Pustaka
Bahasa Indonesia
Bab
Pengaturan

2. Suara Mirip Desahan

Beberapa saat sebelumnya, ponsel Jasmine bergetar berkali-kali. Ia baru saja keluar dari ruang kelas ketika melihat nama Kyai Maulana—ayahnya—muncul di layar.

Beliau adalah seorang tokoh agama yang sangat dihormati, dikenal karena ilmu dan wibawanya. Bersama Ummi Khonitah, sang ibu, keduanya adalah sosok sentral di pesantren besar yang dikelola keluarga mereka di Ibukota. Lingkungan pesantren itu selalu ramai oleh santri dari berbagai daerah, dan nama keluarga mereka begitu harum di masyarakat.

Namun justru karena itulah, berita yang disampaikan ayahnya barusan menjadi terasa jauh lebih mengkhawatirkan.

Kyai Maulana memberitahukan bahwa Rosa—putri bungsu keluarga itu—belum juga pulang sejak sore. Padahal jadwal kuliah gadis itu seharusnya selesai lebih awal.

Waktu sudah bergeser jauh menuju malam, tetapi jejak Rosa tak juga terlihat. Ummi Khonitah sudah gelisah, berjalan mondar-mandir di rumah, sementara Ayahnya terdengar berusaha menenangkan diri meski suaranya tak bisa menutupi kecemasan.

Biasanya, Rosa selalu mengabari jika ia terlambat. Setidaknya mengirim pesan singkat. Namun kali ini, sunyi. Terlalu sunyi.

Karena Jasmine juga mahasiswi di kampus yang sama, Kyai Maulana meminta putri sulungnya itu untuk mencari keberadaan sang adik. Meski dilanda firasat buruk, Jasmine langsung menuruti permintaan itu.

Ia keluar kelas begitu dosen mengakhiri materi tambahan malam ini. Untungnya, masih ada beberapa teman yang ikut berjalan bersamanya, membuat suasana kampus yang seharusnya sepi terasa sedikit lebih hidup.

Namun pikirannya tidak bisa tenang.

Sesekali ia mengerutkan kening, menatap layar ponsel, lalu menekan tombol panggilan lagi dan lagi. Hingga akhirnya sambungan telepon tersambung, dan suara Rosa terdengar.

"Rosa, jawab Kakak! Kamu ada dimana sekarang?" tanya Jasmine tegas, suaranya bergetar karena ia merasa benar-benar ada sesuatu yang tidak beres.

"Kak, aku … aku udah perjalanan pulang kok. Serius."

Jawaban Rosa terdengar aneh, lirih, terputus, dan sesekali seperti disertai rintihan tertahan. Bahkan napasnya pun terdengar memburu, seakan ia baru selesai berlari atau melakukan sesuatu yang menguras tenaga.

Jasmine menggenggam ponsel semakin erat.

"Kamu serius? Kamu nggak sedang bohong sama Kakak?"

Ada jeda beberapa detik.

"I … iya, Kak. Aku serius."

Namun ada sesuatu yang berubah di akhir kalimat. Suara Rosa terdengar tiba-tiba teredam, seperti mulutnya ditutup atau dibekap oleh sesuatu. Jasmine langsung berhenti melangkah.

"Kamu terdengar nggak baik-baik saja, Rosa. Apa Kakak harus menjemput kamu? Katakan, dimana kamu sekarang?" tanyanya dengan nada yang semakin cemas.

"Aku nggak apa-apa kok, Kak. Aku baik-baik saja. Kenapa Kakak nggak mau percaya sih? Ah, Kak Jasmine benar-benar sudah menggangguku dan sudah membuang waktuku! Sudahlah, aku matikan saja telfonnya!"

Dan sebelum Jasmine sempat menahan, sambungan itu langsung terputus. Putus begitu saja. Kasar. Tidak seperti Rosa yang ia kenal.

"Astaghfirullahaladzim," bisik Jasmine, istighfar berulang sambil menahan dadanya yang terasa sesak.

Bentakan Rosa barusan bergema di telinganya dan itu menimbulkan rasa tidak enak yang makin menusuk hati.

“Ya Allah, kenapa perasaanku jadi nggak enak seperti ini? Apa benar kalau Rosa baik-baik saja? Tapi kenapa firasatku tidak mengatakan demikian?” gumamnya sambil memasukkan ponsel ke dalam tas.

Ia berdiri beberapa detik, memejamkan mata, mencoba menenangkan diri. Namun pikirannya dipenuhi tanda tanya. Bagaimana ia harus menjelaskan situasi ini pada Ayah dan Ibu jika ia pulang tanpa Rosa?

Dengan langkah berat, Jasmine berjalan menuju mobilnya. Namun sebelum sempat membuka pintu, matanya menangkap sosok gadis berhijab panjang yang melintas. Sekejap ia memicingkan mata, lalu tubuhnya menegang.

Ia sangat mengenali gadis itu.

"Assalamualaikum, Mutia!" panggil Jasmine panik, hampir berlari menghampirinya.

Mutia berhenti, menoleh, dan tampak terkejut melihat Jasmine mendekat dengan langkah terburu-buru.

"Waalaikumsalam, Kak Jasmine. Ada yang bisa aku bantu, Kak?" ucapnya sopan seperti biasanya.

"Begini, Mutia. Kakak tahu kalau kamu itu sahabatnya Rosa. Apa sekarang kamu tahu dimana dia? Karena sampai sekarang Rosa belum pulang juga."

Nada Jasmine terdengar jelas-jelas cemas, hampir putus asa.

Mutia mengangguk perlahan.

"Oh Rosa? Iya, Kak. Aku tahu."

"Benarkah, Mutia? Alhamdulillah, Ya Allah. Jadi kamu tahu dimana Rosa?"

Mata Jasmine berair karena lega—setidaknya ia akan mendapat kepastian.

"Iya, Kak. Tadi sore kami memang keluar kelas bersama, tapi aku nggak langsung pulang karena sedang menunggu kakakku di dalam sana. Hanya saja, aku melihat Rosa keluar kampus dan dijemput oleh sebuah mobil mewah."

Sekejap, seluruh tubuh Jasmine menegang.

“Mobil mewah?”

Rosa tidak pernah dijemput siapa pun. Ia membawa mobil sendiri dan selalu mengendarainya tanpa terkecuali.

Logika itu tidak masuk sama sekali. Jantung Jasmine mulai berdebar semakin kencang, rasa dingin merayapi tengkuknya.

“Mutia, apa kamu tahu mobil itu membawa Rosa kemana?”

"Aku nggak tahu, Kak. Eh, tapi aku lihat di story wa yang beberapa jam lalu di posting oleh Rosa. Sebentar, Kak."

Mutia membuka ponsel, jempolnya bergerak lincah hingga menemukan yang dicari. Ia lalu mengarahkan layar itu pada Jasmine.

"Nah ini, Kak. Kak Jasmine tahu kan ini dimana?"

Jasmine mendekatkan wajahnya, menatap foto itu dengan saksama. Cahaya lampu kampus memantul di layar ponsel, tetapi foto itu tetap terlihat jelas—terlalu jelas bahkan. Ia memperhatikan latar, ornamen, dan suasana yang tergambar.

Detik berikutnya, wajah Jasmine memucat.

Tangannya gemetar, lututnya terasa hilang kekuatan. Ia sampai harus berpegangan pada lengan Mutia agar tidak terjatuh. Air mata menumpuk di pelupuk mata, pecah seiring terasa sesaknya napas.

"Astaghfirullahaladzim. Ini kan di hotel?"

Unduh sekarang dan klaim hadiahnya
Scan kode QR dan unduh aplikasi Hinovel