Bab 3. Dia Charles Langston
Otak Cecilia menjadi blank di kala melihat sosok pria yang harusnya tak dia temui lagi, tapi ternyata ada di dekatnya. Matanya sampai melebar menunjukkan keterkejutan. Lidahnya mendada kelu, tak mampu merangkai kata sedikit pun. Apalagi di kala pria itu menyapanya, tidak ada yang bisa dia katakan. Semua di pikirannya seakan kacau.
Cecilia tampak duduk dengan gelisah, bercampur dengan rasa ketakutan. Matanya sampai berkedip beberapa kali, guna memastikan bahwa semua yang dia lihat ini adalah ilusi semata, tetapi sialnya ketika mata kembali terbuka setelah beberapa kali berkedip, ternyata ini semua adalah nyata, bukan ilusi.
What the fuck? Kenapa pria itu di sini! Cecilia menjerit dalam hati, merutuki nasibnya yang sial.
Ya, kemunculan pria yang menghabiskan malam panas dengannya kemarin benar-benar membuat tubuhnya panas dingin. Panas saat ingat setiap sentuhan pria itu yang memabukkan. Dingin karena rasa gugup yang kian pekat serta rasa takut yang terus merayap.
Cecilia ingin beranjak meninggalkan ruang rapat itu, tetapi dia sadar bahwa dia tak bisa melakukan itu. Ancaman sialan Evan, membuatnya tak berkutik. Dia bagaikan terkurung di dalam jeruji besi yang pintunya bahkan bisa terbuka. Hanya saja, dia belum bisa melarikan diri untuk sekarang ini. Entah, bagaimana dengan selanjutnya, karena kontrak kerja sialan yang dia tanda tangani adalah dia harus mengabdi di perusahaan mantan tunangannya minimal lima tahun. Ini memang sudah gila.
“Sebelumnya, aku ingin memperkenalkan seorang penting kepada kalian.” Evan berdiri, menatap tamu yang dia nantikan. Tampak aura wibawa begitu kental di wajahnya.
Semua orang menatap sopan Evan, menunggu Evan melanjutkan ucapan.
“Sosok yang baru datang adalah sosok yang penting. Beliau merupakan salah satu pemegang saham yang baru sekarang ini dapat mengikuti rapat. Beliau cukup lama meninggalkan London, menetap tinggal di Tuscany. Tentu momen kedatanganya sangat dinantikan. Merupakan sebuah kehormatan besar bagi saya karena hari ini beliau dapat muncul di tengah-tengah kita,” kata Evan dengan senyuman lebar di akhir. Tutur katanya penuh oleh kesan bahagia. Membuat banyak orang mulai merasa tertarik pada sosok yang dimaksud.
Kemudian, Evan mengarahkan telapak tangan kanannya untuk menunjuk sebuah arah. Tampak jelas Cecilia terkejut begitu dirinya menjadi pusat perhatian. Namun, tidak, bukan dia. Sebab, pria yang duduk di sampingnya tiba-tiba berdiri.
“Paman Charles Langston, salah satu pemegang saham sekaligus pamanku. Beliau adalah adik kandung ayahku yang sudah lama meninggalkan Londin,” ujar Evan mengumumkan. Dia terang-terangan mengumumkan ikatan saudara dengan pria yang berdiri itu.
Cecilia sontak mengangkat pandangan dengan jantung serasa berhenti berdetak. P–paman ...? Apa aku salah dengar? batinnya, tidak percaya dengan pendengarannya sendiri.
“Paman Charles, terima kasih telah menghadiri rapat, padahal aku mendapatkan informasi bahwa Paman baru saja kembali dari Tuscany.” Evan berbicara dengan nada ramah. Hanya ditanggapi senyuman lebar dan anggukan singkat oleh Charles. “Paman Charles, mungkin ada tambahan untuk perkenalan dirimu?” tanyanya penuh rasa hormat, dan sopan.
“Tidak ada.” Charles menjawab singkat.
Suaranya yang berat dan bernada tegas itu seketika membuat Cecilia membeku kaku. Jantungnya berdentam-dentam hebat.
A–aku ... aku sudah bercinta dengan paman mantan tunanganku sendiri?
Keterkejutan itu tidak bisa ditutupi lagi di wajahnya. Cecilia terlalu terkejut sampai tidak bisa cepat-cepat menguasai diri. Sekarang dia sibuk mengembalikan fungsi tubuhnya yang sempat membeku saat mendengar fakta mengejutkan itu.
Ti–tidak mungkin .... Bagaimana bisa?
Cecilia mencoba menelan ludah, tetapi rasanya teramat susah. Kedua matanya yang membola bahkan sulit untuk mengedip. Tubuhnya sudah gemetar kecil di kursinya. Mendadak dia seperti duduk di atas gunung berapi aktif yang sewaktu-waktu bisa meledak dengan dahsyat. Menghancurkannya.
Charles menyadari kegugupan hebat yang dialami Cecilia. Ekor matanya bisa melihat bagaimana wanita itu seperti akan mati sekarat. Sejak tadi, pria tampan itu bahkan diam-diam terus mengamati gerak-gerik wanita yang duduk di sampingnya. Sebuah pemandangan yang menarik.
Setelah perkenalan singkat itu, Evan kemudian menyuruh Charles untuk duduk kembali. Charles duduk tanpa banyak kata. Dia sedikit merapikan jas, berdeham pelan. Namun, jelas itu untuk menegur Cecilia dan menyadarkan wanita tersebut dari keterkejutan.
Di depan, Evan lanjut berbicara beberapa patah kata. Sementara Cecilia tak terlalu mendengar karena sekarang dia benar-benar sangat ketakutan. Bahkan, untuk menarik satu helaan napas pun rasanya sulit.
Charles, pria yang sejak tadi menguarkan aura intimidasi, sekarang benar-benar seperti akan membunuhnya. Membunuhnya dengan fakta memalukan yang terjadi di antara mereka.
“Untuk mendukung rencana itu, saya secara resmi menunjuk direktur marketing kita, Cecilia Moreau, sebagai penanggung jawab utama atas strategy marketing kita yang baru untuk brand fashion yang sekarang kita fokuskan. Tentu kredibilitas dan kinerja Nona Moreau menjadi pertimbangan terkuat sehingga saya mengambil keputusan ini. Kemudian, saya menunjuk Berta Stone sebagai asisten untuk membantu Cecilia.”
Pengumuman Evan berikutnya membuat Cecilia nyaris serangan jantung. Keterkejutannya akan fakta bahwa Charles adalah paman Evan bahkan belum surut, sekarang dia harus mendengar pernyataan Evan bahwa dirinya harus menjadi penanggung jawab utama, dengan Bertha berperan sebagai asisten.
Oh, astaga. Adakah kejutan hari ini yang lebih buruk dari ini?
Wajah Cecilia merah padam dengan cepat, terlebih saat dia tidak sengaja bertatapan dengan Bertha. Mantan sahabatnya itu tampak melontarkan tatapan menantang yang membuat Cecilia ingin menggebrak meja.
“Aku sangat menantikan kinerjamu yang maksimal dan memuaskan, Cecilia,” bisik sebuah suara berat tepat di telinga kiri Cecilia. Mengalihkan perhatian wanita itu.
Cecilia setengah membanting wajah dan menatap nyalang pada Charles. Ketakutan, keterkejutan, dan amarah menyatu dalam sepasang matanya. Hal itu justru diperparah saat melihat seringai miring di wajah Charles.
“Aku yakin, kau tahu cara melakukan yang terbaik.” Charles melanjutkan, masih dengan bisikan nakalnya.
Cecilia berjengit tanpa suara. Tangannya menjadi gemetar ketakutan. Namun, dia berusaha untuk sekuat mungkin tetap tenang. Tampak dia secara otomatis melemparkan tatapan peringatan pada Charles, sedangkan pria itu hanya membalas dengan tatapan menunjukkan seolah penuh kemenangan.
Charles Langston sepertinya tidak punya niat untuk menyimak lebih dalam pada apa yang diucapkan keponakannya. Sepanjang waktu sisa rapat, pria tampan itu hanya terus menatap Cecilia yang tampak panik. Wajah panik wanita itu membuatnya benar-benar gemas. Namun, justrudia senang melihat Cecilia panik dan ketakutan setengah mati.
Rapat akhirnya selesai dan Cecilia merasa tubuhnya masih terlalu tegang untuk bergerak. Padahal dia ingin cepat-cepat meninggalkan ruangan, membebaskan diri dengan menghirup udara segar sebanyak yang paru-parunya bisa. Sebab, sejak tadi dia banyak menahan napas.
Terpaksa mengikuti rapat dan mendapatkan mandat dadakan dari Evan yang membuatnya mau tidak mau harus bekerja sama dengan Bertha. Kemudian, Charles yang tidak berhenti menatapnya benar-benar membuatnya ingin menangis kencang saking emosi.
Ruangan mulai lengang setelah satu per satu peserta rapat keluar sambil berbincang santai. Ada yang hanya basa-basi, ada juga yang lanjut membahas salah satu topik di dalam rapat. Evan juga pergi dengan Bertha. Mereka terlihat berbincang membahas rapat karena Bertha terdengar meminta saran. Padahal Cecilia paham bahwa wanita ular itu sedang memancing Evan untuk mendapatkan sedikit kemesraan terselubung.
Ketika benar-benar hanya tersisa dirinya sendiri di dalam ruangan, satu tarikan napas panjang mengawali runtuhnya pertahanan diri Cecilia. Tubuhnya gemetar pelan di kursi yang masih diduduki. Terlalu tegang karena sejak tadi mati-matian menahan gejolak emosi yang kian bertumpuk-tumpuk. Beragam ketakutan mulai melingkupi, membatasi ruang geraknya.
Jangan sampai kejadian malam itu bocor ..., batin Cecilia sambil mencoba berpegangan ke kursi, berusaha untuk bangkit berdiri. Dadanya masih teramat sesak, dia kesulitan mengambil napas karena semua gejolak itu belum juga redam.
Setelah berhasil berdiri dengan imbang, Cecilia mengambil langkah pertama untuk segera meninggalkan ruangan. Langkahnya tertatih-tatih. Dia ingin pergi ke tempat terbuka, untuk membebaskan paru-parunya dan melepaskan beban di dadanya.
Setelah berjalan terseok-seok, Cecilia akhirnya berhenti di sebuah lorong yang sepi. Tubuhnya segera merapat ke ceruk dinding yang cukup baik untuk menyembunyikan dirinya dari tatapan orang-orang lewat.
Cecilia luruh untuk kedua kali. Paru-parunya mengambil napas dengan rakus. Tubuhnya masih gemetar hebat.
Ini gila. Ini sungguh neraka! Cecilia membatin dengan kalap. Bagaimana bisa aku berada di satu ruangan dengan orang-orang berengsek itu? Dia mengatur napas yang berembus keras. Paru-parunya belum berfungsi dengan baik. Takut. Gugup. Marah. Semua perasaan itu membuat tubuhnya panas dingin.
Fakta bahwa aku bercinta dengan paman mantan tunanganku sendiri benar-benar membuatku nyaris gila detik ini juga! Cecilia tidak ketinggalan mengumpati dirinya sendiri yang sudah bertindak bodoh dan ceroboh. Oh, astaga. Aku memang sudah gila.
Dia mengusap kasar wajahnya berkali-kali, sampai rambutnya nyaris kusut. Rasa putus asa kesal dan emosi pada dirinya sendiri, membuatnya benar-benar tak bisa terkendalikan.
“Tidak baik menggosok wajahmu dengan sekasar itu. Nanti kau terluka.”
Cecilia memekik tertahan, kontan menegakkan tubuh begitu mendengar suara yang familier itu. Serak dan berat. Mendadak dia ingat bagaimana pria itu mendesahkan namanya.
Hentikan pikiran sintingmu, Cecilia! umpatnya. Urat-urat lehernya menegang begitu matanya menemukan kemunculan Charles tiga langkah di depannya. Pria tampan itu menemukannya. Bagaimana bisa? Apa dia dibuntuti?
Charles muncul dengan tangan bersedekap di dada. Cecilia memelotot penuh pada pria itu. Matanya bergerak mengikuti setiap gerakan yang dilakukan Charles ketika kembali melangkah mendekat padanya. Kemudian, Cecilia lagi-lagi membeku sepenuhnya begitu tubuh tinggi tegap pria itu berhenti di depannya, seperti siap mengungkungnya. Sementara dia hanya bisa merapat ke dinding dengan mencicit ketakutan.
Tangan Charles terulur dan mengusap ringan blazer tailored fit Cecilia. “Kau tampak cantik dengan busana formalmu ini, tapi aku lebih suka melihat tampilanmu yang kemarin. Liar dan seksi. Apalagi saat menari di atasku,” kata Charles terang-terangan.
Hari ini, Cecilia tampil cantik dengan blazer tailored fit warna blush rose dengan sedikit belahan V di dada. Memperlihatkan sepotong blouse satin silk berwarna champagne ivory dengan pita kecil di bagian dada. Kemudian, untuk bawahan, dia memakai rok pencil pants hight-waist berwarna senada dengan blazer. Tampilan yang memberi kesan kepercayaan diri dan daya tarik profesional.
“Diam!” bentak Cecilia yang langsung lepas kendali. Napasnya kembali memburu. Namun, dia tidak bisa berbuat banyak karena sudah terpojok di dalam kungkungan pria itu.
Charles berbahaya untuknya. Pria itu mengincarnya!
“Kau berani membentakku, hm?” tanya Charles santai. Dia menopangkan tangan kiri di dekat kepala Cecilia, membuat wanita itu memelotot ngeri sambil menahan napas. Kemudian, dia merundukkan tubuh hingga kening mereka nyaris bersentuhan. “Tapi, saku akui kau adalah wanita yang berani, Cecilia. Seperti saat kemarin kau menyerangku duluan.”
Wajah Cecilia memanas dengan cepat. Kedua tangannya membulat kuat sampai kuku-kukunya nyaris menancap di telapak tangan. “Kenapa kau membuntutiku, hah? Di mana sopan santunmu?” serangnya dengan emosi meledak-ledak.
Charles justru melebarkan senyum miring. “Ah, aku hanya merindukanmu,” katanya main-main, dengan suara serak yang rendah. Embusan napasnya menerpa wajah wanita itu.
“Jangan macam-macam!” Cecilia berteriak lagi.
“Ssst!” Charles menyimpan telunjuk di bibirnya sendiri. “Turunkan suaramu, atau kita akan ketahuan.”
Ancaman itu sukses membuat Cecilia menelan kembali kata-kata makian yang siap dilontarkan untuk Charles.
Charles beralih menelusuri garis rahang Cecilia, merasakan kulit wanita itu yang lembut. “Kau membahas sopan santun. Bukankah kau yang tidak punya sopan santun karena malam kemarin sudah menyerangku dengan tidak sabaran?” singgungnya.
Sialnya, Cecilia langsung ingat dengan jelas apa yang dia lakukan kemarin malam pada pria ini. Membuat dadanya siap meledak karena amarah bercampur rasa malu. Namun, pria itu sepertinya belum mau berhenti dari mengorek kejadian malam kemarin.
Ya. Cecilia menduga otaknya sudah tertinggal di rumah saat pergi ke kelab malam. Bisa-bisanya dia langsung menggoda pria asing hanya karena pria itu memiliki paras tampan—yang sekarang direvisi menjadi ‘pria berwajah menyebalkan’.
Cecilia menepis kasar tangan nakal pria itu. “Apa yang kau katakan, hah?” Dia berusaha menyangkal. Namun, nada gugupnya menjelaskan bahwa dia sedang melakukan kebohongan.
“Oh. Kau pura-pura lupa?” cibir Charles geli. Dia lalu mencondongkan tubuh ke depan dan berbisik serak, “Apa kita harus mengulang momen panas kemarin, di sini, agar membuatmu mengingat kembali keseruan kita semalam?”
Cecilia menahan umpatan. Kedua tangannya gatal sekali ingin melayangkan tamparan ke wajah menyebalkan Charles. Bibirnya merapat dalam satu garis yang gemetar.
“Bagaimana?” tanya Charles, dengan sengaja mendesak. “Aku ingin bermain denganmu sekali lagi. Bermain dengan panas.” Dia berbisik tepat di telinga kanan Cecilia. Diakhiri senyuman miring yang penuh kelicikan.
Bayangan demi bayangan kejadian itu berdesakkan memasuki kepala Cecilia. Membuatnya berakhir memejamkan mata dan mengatur napas yang memburu. Hidungnya bisa mencium kuat aroma maskulin yang familier ini, yang membuatnya kian mengingat jelas malam panas mereka.
“Kau ... terlihat takut.” Charles menatap geli pada wanita di depannya yang tidak berkutik sama sekali. “Ada apa? Kau membutuhkan bantuanku untuk merelakskan tubuhmu, hm?” tanyanya lagi.
Cecilia mengangkat kepala dan menyorotkan matanya yang sudah memerah pada Charles. “Kalau kuminta untuk merahasiakan malam itu, bagaimana?” tanyanya dengan keberanian yang tersisa.
Charles tidak langsung menjawab. Keningnya mengerut dalam, tanda sedang berpikir. “Bagaimana, ya?” katanya, seperti menimbang-nimbang. “Apa kau bisa memberi imbalan?”
Sialan! umpat Cecilia di dalam hati. Tatapan tajamnya seakan-akan meneriaki pria itu dengan segudang umpatan kasar. Sikap diamnya lalu membuat senyuman misterius Charles terbit.
Pria yang sudah kembali berdiri tegak tanpa menarik jarak itu kembali merunduk. Membuat wajah mereka begitu dekat, seperti siap berciuman. Tampak tubuh Cecilia gemetar pelan saat telunjuk panjang Charles menyentuh dagunya dan mengangkatnya. Membuatnya mendongak dan menatap gugup pada sepasang mata tajam itu.
“Rasanya aku tidak ingin melepaskan barang seberharga kamu,” kata Charles dalam nada rendah mirip bisikan. Tegas, penuh keseriusan.
Cecilia gemetar sebadan-badan. Mati-matian menahan napas. Terlebih begitu Charles mendekatkan bibir mereka. Tidak. Dia tidak siap kalau pria itu tiba-tiba menciumnya. Di sini, di ruang terbuka. Namun, tubuhnya sudah tidak bisa dikontrol, hanya diam kaku seperti patung. Dia tidak bisa melarikan diri.
Sayangnya—atau untungnya, tidak ada ciuman. Begitu Cecilia memejamkan mata dan menunggu selama beberapa detik, tidak ada benda yang menempel di bibirnya.
“Kenapa tatapanmu terlihat kecewa?” tanya Charles pura-pura penasaran. “Apa kau merindukan bibir dan lidahku, hm?”
“Kau bajingan!” Cecilia akhirnya meloloskan sebuah umpatan.
Charles hanya tertawa singkat. “Kau cukup menyenangkan,” katanya setelah menjauhkan wajahnya dari wanita itu. Tangan kirinya pun turun dan tersimpan kembali di sisi tubuh, membebaskan kungkungan dari Cecilia. Termasuk membebaskan dirinya sendiri dari sensasi panas yang mulai merayapi.
“I have to go. Sampai jumpa lagi, Nona Moreau.” Charles berbicara dengan nada lebih ringan sekarang. Dia menarik diri, mundur, lalu berbalik dan mengambil langkah pertama untuk pergi.
Pria tampan itu meninggalkan Cecilia yang akhirnya meluruh dengan lemas. Cecilia benar-benar dibuat kacau oleh sosok Charles Langston.
