Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 2

Bus tiba di terminal dan aku mengambil koper lamaku. Aku mengikuti antrian di bus dan melangkah keluar dan melihat sekeliling.

"Yohan," aku mendengar, dan berbalik untuk melihat Mira melambai padaku. Rambutnya lebih panjang dari yang terakhir kulihat. Dia berlari menyeberang dan langsung memelukku. Wow, dadanya langsung terasa menekan dadaku, terasa jelas bahkan melalui jaket yang kupakai.

Mira meletakkan tangannya di pundakku dan melangkah mundur, menatapku dari kepala sampai kekaki.

"Ya ampun, sejak kapan kamu jadi kekar gini?"

Mira menggelengkan kepalanya, "Wah bakal banyak yang naksir nih di kampus nanti." Dia mengandeng tanganku dan menarikku kearah pintu keluar . "Ayo, ayo, kamu pasti capek kan."

Kamar Miranda berada di lantai empat sebuah komplek Apartmen dan cukup mewah. Dia membuka pintu dan membawaku masuk. "Istanaku," katanya.

Ruang tamu cukup kecil, dan di bagian tengah terdapat sofa besar.

"Maaf ya kayaknya kamu harus tidur disofa." Kata Miranda.

"Gapapa kok, sofa ini keliatan lebih nyaman dari kasurku di rumah," kataku.

Area dapur kecil terselip di salah satu sudut dengan jendela besar yang menghadap ke taman. Di sudut lain dinding jauh ruang tamu adalah meja kecil dengan sebuah komputer diatasnya. Di depan meja berdiri sebuah tripod dengan kamera SLR terpasang di atasnya.

"Tentu," Mira mengangguk. "Kamu ngerti kamera?"

"Sedikit, tapi ga pernah punya type ini." Aku melepasnya dari tripod dan menyalakannya.

Aku berbalik dan fokus pada Mira di mana dia membuat kopi di dapur. Aku mengubah kamera menjadi vertikal dan diperbesar sehingga hanya kepala dan bahunya yang memenuhi bingkai. "Mau difoto, nona?."

Mira hanya tersenyum dan saat aku menekan tombol dia tertawa, "Hei, kirain cuma main-main!"

Aku melihat hasil fotonya. Lumayan, untuk pertama kali pakai kamera ini. "Sangat bagus," kataku.

"Itu kamera pinjaman dari kampus, aku boleh pinjam selama yang aku mau. Kita kan ga selalu bisa duduk berjam-jam pas harus membuat gambar. Jadi aku ambil foto suatu objek terus nanti baru disalin jadi sketsa."Miranda menunjuk ke jendela gelap apartemennya. "Taman di luar sana bagus," katanya. "Kamu akan bisa melihatnya di pagi hari. Itu alasan aku memilih tempat ini. Kecil tapi pemandangannya luar biasa."

Di seberang area dapur ada dua pintu yang menutupi setengah dinding. Miranda menunjuk ke pintu yang lebih jauh, "kamarku," katanya, lalu yang lain, "Kamar mandi, tapi kuncinya rusak”

Miranda tertawa, "Tapi kan ga ada orang lain disini."

"Kecuali aku."

Dia memelukku dan tertawa, "Kamu sepupu favoritku, Yo," katanya. "Kamu bukan orang lain." dan dia tertawa lagi.

Aku meletakkan tas kecilku di samping sofa dan duduk, melepas sepatu ketsku lalu berbaring. Sofa ini terasa nyaman dan luas. Panjangnya pasti dua meter lebih, cukup mencolok di ruang tamu kecil itu.

Aku melipat kakiku agar Mira bisa duduk di ujung

"Kamu pasti masih capek, jadi malam ini kita ga usah kemana-mana ya, aku akan masak di sini dan kamu bisa istirahat lebih awal. Supaya besok keliatan segar saat interview. Pasti seru kalau kamu diterima di sini, kita bisa tinggal bareng lagi."

"Aku sempat lihat kampus lain, tetapi disini pilihan pertamaku. Bagus kan kampus disini?"

"Bagus banget. Kayaknya salah satu yang terbaik di Indonesia."

“Tapi kuliahmu sudah hampir selesai kan? Kita tetap jarang ketemuan deh”

"Aku berencana untuk lanjut S2, dan ditawari jadi asisten dosen, jadi aku akan tetap di sini buat ngawasin kamu, biar ga bikin ulah."

Malam itu kami hanya makan spageti instan, tapi karena lapar rasanya jadi luar biasa enak. Tak berapa lama setelah kami selesai makan, telepon Mira berbunyi

Mira bangkit dan pergi ke telepon dan membawanya kembali ke meja dapur. Aku cuma bisa mendengar obrolan dari pihaknya.

"Feb, Hai ... ya, dia di sini sekarang ..." Miranda mendengarkan dan kemudian tertawa, "Ya, dia ... Ga, ga malam ini, kita akan mengejar ... Ya, dia akan berada di sini besok ... lihat besok deh... ga ... mungkin ... oke, bye. "

Mira meletakkan telepon di atas meja dan kembali duduk di sofa.

"Teman?" Aku bertanya.

"Ya."

"Kamu ga perlu batalin janji karena aku di sini, Mira," kataku.

"Itu ga masalah," katanya. "Selain itu, aku ingin ngobrol sama kamu. Kita sudah lama ga ketemu kan."

"Aku ga ingin menghalangi."

"ga kok."

"Kapan kamu janjian sama temanmu? malam ini, besok?" Aku bertanya.

"Ga janjian sih, cuma Febi ngajak jalan aja. Tapi ga apa-apa."

"Aku capek malam ini," kataku, "tapi kalau besok sih ga masalah, itu kalau boleh ikut."

Mira tertawa. "Aku ga yakin kamu bakal suka tempatnya, Yo, tapi kita lihat lagi besok deh."

"Oh," kataku, kayaknya aku lancang karena mau ikut. Mira mungkin ingin jalan sama teman-temannya, tanpa harus bawa sepupunya yang dari kampung. Ga keren. Aku ngerasa Mira rada jengkel dari getaran suaranya.

Beberapa menit berlalu, lalu Mira menghela nafas dan meletakkan tangannya di atas tanganku.

"Maaf, aku ga bermaksud bikin kamu merasa bersalah."

"Gapapa kok," kataku.

Dia menarik napas dalam-dalam dan menatapku. "Bukan gitu, Yo. Aku cuma ga mau kamu mengira..." Dia ragu-ragu, menunggu lama, lalu berkata, "Kamu tahu aku lesbian, kan?"

"Hah.."

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel