memprotes ketika telapak tangan besarnya menangkup pipinya, ibu jarinya membelai tulang rahangnya. Justru Kirana hanyalah memejamkan mata, membiarkan tubuhnya berkhianat.
Bibir mereka bertemu, dan itu bukan sentuhan malu-malu. Ciuman itu datang bagai gelombang pasang, mengambil seluruh kendali napasnya.
Bibir pria itu mendesak dengan kebutuhan yang mendalam, dan Kirana meresponsnya dengan kerinduan yang sama liarnya. Sesaat, hanya ada suara napas mereka yang terengah dan decak basah yang memantul dari dinding metal.
Tangan Kirana merangkul lehernya, menariknya lebih dekat, membiarkan punggungnya terhimpit ke dinding lift yang dingin. Pria itu membalasnya dengan intensitas yang membakar.
“Mmmh…” erang Kirana pelan, suaranya nyaris hilang ditelan ciuman mereka. Udara di lift terasa semakin tipis, dipenuhi gairah yang tebal.
Pria itu melepaskan ciumannya sesaat, kening mereka bersentuhan, dan ia menghela napas panjang. “Kau… mematikan,” bisiknya, napas panasnya menerpa bibir Kirana.
“Kau juga… ahn…” balas Kirana, membalas ciuman pendek itu dengan hisapan bibir yang lebih dalam.
Tiba-tiba, ciuman itu berpindah haluan. Ia menarik diri sejenak, wajahnya turun ke leher jenjang Kirana.
Kirana mendongak, memperlihatkan kulit lehernya tanpa perlawanan, erangan tertahan kembali lolos dari tenggorokannya. Ia merasakan sentuhan kasar janggut tipis dan bibirnya yang bergerak menanamkan jejak basah dan panas.
“Sssh… ya…” Kirana mendesah, jarinya mencengkeram rambut tebal pria itu. Sensasi itu menjalar ke seluruh tubuhnya.
Tangan pria itu, yang tadinya ada di pinggang Kirana, kini naik ke bagian atas tubuhnya. Jemarinya yang panjang dan terampil melingkari salah satu pay*dara Kirana di balik blusnya. Tekanan yang tiba-tiba dan sentuhan lembut di put*ngnya membuat Kirana terkesiap dan melengkungkan punggungnya.
“Oh…”
Pria itu menyeringai dalam kegelapan dan menekan lebih dalam, sementara napasnya kembali berhembus di telinga Kirana.
“Ingin… lebih?” tanyanya, suaranya bergetar karena gairah.
Kirana tidak menjawab dengan kata-kata. Ia mengangguk dengan senyuman manis, hingga akhirnya pintu lift itu tertutup karena banyak orang yang berlalu lalang juga masuk ke dalam lift itu.
Jelas, Aldian melihat semuanya. Ia merasakan udara di sekitarnya menipis. Rasa sakit yang mematikan menjalari seluruh sarafnya, mengubah darah di nadinya menjadi es beku.
Kotak beludru merah itu terlepas dari genggamannya, jatuh tanpa suara di atas karpet tebal hotel. Ia menyaksikan mereka berdua masuk ke dalam lift, tangan pria itu masih melingkari pinggang Kirana.
Sebelum pintu lift tertutup, Aldian menangkap sekilas ekspresi Kirana yang puas, bahagia, tanpa sedikit pun rasa bersalah.
'Kau pengkhianat, Kirana,' batinnya geram.
Saat pintu lift tertutup, Aldian masih berdiri mematung. Ia tidak melabrak. Ia bahkan tidak menunjukkan ekspresi kemarahan yang meluap. Yang ada hanyalah kekosongan dan perhitungan yang dingin.
‘Kau menghancurkanku, Kirana. Kau merobek semua yang kita bangun,' batinnya.
Dendam. Kata itu tiba-tiba mengambil alih ruang di benaknya, menggantikan setiap jejak cinta dan kasih sayang yang pernah ia rasakan.
Aldian memungut kotak cincinnya, membersihkan debu tipis yang menempel. Cincin yang seharusnya menjadi simbol komitmen dia dengan Kirana.
‘Kau bilang aku terlalu sibuk dengan kampus? Kau bilang aku terlalu sibuk dengan mahasiswaku? Baiklah, Kirana. Kau akan melihat seberapa sibuknya aku, dan kau akan menyesali setiap detik yang kau habiskan di sini, di hotel ini,' batinnya.
Aldian berbalik, berjalan perlahan menjauhi area lift, memastikan dirinya tidak terlihat. Ia harus tetap tenang, bertindak seolah-olah tidak tahu apa-apa. Jika Kirana menginginkan sandiwara, maka ia akan memberikan pertunjukan terbaik dalam hidupnya.
Ia harus menyusun rencana yang sempurna. Balas dendamnya tidak boleh instan, harus perlahan, menyakitkan, dan menghancurkan apa pun yang berharga bagi Kirana.
*****
Keesokan harinya, Aldian kembali ke kampus. Gedung-gedung perkuliahan yang megah terasa kaku, mencerminkan kekakuan emosi yang kini ia rasakan. Ia memasuki ruangannya sebagai dosen pembimbing skripsi semester akhir. Aldian duduk, membuka daftar nama mahasiswanya.
Niat balas dendamnya masih membara. Ia tahu, untuk membalas Kirana, ia harus menyerang di titik terlemahnya. Tetapi di mana titik terlemah Kirana?
Aldian menggeser daftar itu, membaca nama-nama dengan tatapan tajam. Lalu, pandangannya tertuju pada satu nama di urutan kelima. Aldian menarik napas dalam. Tiba-tiba, ingat. Ia pernah mendengar nama itu sekilas dari Kirana, bertahun-tahun yang lalu, saat mereka bertengkar kecil mengenai urusan keluarga.
'Alina Salsabila? Sepertinya nama ini tak asing,' batinnya.
Alina. Adik tiri Kirana. Gadis yang hubungannya dengan Kirana dan ibu tirinya, yaitu Karin sangat buruk. Alina adalah titik lemah yang sempurna, meskipun Kirana tidak pernah menganggap Alina penting.
Aldian tersenyum smrik. Seorang mahasiswi semester akhir, yang nasib kelulusannya kini berada di tangannya, adalah kunci balas dendamnya.
‘Selamat datang, Alina. Kau adalah bidak catur yang sempurna untuk menghancurkan kakak tirimu,' pikir Aldian.
Mengambil pulpen dan menandai nama Alina di daftar itu dengan lingkaran tebal. Ia tahu, Kirana pasti akan sakit hati jika ia melihat Aldian, tunangannya, menjalin hubungan dengan adik tiri yang ia benci. Aldian menekan interkom, memanggil asistennya.
“Tolong jadwalkan pertemuan saya dengan mahasiswa bimbingan skripsi, segera. Terutama, yang bernama Alina Salsabila secepatnya. Ada tugas khusus yang harus ia kerjakan.”
Tugas yang akan mengikat Alina dalam jaring dendamnya, dan yang akan membuat Kirana merasakan sakit yang sama, bahkan mungkin lebih. Aldian bersandar di kursinya, tatapannya kini dipenuhi perhitungan kejam. Permainan baru saja dimulai.
'Aku tidak sabar. Akan memulai sandiwara ini,' batinnya.
Pandangan Aldian tertuju kembali pada daftar nama Alina Salsabila. Ia tersenyum smrik di sudut bibirnya, memperhatikan fotonya dan menyentuh bibirnya sekilas.
"Alina cantik. Sepertinya berkontak fisik dengannya ... adalah balas dendam yang sempurna."
