Bab 2. Pertemuan Tak Disangka
Bodoh. Aku memang bodoh.
Cecilia Moreau tak henti mengumpati dirinya sendiri seiring kedua kakinya yang melangkah tegas di sepanjang koridor. Bayangan-bayangan panas tadi malam tak henti mengusik kepalanya.
Kali ini, bukan bayangan video adegan panas Bertha dan Evan, melainkan momen one night stand-nya semalam. Dengan seorang pria yang entah siapa namanya. Hanya saja, Cecilia cukup ingat wajah itu meski agak samar. Terutama bagian ketika tubuh mereka saling menempel dan memuaskan. Bayangan yang itu justru teringat kuat. Membangkitkan sensasi panas di sekujur tubuh.
Cukup! Sialan! Cecilia mendengkus marah, entah pada siapa. Dia mengepalkan kedua tangan, nyaris meremas selembar kertas di tangan. Kertas yang membuatnya memaksakan diri untuk berkunjung ke ruangan itu. Dia mulai mencoba mengendalikan diri. Pagi buta tadi dia berhasil melarikan diri dari hotel—di mana menjadi tempat dirinya one night stand dengan pria asing. Pun beruntung dia pergi dalam keadaan pria itu masih terlelap. Jika saja pria itu sudah bangun, maka dia akan bingung bagaimana untuk bersikap.
Pintu diketuk dua kali olehnya. Kemudian, terdengar instruksi suara pria dari dalam sana. Cecilia pun masuk.
Sepasang mata Cecilia kini menatap nyalang pada sosok pria di balik meja, tengah duduk tegak di kursi. Pria berparas tampan yang dulu begitu dikagumi dan dicintainya dengan sepenuh hati. Pria yang berstatus sebagai tunangannya, tetapi berakhir mengkhianatinya dengan berselingkuh dengan sahabatnya sendiri.
“Hai, Sayang,” sapa Evan dengan nada manis seperti biasa. Dia tampak tak memiliki kecurigaan sedikit pun.
“Berhentilah basa-basi dengan mulut busukmu, Evan.” Cecilia langsung menyerang dengan tajam. Ketukan heels tingginya kembali terdengar begitu dia melangkah cepat ke meja Evan. Kemudian, tangan kanannya setengah memukulkan selembar kertas itu pada permukaan meja. “Aku mau resign!”
Evan tampak mengerutkan kening dalam sembari mulai memfokuskan pandangan sepenuhnya pada wanita itu. “Kenapa mulutmu jadi bisa mengeluarkan kata-kata kasar, Sayang?” Dia bangkit berdiri, mengulurkan tangan untuk menyentuh lembut pipi Cecilia. “Ada apa, hmm?” tanyanya lembut.
Namun, Cecilia menepis kasar tangan pria itu. “Aku mau resign!” ulangnya dengan emosi membara.
Evan mengernyit dalam, sedikit melirik selembar kertas di atas meja. “Ada apa?” Sekarang nada bicaranya lebih serius.
“Ada apa?” beo Cecilia, sebelum tertawa sinis dan bersedekap. “Jelas aku minta resign karena tidak ingin lagi menghirup udara di ruangan yang sama dengan pria bajingan sepertimu!” lanjutnya sarkas.
Evan mengerutkan kening bingung. “Sayang, ada apa? Kau kenapa sampai marah-marah begini?” tanyanya dengan nada membujuk. Dia heran dan tak mengerti melihat perubahan signifikan Cecilia. Biasanya kalau wanita itu datang ke kantornya, maka pasti akan langsung bergelayut manja, lalu mereka bertukar ciuman singkat.
Cecilia tertawa rendah dengan nada menusuk. “Berhenti bermain topeng di depanku, Evan,” peringatnya muak. Matanya menatap nyalang pada wajah kebingungan pria itu. “Aku sudah tahu semuanya!”
“Topeng?” Evan mengernyitkan kening. “Aku tidak paham, Sayang. Coba jelaskan baik-baik.” Dia menggenggam lembut kedua tangan Cecilia, membawanya ke dekat bibir, dan memberi ciuman singkat.
Lagi-lagi Cecilia menarik tangan, menolak sentuhan darinya. Tampak Seketika mata Evan bergerak-gerak, berusaha menganalisis keadaan—yang seakan mneunjukkan adanya tanda bahaya.
“Kau berselingkuh dengan Bertha, kan?” tembak Cecilia dengan kobaran amarah yang nyaris tak bisa ditahan lagi.
“Apa yang kau katakan?” tanya Evan, masih pura-pura tidak paham. Namun, Cecilia bisa melihat sekilas keterkejutan yang muncul di mata pria itu.
“Kau seorang pria cerdas, Evan. Jangan berpura-pura lagi. Aku sudah melihat video panasmu dan Bertha!” Suara Cecilia bergetar, matanya tetap memandang penuh pada wajah yang mulai menunjukkan reaksi lain itu.
Evan lalu tertawa, masih berusaha menyangkal. “Kau salah paham, Sayang. Itu video, kan? Jangan percaya sesuatu yang tidak kau lihat dengan mata kepalamu sendiri,” bujuknya sambil mulai menyentuh pundak Cecilia. Namun, lagi dan lagi wanita itu menepis sentuhannya dengan kasar.
“Kau pikir aku buta, hah?” teriak Cecilia. Napasnya memburu dan cepat, matanya sudah memerah dan terasa panas. “Aku mendengar sendiri kalian saling mengucap kata cinta. Aku melihat sendiri kalian berciuman hebat dan bermain di ranjang! Itu tandanya apa? Apa kalian sedang menjadi bintang film? Jadi, aku harus percaya bahwa video itu hanya kebohongan?” lanjutnya dengan nada tetap tinggi.
Ruangan seketika hening. Bola mata Evan bergerak-gerak cepat, mengamati baik-baik wajah wanita di depannya yang sudah merah padam sepenuhnya. Pria itu terlihat menunjukkan kepanikan di wajahnya.
“Kau diam artinya iya, kan?” teriak Cecilia lagi. Suaranya menggelegar di ruangan. “Sejak kapan, Evan? Sejak kapan kalian menusukku dari belakang? Berapa malam yang kalian habiskan bersama, hah? Berapa kali kau menikmati tubuhnya, hah?”
Kata-kata tajam wanita itu justru ditanggapi dengan santai oleh Evan. “Kau marah karena aku bercinta dengan sahabatmu?” tanyanya dengan santai. Tidak ada lagi topeng pura-pura polos yang dipakainya dengan lihai. Telanjur basah, kan? Jadi, sebaiknya dia meladeni kemarahan wanita itu.
Cecilia hampir saja melayangkan sebuah tamparan keras ke wajah tampan yang menyebalkan itu. Namun, dia menahan diri dengan mengepalkan kedua tangan dan masih bersedekap dada. Hanya wajahnya saja yang mulai merah padam.
“Kenapa marah, Sayang? Harusnya kau tanya pada dirimu sendiri.” Evan merundukkan tubuh tinggi tegapnya ke arah Cecilia. Matanya menatap tajam pada wajah wanita itu yang dipenuhi amarah. “Kita memang menjalin ikatan yang penuh cinta, tetapi cinta saja tidak cukup, Sayang. Aku pria normal. Aku butuh seks. Sementara kau tidak pernah mau memberikan itu padaku.”
Setiap kata-kata itu mewujud bak sebilah pedang tajam yang menyayat, menusuk, dan mengoyak hati Cecilia yang sudah hancur sejak kemarin. Tampak jelas kemarahan di wajah wanita itu tak lagi bisa terkendali.
“Kau tidak bisa memberikan itu, kan? Kau selalu berpegang teguh pada aturan kolotmu. No sex. Ayolah, kita sudah hidup di era modern. Kau adalah tunanganku, tapi kita tidak having sex itu untuk apa?” Evan menatap tajam dengan senyuman miring menghiasi wajah tampannya.
Cecilia hampir kehabisan kata-kata saking terbakar oleh emosi. Dadanya bergemuruh hebat dengan sensasi panas yang mulai menyebar ke sekujur tubuh. “Kenapa harus Bertha?” tanyanya dengan nada gemetar. Matanya panas bukan main. Namun, dia mati-matian menahan diri karena tidak ingin menjatuhkan air matanya setetes pun untuk pria seberengsek Evan. “Kenapa harus sahabatku?” tanyanya lagi menahan gejolak di dalam dada.
“Of course because she is beautiful, sexy, and a good partner in bed,” jawab Evan diakhiri senyuman puas. “Lagi pula, Bertha yang melemparkan dirinya sendiri padaku.”
“You jerk!” umpat Cecilia dengan napas memburu.
Tangan kanan Evan terulur dan menyentuh dagu Cecilia, sedikit mengangkat untuk membuat wanita itu mendongak, lalu menelusuri garis dagunya dengan gerakan lambat. “Kau cantik. Aku mengagumi itu. Apalagi bibirmu. It’s a pity I can’t enjoy your naked body.” Nadanya terdengar kecewa. “Itu mengecewakan, Baby. Jadi, aku cari pelampiasan lain saja, kan?” Senyum liciknya terbit.
Cecilia menepis kasar tangan pria itu dan mendorong tubuh Evan. Namun, Evan hanya tertawa remeh. Posisinya tetap kokoh sehingga dorongan Cecilia tadi bukan apa-apa.
Kedua pundak wanita itu naik turun dengan cepat, embusan napasnya terdengar kasar. “Kau sungguh berengsek, Evan!” hardiknya berang.
“Aku hanya sedikit berselingkuh. Lagi pula, itu juga untuk melindungi dirimu sendiri yang tidak ingin having sex denganku sebelum menikah, kan? Jadi, daripada aku memaksamu dan melakukan cara-cara licik untuk membuatmu tidur denganku, aku lebih baik mencari wanita lain sebagai pelampiasan,” kata Evan dengan santai.
“Berengsek! Bajingan! Manusia rendahan kau, Evan!” Cecilia terus berteriak sambil memukuli dada Evan. Namun, dengan cepat Evan meringkus kedua tangannya. Hanya dengan satu tangan.
Tatapan mereka kemudian beradu. Evan bisa melihat dengan jelas kobaran amarah di kedua mata Cecilia yang biasa menatapnya penuh cinta. Oh, itu sedikit menyakitkan.
“Mulutmu berisik, Sayang,” bisik pria itu tepat di dekat telinga Cecilia. Kemudian, tangan kirinya menggenggam tengkuk Cecilia dan mendorong paksa wanita itu untuk mendekatkan bibir.
Mereka berciuman secara paksa. Cecilia berusaha berontak dan membuat Evan kesusahan melumat bibirnya. Hingga akhirnya, dia menggigit bibir pria itu, membuat ciuman terlepas dan Evan yang terkejut pun melepaskan cengkeraman pada tangannya. Lantas, dia segera mundur dengan napas putus-putus.
“Sakit, Sayang,” kata Evan sambil mengusap sedikit darah di sudut bibirnya. Harga dirinya sedikit terusik dengan semua penolakan Cecilia kali ini.
Pria itu lalu mengambil selembar kertas pengajuan resign di meja dan membacanya sekilas. “Resign?” katanya dengan nada mencemooh. Dia lalu berkata dengan amarah yang akhirnya tak ditahan-tahan lagi. “Kau berani berontak sekarang, hm? Kau lupa, ya, aku yang memberimu posisi sepenting ini?” Dia meremas kuat kertas itu sampai kusut dan menjadi bola kecil.
“Aku Evan Langston, CEO Langston Group. Seharusnya kau mempertahankan statusmu sebagai tunanganku karena kau tanpaku itu cuma seonggok sampah!” Suara Evan mirip desisan penuh ancaman. Tajam penuh peringatan.
Plak!
Kesabaran Cecilia sudah habis sehingga dengan cepat tangan kanannya mendarat kencang di pipi kiri pria itu, begitu Evan kembali berdiri di depannya untuk mengintimidasi.
Evan tertawa sinis lalu dengan cepat kembali mencengkeram pergelangan tangan Cecilia. Kali ini dengan emosi yang lebih meledak. Membuat wanita itu meringis sakit karena cengkeramannya sangat kuat. “Buka matamu, Cecilia! Kau mendapat posisi direktur marketing karena kau adalah tunanganku, padahal kau baru saja lulus kuliah. Kau tidak segenius itu, ingat!” serunya tajam.
Apa yang dikatakan Evan memang tidak sepenuhnya salah. Cecilia baru saja diangkat sebagai direktur marketing perusahaan ini. Padahal dia baru saja lulus S1 Fashion Business di Central Saint Martins. Tentu saja kariernya yang mulus karena campur tangan Evan.
Evan dan Cecilia bertunangan sejak usia Cecilia 18. Perjalanan asmara mereka mulus-mulus saja selama ini. Cecilia sangat mencintai Evan yang menjadi sosok kekasih idaman. Sebelum bau-bau perselingkuhan mulai tercium dan akhirnya Cecilia tidak sengaja menonton video tidak senonoh pria berusia 25 tahun itu dengan sahabatnya sendiri.
“Memangnya kau bisa apa kalau lepas dari tanganku, hah?” Evan tertawa mencemooh. Suaranya menggema. “Kau pikir semudah itu melepaskan diri dariku? Resign? Apa kau tidak bisa membaca? Di kontrak bahkan tertulis bahwa pegawai bisa resign dari perusahaan ini setelah minimal lima tahun kerja.” Dia mendekatkan kepala, mendesis tepat di depan wajah Cecilia.
Cecilia terkejut mendengar fakta itu. Namun, dia tak bisa memikirkan hal itu untuk sekarang. Sebab, hati dan kepalanya sudah penuh oleh kata-kata tajam yang merendahkannya. Emosinya seperti akan meledakkan dirinya saat itu juga.
Evan akhirnya mengempaskan Cecilia dengan muak, membuat wanita itu terdorong mundur beberapa langkah. Dia menghela napas, berusaha meredam emosi. “Sekarang kembalilah bekerja. Persiapkan dirimu untuk meeting dengan para pemegang saham. Kau ikut denganku,” titahnya final.
“Tidak akan!” teriak Cecilia. “Aku ke sini untuk mengajukan pengunduran diriku! Silakan kau setujui, agar kau bisa bebas bercinta dengan Bertha tanpa harus sembunyi-sembunyi lagi dariku!”
Evan yang sudah berhasil menurunkan emosi, akhirnya kembali terbakar mendengar itu. “Baiklah. Resign-mu akan kusetujui ... asal kau berhasil memuaskanku malam ini. Itu sebagai bayaran dari kontrak perjanjian perusahaanku dan kau,” desisnya tajam, tak main-main.
“Kau ternyata sehina itu, Evan ....” Cecilia kehabisan kata-kata. Tak lagi bisa berpikir saat emosi yang memenuhi dadanya kian sulit ditahan. Dia akhirnya memilih berbalik dan melangkah pergi dengan hati luar biasa terbakar amarah. Segudang umpatan tak henti dilontarkan untuk pria itu meski hanya di dalam hati.
Pengajuan resign-nya yang ditolak mentah-mentah tak seberapa menyakitkan dengan setiap kata yang keluar dari mulut kotor Evan. Cecilia disudutkan habis-habisan, padahal di sini dialah korban. Dia tak mengira Evan memiliki sisi seberengsek itu. Sekarang dia terpaksa harus patuh pada pria itu, tak bisa melepaskan diri. Cecilia marah dengan ketidakberdayaan dirinya.
Sebelumnya, dia akan senang-senang saja kalau terlibat project dengan Evan. Dia selalu bekerja dengan maksimal untuk pria itu. Namun, sekarang rasanya untuk menjalani sebuah meeting saja sangat sulit karena Bertha pasti ikut. Ya, pasti begitu.
Bertha beberapa kali ikut meeting dengan Cecilia dan Evan, padahal posisi wanita itu tidak berhak. Dulu, Cecilia tidak berpikir banyak perihal itu dan senang-senang saja. Sekarang setelah tahu perselingkuhan mereka, Cecilia rasanya tidak kuasa mengambil satu tarikan napas pun di ruangan yang sama dengan kedua manusia berengsek itu.
Meeting dengan para pemegang saham dijadwalkan dilaksanakan pukul 9.30. Cecilia nyaris terlambat satu menit karena harus mengumpulkan keberanian dan menekan emosi yang masih membara di dadanya sebelum bersiap masuk ke ruangan.
Kursi-kursi yang melingkari meja panjang di ruangan itu sudah nyaris terisi semua. Hanya ada tiga kursi yang masih kosong. Pertama, kursi di ujung meja, satu-satunya—sebagai tanda bahwa itu milik orang dengan posisi penting—adalah milik Evan. Kedua, kursi di sisi kiri, yang berhadapan dengan Cecilia, sudah pasti milik Bertha. Kemudian, terakhir, kursi di sisi kiri Cecilia—dia duduk di sisi kanan kursi milik Evan—yang entah milik siapa.
Layar telah disiapkan. Map-map sudah rapi di tangan masing-masing peserta rapat. Rapat siap dimulai, tinggal menunggu Evan selaku direktur utama dan dua orang tersisa yang belum masuk.
Tak lama kemudian, terdengar langkah memasuki ruangan. Evan Langston akhirnya muncul, dengan Bertha yang berjalan menunduk sambil memeluk map di belakang pria itu.
Cecilia menahan diri untuk tak mendengkus atau mengangkat kepala dan melayangkan tatapan tajam pada dua sosok itu. Sebaliknya, dia justru membuang pandangan ke arah lain. Berusaha menjaga agar fokusnya tidak hancur karena emosi pribadi.
Sayangnya, dia sempat sekilas melirik ke arah Bertha. Wanita yang tampil seksi dan menggoda itu melempar senyuman licik ke arahya. Rasanya Cecilia ingin langsung mencakar wajah menyebalkan itu sampai berdarah-darah.
“Selamat pagi, semuanya.” Evan sudah siap memulai rapat. Suaranya bergema tegas di ruangan yang seketika hening.
Namun, tiba-tiba, pintu kaca yang telah ditutup rapat kembali terbuka. Seseorang pria berpostur gagah muncul, berhasil menarik perhatian semua orang, terkecuali Cecilia yang pura-pura sibuk dengan laptop di depannya.
“Saya sepertinya terlambat.”
Suara itu seketika membuat kedua mata Cecilia membola. Suara familier. Suara yang pernah mendesah bersamanya. Tidak mungkin, kan? Namun, aroma maskulin yang familier menyusul kemudian. Cecilia menelan ludah dengan susah payah. Tubuhnya berubah kaku dengan sensasi dingin yang membekukan.
Pria itu lalu dipersilakan duduk di kursi kosong yang berada di sebelah kiri Cecilia. Tampak Cecilia menunduk, berusaha mengintip, tetapi matanya hanya menemukan sepatu hitam yang berhenti di dekat heels-nya.
Kemudian, sosok itu duduk di samping Cecilia. Aroma maskulinnya yang familier langsung menusuk hidung Cecilia lebih kuat. Wanita itu meraskan kepalanya berputar dengan cepat, lalu dijejalkan banyak klip mengenai adegan panas kemarin malam.
“Halo, Nona,” sapa pria itu dengan nada rendah, dan serak begitu seksi. Suara itu sukses membuat Cecilia membeku, dengan mata yang melebar menunjukkan keterkejutan.
