Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

2. Ide Brilian

“Tolong jadwalkan pertemuan saya dengan mahasiswa bimbingan skripsi, segera. Terutama, yang bernama Alina Salsabila secepatnya. Ada tugas khusus yang harus ia kerjakan.”

Tugas yang akan mengikat Alina dalam jaring dendamnya, dan yang akan membuat Kirana merasakan sakit yang sama, bahkan mungkin lebih. Aldian bersandar di kursinya, tatapannya kini dipenuhi perhitungan kejam. Permainan baru saja dimulai.

'Aku tidak sabar. Akan memulai sandiwara ini,' batinnya.

Pandangan Aldian tertuju kembali pada daftar nama Alina Salsabila. Ia tersenyum smrik di sudut bibirnya, memperhatikan fotonya dan menyentuh bibirnya sekilas.

"Alina cantik. Sepertinya berkontak fisik dengannya ... adalah balas dendam yang sempurna."

Ia langsung mengambil ponselnya dan tertuju pada grup chat khusus bimbingan skripsi. Dia mencari kontak Alina dan langsung menghubunginya. Tak sangka, ternyata Alina cepat merespon, dia langsung mengangkat panggilan tersebut.

"Selamat pagi, Maaf. Bapak menelpon saya?"

Mendengar suara Alina untuk pertama kali, membuat Aldian menyunggingkan senyumnya. 'Tenyata suaranya lembut. Apakah dia berbeda dari Kirana?' batinnya.

"Hallo, Pak? Maaf, anda masih ada di sana?"

Aldian tersadar. "Iya, cepat kau ke ruanganku. Ada banyak revisi yang harus kau kerjakan di propsolmu ini. Aku tunggu dalam waktu 30 menit."

Belum sempat Alina menyelesaikan ucapannya, Aldian sudah menutup telponnya tersebut. Sontak, suara panggilan terputus pun terdengar jelas di ponselnya.

Alina, gadis cantik dengan rambut panjang itu yang saat ini masih di rumah. Segera bergegas ke kampus. 

'Dia gila?! Tiba-tiba menelpon dan minta aku cepat-cepat ke kampus. Dia tidak chat terlebih dahulu. Dasar Dosen aneh. Ah, aku tidak boleh terlambat. Ini pertemuan pertamaku dengannya, jadi harus tepat waktu,' batinnya.

Panggilan dari dosen itu membuat Alina panik. Ia adalah mahasiswi bimbingan baru bagi Aldian, dosen yang terkenal sangat perfeksionis dan minim senyum. Jantung Alina berdegup kencang saat ia mengetuk pintu ruangan Aldian.

“Masuk,” terdengar suara berat dari dalam.

Alina mendorong pintu perlahan. Aldian duduk di balik meja kayu besar, tatapannya tajam, seolah sedang menganalisis setiap detail di ruangan itu, termasuk Alina yang berdiri canggung di pintu. Aldian mengenakan kemeja biru tua yang rapi.

“Silakan duduk, Alina,” ujar Aldian tanpa basa-basi. Ia menunjuk kursi di hadapannya.

Alina duduk, meremas proposal skripsinya yang baru ia serahkan seminggu lalu.

“Saya memanggil kamu hari ini karena ada hal mendesak mengenai proposal yang kamu ajukan itu,” lanjut Aldian, mengambil map tebal milik Alina.

Alina menahan napas. “Apakah ada revisi besar, Pak?”

Aldian meletakkan map itu kembali di meja, membiarkan proposal itu seolah benda tak berharga. “Revisi? Saya rasa tidak cukup. Setelah saya baca, ide dan metodologi yang kamu ajukan terlalu dangkal. Terlalu klise.”

Wajah Alina memucat. Ia sudah menghabiskan tiga bulan merumuskan ide itu. “Tapi, Pak .. saya mengikuti panduan yang diberikan.”

“Panduan itu untuk standar minimal. Saya butuh keunggulan,” potong Aldian dingin. Ia menyandarkan punggungnya dengan terus menatap Alina. “Saya akan memberikan kamu tugas baru. Tugas yang akan menentukan apakah kamu layak mendapatkan predikat mahasiswa bimbingan saya atau tidak.”

Alina menelan salivanya. Ia merasa seperti sedang diinterogasi, bukan dibimbing.

“Kamu harus mengubah total topiknya,” kata Aldian, suaranya pelan namun penuh tekanan.

 “Saya ingin kamu melakukan studi komparatif. Tiga kasus di tiga wilayah berbeda. Lakukan observasi mendalam, wawancara minimal 15 narasumber di setiap lokasi, dan kumpulkan data primer yang belum pernah dipublikasikan.”

Alina terkejut. Studi komparatif tiga wilayah? Itu setara dengan dua skripsi digabung menjadi satu. Pekerjaan itu biasanya membutuhkan waktu minimal enam bulan hingga setahun bagi mahasiswa semester akhir.

“T-tiga wilayah, Pak?” Alina tergagap. “Bukankah itu terlalu berat untuk waktu yang tersisa?”

“Waktu yang tersisa adalah masalah kamu, bukan masalah saya,” jawab Aldian datar. 

“Kamu ingin lulus tepat waktu, kan? Jika kamu bisa menyajikan proposal baru yang matang, lengkap dengan kerangka bab awal, dalam waktu dua minggu, saya akan pertimbangkan. Jika tidak, saya sarankan kamu mencari dosen pembimbing lain, atau siapkan diri kamu untuk status DO.”

Ancaman Drop Out menghantam Alina seperti pukulan telak. Ia tidak boleh gagal. Uang investasi pendidikannya harus digunakan sebaik mungkin, apalagi Mama Karin dan Kirana sudah mulai menekannya.

“Dua minggu, Pak. Proposal baru, kerangka bab, tiga studi kasus komparatif?” Alina mengulang, mencoba mencerna kegilaan permintaan itu.

“Tepat. Saya ingin kamu fokus. Ini bukan waktu untuk bersantai atau mencari alasan,” tekan Aldian. Ia menggerakkan pulpen di tangannya, gestur yang menandakan bahwa pertemuan itu sudah selesai.

Alina berdiri dengan lutut gemetar. Ia membungkuk singkat, lalu bergegas keluar dari ruangan Aldian. Udara di koridor kampus terasa lebih segar, namun pikirannya dipenuhi kabut kepanikan.

‘Dua minggu? Dia ingin aku di DO! Ku rasa dosen itu sudah gila,' pikir Alina frustasi.

Ia segera mengambil ponselnya, mencari nama Mentari. Ia butuh tempat curhat, dan dukungan moral untuk menghadapi tugas mustahil ini.

*****

Di taman, dia menceritakan semuanya pada Mentari, teman akrabnya dari dulu yang selalu ada untuknya.

“Kamu gila? Dia itu dosen atau algojo? Itu tugas untuk tesis, bukan skripsi!” seru Mentari, saat mereka bertemu di kantin kampus yang ramai. Mentari mengaduk es tehnya dengan ekspresi tidak percaya.

“Aku tahu, Tar. Tapi dia tidak mau dengar. Dia mengancamku akan di DO kalau aku tidak menyelesaikannya. Kamu tahu bagaimana Mama Karin dan Kirana akan bereaksi kalau aku gagal lulus,” ujar Alina, menyandarkan kepalanya di meja.

Mentari menghela napas. Ia tahu betul bagaimana tekanan yang dihadapi Alina di rumah. Kirana dan Karin selalu menganggap Alina sebagai beban keluarga, meskipun biaya kuliahnya ditanggung penuh oleh mendiang ayahnya.

“Dua minggu, Lin. Kamu harus begadang setiap hari, itu pun belum tentu cukup,” kata Mentari, menatap Alina prihatin. “Kenapa dia harus sekejam itu? Pak Aldian itu kan terkenal tenang.”

“Tenang di luar, iblis di dalam,” gumam Alina. “Aku harus mencari cara. Aku akan memulainya malam ini.”

Saat Mentari dan Alina sibuk merencanakan strategi perang skripsi yang absurd, ponsel Alina berdering. Nama yang tertera di layar membuat senyum tipis di wajah Alina lenyap. Kirana. Tepat saat ia memikirkan tentang tekanan keluarga.

Alina mengangkat panggilan itu dengan enggan. “Ya, Kak?”

“Bagaimana bimbingan hari ini? Jangan harap aku dan Mama terus menanggung biaya hidupmu kalau kamu tidak bisa menyelesaikan skripsimu tepat waktu. Jangan sampai uang warisan Papamu habis hanya untuk biaya kuliahmu yang lambat itu,” suara Kirana terdengar tajam dan menusuk dari seberang.

Alina menutup matanya sejenak, menahan emosi. Tekanan dari rumah terasa jauh lebih berat dibandingkan tugas Aldian yang mustahil.

“Aku sedang mengurusnya, Kak. Akan aku usahakan,” jawab Alina singkat, lalu segera mematikan sambungan tanpa menunggu balasan Kirana.

Mentari menatapnya iba. “Lihat? Kamu tidak punya pilihan selain menuruti Pak Aldian.”

Alina menggigit bibir. Ia merasa terperangkap. Di satu sisi, ia tertekan oleh dosen yang ingin menjebaknya dalam kegagalan. Di sisi lain, ia terdesak oleh tuntutan keluarga yang serakah. Ia harus lulus, apa pun taruhannya.

*****

Sementara itu, di ruangannya, Aldian sedang tersenyum sinis sambil menatap daftar nama Alina di komputernya. Ia tahu tugas yang ia berikan tidak mungkin diselesaikan. Itu adalah langkah pertamanya. Ia ingin Alina terpojok, rapuh, dan putus asa. Saat itulah, ia akan datang menawarkan ‘pertolongan’ yang mematikan.

‘Kamu tidak akan lulus tepat waktu, Alina. Dan saat kamu hampir menyerah, aku akan memberikan penawaran yang tidak bisa kamu tolak,’ batin Aldian, menikmati sensasi dingin dari permainan balas dendam yang baru saja ia mulai.

Aldian memutar cincin yang ia pungut dari lantai hotel kemarin. Ia membayangkan wajah Kirana. Hingga sakit hati itu muncul kembali. Semua ini akan terbayar lunas. Balas dendamnya akan disajikan sempurna, panas, dan menyakitkan, menggunakan adik tiri Kirana sendiri sebagai umpan.

"Kirana, aku tidak sabar melihatmu sakit. Seperti apa yang aku rasakan," monolognya dengan tatapan lurus ke depan.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel