Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

BAB 1 PROLOG

Namaku Yohan Wahyudi, sekarang sedang duduk di sebuah bus yang melaju melintasi pinggiran kota Jakarta. Saat itu tanggal 7 Desember, lima bulan setelah ulang tahun kedelapan belasku, dan aku akan ikut wawancara beasiswa di salah satu kampus terkenal disini. Disana aku bakal dijemput oleh sepupuku Miranda. Aku punya alamatnya, tetapi tahu sendiri kan kejamnya ibukota, jadi Mira, panggilan akrabnya, menawarkan untuk menjemputku di terminal.

Aku senang diijinkan numpang di apartemen Mira, kalau tidak aku harus cari hotel buat menginap. Awalnya aku bakal ambil pilihan kedua, tapi minggu lalu pas aku bilang ke Ibu aku ada wawancara di Jakarta, dia teringat dengan Mira dan menyarankan untuk telpon Mira menanyakan apakah aku boleh numpang di apartemennya.

Mira dua tahun lebih tua dariku, dan lebih dari enam tahun dia tinggal di rumah kami seperti kakak kandungku. Om Bambang, Ayahnya Mira adalah kakak ibuku. Dia adalah seorang marketing dengan level tingkat tinggi di kantornya yang setelah dia menikah dan Mira berumur satu tahun dipindah tugaskan ke Bali.

Ketika Mira berusia enam tahun, Tante Joice, ibunya Mira pergi berlayar dengan seorang teman dan baik mereka maupun kapalnya ga pernah ditemukan. Akhirnya, bertahun-tahun kemudian, dia dinyatakan meninggal. Om Bambang bilang dia ga bisa kerja sambil ngurus anak, karena itulah Mira tinggal enam tahun bersama kami.

Dia berusia dua belas tahun ketika Om Bambang menikah untuk kedua kalinya, dengan seorang wanita yang baru berusia dua puluhan, dan tiba-tiba Mira harus pisah dengan kami.

Setelah Mira kembali ke ayahnya, aku ga tahu apakah kami bakal ketemu lagi. Ibuku dan Om Bambang ga terlalu akur, tetapi entah bagaimana semuanya berjalan lancar dan aku bisa bertemu Mira setahun sekali. Selama musim liburan sekolah, keluargaku mengunjungi rumah Mira di Bali tentu dibiayai oleh Om Bambang. Om Bambang cukup kaya dan tinggal di sebuah rumah besar di tepi Danau Batur. Di belakang bangunan utama ada sebuah pondok kecil semacam bungalow. Dua minggu pertama liburan sekolah, pondok itu selalu kami tempati. Ibu selalu ikut dengan kami, biasanya Ayah juga kalau dia bisa dapat cuti.

Hatiku selalu bergetar saat aku melihat Mira disekitaku. Setiap tahun dia tumbuh, makin cantik. Tiap tahun kami malu-malu saat ketemu, dan setiap tahun pula kami berakhir dengan air mata saat harus berpisah.

Selama masa remajanya dia akan menulis surat cinta yang ingin dia kirim sehingga aku bisa membacanya dan berkomentar sebelum dia mengirimnya. Selama beberapa tahun, surat-surat konyol ini akan tiba dengan amplop balasan dan sudah menjadi tugasku untuk membuat komentar dan mengirimkannya kembali. Ketika Mira mencapai usia lima belas tahun, surat-surat berhenti tiba-tiba seperti ketika mereka mulai.

Dua tahun yang lalu dia meninggalkan rumahnya di Bali dan kuliah di Jakarta jurusan Seni Murni dan, yang sekarang juga ingin aku lakukan. Segera setelah dia kuliah di Jakarta, dan tepat setelah Ayahku meninggal, surat-surat mulai berdatangan lagi menceritakan tentang kuliahnya dan teman-teman yang dia temui.

Liburan kami ke Bali masih berlanjut, tetapi Mira jarang ada di sana sekarang. Hanya sekali, dua tahun lalu, dia pulang, itupun cuma dua hari. Kami melakukan hal yang sama seperti biasa, tetapi bagiku rasanya beda. Dia sudah mandiri, tumbuh dewasa, dan aku merasakan jarak di antara kami.

Karena itulah aku malas menelponnya, tetapi suatu saat Ibuku sudah habis kesabaran dan menelepon Mira, dia tahu aku ga bakalan mau telpon Mira. Ibu ngobrol paling ga sepuluh menit, tertawa lalu dia berkata, "Tunggu, Miranda, Yohan mau minta tolong," dan memberikan telepon kepadaku.

"Hai Mira," kataku. Kami sudah terbiasa memanggil nama saja sejak kecil.

"Hai Yo, senang dengar suaramu. Sudah lama banget kita ga ketemu!"

"Iya, "kataku, lalu,"Ada yang mau aku tanyain. Aku mau ke Jakarta Jumat depan untuk wawancara di *** dan kalau boleh aku numpang ditempatmu. Tapi kalau misalnya ga bisa gapapa, aku bisa cari- "

"Yo, itu bakal seru!" dia menyela aku. "Aku benaran senang deh. Seni rupa? Mengikuti jejakku kalau gitu?"

"Ya, pasti ga sejago kamu, tapi minatnya ke jurusan itu sih."

Kami ngobrol sebentar dan Mira berjanji akan jemput di terminal dan mengantar aku keliling kota.

Aku metutup telepon dan Ibu menatapku. Akhirnya dia berkata, "Jadi?"

Aku nyengir, "Dia bilang sebaiknya aku nginep diapartemennya sekalian sampai Minggu, biar bisa ngobrol lama. Gimana menurut Ibu? Aku akan minta ijin ke Mas Jarwo Kamis sore dan Jumat libur dan kembali lagi hari Minggu."

Ibu sempat berpikir sebentar, tapi aku tahu dia bakal setuju, dan dia mengangguk sambil tersenyum.

Aku memeluknya dan berkata, "Makasih Bu. Aku tahu kalau aku kuliah disana aku harus ninggalin Ibu dan Nadia, tapi aku pingin banget bisa kuliah."

"Ibu tahu kamu pingin banget kuliah, Yohan. Nanti kita pikirkan lagi gimana baiknya. Ibu sudah berhasil sebelumnya, pas ayahmu meninggal, dan Ibu bisa menyesuaikan diri. Ibu ga ingin kamu tinggal di sini hanya buat jagain kami. Kamu harus mengejar mimpimu."

Kami tinggal di rumah kecil peninggalan Ayah di pinggiran Kabupaten Purworejo. Tapi aku harus bilang sebenarnya dia bukan ayah kandungku.

Ibu hamil saat SMA dan drop out untuk menikah pada usia 16 tahun. Dia baru berusia 17 tiga bulan pas aku lahir. Pada saat dia berusia dua puluh tahun ayah kandungku meninggalkannya dan dia membesarkan aku sendirian selama dua tahun. Pria yang lalu aku panggil Ayah bertemu dan menikahinya ketika dia berusia dua puluh tiga., dan meskipun aku masih muda, aku bisa merasakan Ayah tiriku sangat menyayangi kami.

Sampai kemudian seorang pengemudi mabuk menerobos lampu merah dan menabrak tepat di pintu mobil Ayah. Dia dinyatakan meninggal di tempat kejadian dan pada usia lima belas tahun aku berdiri di tengah hujan di pemakamannya, memegang tangan adik perempuanku, putri kandung ayah.

Klaim asuransi tidak besar dan Ibu menggunakan sebagian besar uangnya untuk mengamankan cicilan rumah dan biaya sekolah kami sambil bekerja serabutan.

Aku menyelesaikan SMA dan kami duduk dan membahas masa depanku. Aku suka melukis dan menggambar dan aku ingin mengikuti sepupuku Miranda yang kuliah Seni di Jakarta dan sekarang sudah di tahun ketiganya. Kami duduk hingga larut malam, dan mendiskusikan apakah aku harus kuliah atau tidak.

Meskipun ingin melanjutkan studi, aku ga ingin meninggalkan Ibu dan Nadia sendiri disini. Sebaliknya, Ibu ga mau menahanku. Akhirnya aku memutuskan untuk menunda kuliah satu tahun. Aku kerja selama beberapa hari seminggu membantu Mas Jarwo seorang kontraktor tetanggaku. Dia selalu kekurangan karyawan dan langsung menerimaku bekerja saat tahu aku butuh pekerjaan.

Aku sudah membaca tentang berbagai perguruan tinggi, tetapi yang ingin aku tuju adalah ke Jakarta, sama seperti Mira dan utamanya karena aku bisa dapat beasiswa penuh disana.

Dan akhirnya aku ada disini, lima menit dari terminal tujuan bus. Sedikit gugup menghadapi interview beasiswa nanti, tetapi juga karena akan bertemu Miranda lagi.

Aku sedikit naksir Mira sejak masa remajaku, tapi untungnya dia sepertinya ga pernah menyadarinya. Ketika dia tumbuh dan berkembang, aku sering tanpa sadar memperhatikan bentuk tubuhnya yang mulai tumbuh. Dia pasti tahu aku melakukan itu, tetapi dia ga pernah mengatakan apa pun apalagi marah. Ketika aku dewasa aku secara sadar berusaha untuk berhenti, tetapi pada saat yang sama Mira berkembang menjadi wanita dewasa dan makin hari makin cantik dan menarik.

Mira bertinggi badan 164 cm, hanya beberapa cm lebih pendek dariku. Bertubuh langsing dengan pinggang ramping. Tapi, yang paling menarik perhatian adalah dadanya. Ga terlalu besar, mungkin 34C, tetapi benar-benar terlihat bulat, kencang dan padat.

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel