Pustaka
Bahasa Indonesia

GAIRAH DALAM DOSA

78.0K · Tamat
writter.id
63
Bab
3.0K
View
9.0
Rating

Ringkasan

Raka dan Dara sepasang suamii istri yang mana gadis ini masih suci hingga satu tahun pernikahannya. Apa yang membuat Raka tidak menyentuh wanitanya selama itu? Dara, terpuruk dan harus terjerumus dalam dosa. Kehilangan semua yang dia impikan dari, suaminya. Apa yang terjadi dalam hubungan mereka? Bisakah mereka membuktikan bahwa cinta bisa mengalahkan segalanya? Bisakah mereka mempertahankan rumah tangganya?

One-night StandPresdirRomansaTeenfictionSweetPernikahanIstriLove after MarriagePerselingkuhanDewasa

Bab 1

Suara gaduh seorang lelaki yang murka pada anaknya, laki-laki paruh baya itu mengepak dan mengemas semua pakaian anaknya dan membuangnya begitu saja pada lantai putih bersih nan mengkilap.

“Pergi! Keluar dari rumahku jika kamu tetap kekeuh dengan semua pendirianmu!" bentaknya.

Tidak hanya itu, sang Ayah juga mendorong dan juga menendang anak lelakinya. Menyeret dan membawanya keluar dari kamar.

"Mas! Jangan begitu, dia anak kita," rintih Miranda sang ibu. Dia memegangi tangan suaminya, menahan untuk menghentikan

tindakan kekerasan itu.

Meskipun yang dihajarnya bukanlah lelaki yang bisa disebut kecil. Dia telah berusia tiga puluh tahun.

Raka, dialah anak dari Herman Sasongko. Keturunan keluarga berdarah biru. Selalu melihat dan mencari menantu yang sesuai dengan kriterianya, terlebih siapapun itu harus juga memiliki keturunan darah biru.

Terpandang, dan terhormat menjadi salah satu poin paling penting untuk dia bisa menerima orang lain dikeluarkannya.

"Diam! Tidak satu orang pun bisa membantah apa yang aku katakan! Jika sekali saja mereka memberontak dia harus siap keluar dari rumah ini, bahkan namanya akan langsung aku coret dari ahli waris!"

Tatapan sinis dan menghunus itu tertuju pada Raka. Pria itu tengah memungut dan menyeret koper miliknya. Menjauh dan tidak lagi mencoba untuk mendapatkan restu.

Seribu kali dia mencoba maka, ribuan kali sang ayah akan menolaknya. Sudah dua tahun, dia berusaha untuk meyakinkan hubungannya pada kedua orang tuanya, akan tetapi jawaban yang dia terima tetaplah sama.

Penolakan, dan penolakan, bahkan cacian pada kekasihnya. Semua itu membuat Raka kian putus asa.

“Aku pergi, jangan harap Raka akan kembali, apapun yang terjadi, Raka tidak akan pernah kembali. Nikmati kekayaan kalian, nikmati kehormatan yang kalian banggakan," ucap Raka dengan dingin. Tanpa menoleh dan menatap luasnya jalan

yang ada didepannya.

Halaman yang sangat luas dengan lantai keramik di bagian tengah, dengan pagar yang besar jauh didepan sana.

"Nak, tunggu jangan pergi. Ayahmu hanya bergurau," lirih Miranda.

“Cukup! Miranda, masuk! Jika kamu menahannya kamu bisa pergi dengannya!"

Usai melepaskan ucapannya yang menyakitkan, Herman kembali masuk ke dalam rumahnya. Dia tidak akan pernah takut pada apapun jika itu menentang dirinya.

Bahkan jika itu anak dan istrinya,

llebih baik dia kehilangan mereka ketimbang kekuasaan, jabatan, ataupun kehormatannya. Baginya semua itu jauh lebih berharga dari mereka semua.

Nama yang besar dan selalu berwibawa serta menguntungkan untuknya. Tidak peduli jika suatu hari nanti karena kesalahan hari ini akan membuatnya menyesal. Namun, yang penting saat ini adalah keputusannya sudah bulat.

"Mas, jangan keras pada Raka," ujarnya. Namun, itu sia-sia karena Suaminya bahkan sudah tidak lagi ada di belakangnya.

Miranda tidak bisa melakukan apapun, dia ada karena dia menikahi lelaki itu. Jika tidak, dia sudah menjadi rakyat jelata. Makan susah, bahkan untuk tidur saja akan sangat susah untuk Miranda.

"Sayang, maafkan Mama. Kamu bisa telepon, mama untuk semua kebutuhanmu, nak."

Miranda pun tidak mau hidup susah dan kekurangan. Jaman sekarang tidak akan pernah ada yang mau menjadi orang miskin.

Miranda masuk, dia menangis tetapi tidak mau memilih anaknya. Darah dagingnya yang sangat butuh support darinya.

Raka, menyunggingkan senyum. Miris dengan kehidupannya yang selalu diatur sejak dia kecil hingga kini. Dia sudah mengorbankan semuanya hingga kehidupannya. Akan tetapi ternyata semuanya Sia-sia.

Lelaki itu menyeret kopernya dan benar-benar melangkah pergi, melewati pagar putih yang besar dan megah itu. Rumahnya seakan tersembunyi di balik pagar besi yang sangat tinggi.

"Apa yang bisa saya bantu, Tuan?" Satpam rumah yang merasa sangat menyayangkan hal itu.

Benaknya terus berpikir dengan keras, apakah orang kaya selalu begitu? Semena-mena dan semua keinginannya harus terpenuhi walaupun mengorbankan anaknya?

Sampai saat ini, satpam itu tidak menemukan jawabannya, dari semua yang terlihat, tetap saja. Majikan besarnya tidak akan pernah berubah.

"Tidak perlu, Pak. Jaga saja mereka dengan baik. Aku pamit.’ Raka menyunggingkan senyum ramahnya dan pergi. Dia pergi entah kemana langkah kaki membawanya,

tidak tentu arah dan tujuan.

Dia hanya bisa jauh dan terus menjauh dari rumah itu. Membawa hanya barang-barang yang sama sekali tidak ada harganya. Semua yang dia miliki diambil oleh ayahnya.

Hanya ada uang dalam dompet lima ratus ribu. Hanya itu satu-satunya yang dia miliki agar dia bisa bertahan untuk hidup.

***

Satu tahun terlewat, kini Raka telah memutuskan untuk menikahi gadis yang begitu dia cintai karena wanita ini dia rela meninggalkan segalanya. Juga karena perempuan ini dia yakin bahwa keduanya akan bahagia dengan jalan mereka.

Mereka menyewa sebuah rumah kecil yang harus dibayar setiap bulannya. Sudah satu tahun lebih bahkan kedua orang tua Raka tidak pernah menelepon ataupun menjenguk.

Namun, Miranda diam-diam memberikan uang untuk anaknya, mengirimkan banyak uang untuk Raka, memberikan tabungan khusus untuk lelaki itu.

Akan tetapi, Raka sama sekali tidak mempergunakannya untuk kehidupan dirinya dan istrinya yang saat ini.

Dara. Itulah namanya, wanita sederhana yang hanya berkerja sebagai penulis novel. Dia memulainya sudah lebih dari lima tahun. Artinya sejak usianya menginjak dua puluh tahun. Ketika dia berkuliah, dan mengambil jurusan sastra.

Dia miskin, tetapi dia cerdas dalam hal itu, meskipun semua biaya kuliahnya ditanggung pemerintah dan dia kuliah bukan ditempat yang elit. Namun, Dara mampu membuktikan bahwa pemerintah tidak akan sia-sia memberikan beasiswa pada dirinya.

Berulang kali dia mampu membawa nama kampusnya berjaya saat itu. Hingga kelulusannya harus berakhir menjadi ibu rumah tangga dengan selingan memberikan les pribadi pada murid-murid SMA.

Atau pekerjaan apapun yang bisa membantu keuangan rumah tangganya. Keduanya benar-benar merangkak, memulai semuanya dari nol. Hanya berbekal tabungan milik Dara yang tidak seberapa.

Beruntungnya, Raka tidak pernah protes dengan apa yang gadis itu di sajikan. Namun, semua kemulusan yang didapatkan oleh Dara, mulai dari pekerjaan, penghasilan novel, ataupun kerja sampingan lainnya.

Dia mendapat masalah yang sangat serius. Suaminya selalu pergi ke kantor pagi hari, dan pulang sangat malam. Lembur, ya begitulah. Karena ekonomi mereka memang sangat terbatas.

Terkadang hasil dari gaji keduanya tetap kurang untuk menyambung kehidupan mereka esok harinya.

"Mas? Kamu di mana? Sudah jam sembilan. Lembur lagi?" Dara menelepon suaminya.

Begitulah setiap harinya. Haruskah kebersamaan mereka terhalang dari ekonomi? Seakan setelah menikah Raka justru kehilangan waktu bersama gadis itu.

Dara tahu, bahwa kerja keras memang harus mereka lakukan, tapi apa harus begitu?

“lya, sayang. Maaf, ya. Aku akan pulang pukul sebelas. Kamu sabar ya, jangan menungguku. Langsung tidur Saja,’ jawabnya.

Tidak ada yang bisa dilakukan oleh Dara, dia hanya menurut, menunggu suaminya untuk kembali.

Tidak jarang Dara sering tidur di kursi kayu, karena menunggu suaminya. Tubuhnya terasa remuk. Tidak ada barang berharga di rumah itu. Meja, kursi semuanya dari kayu

sederhana.

Bahkan perabotan seperti piring dan gelas yang mereka gunakan hanya menggunakan seng ataupun plastik. Harga yang murah dan pastinya mereka bisa memakai uang sisa untuk membayar kost-an dan juga cicilan motor yang dinaiki Raka untuk pulang dan pergi bekerja.

Belum lagi untuk membayar listrik, beruntung keduanya belum memiliki anak.

****

Sesuai dengan apa yang diucapkan, bahwa Raka telah kembali pukul sebelas lebih empat puluh tiga menit. Artinya, jam dua belas kurang tujuh belas menit. Waktu karet yang selalu dilakukan oleh Raka.

Lelaki itu mendekati istrinya dan mencium kening istrinya, kKemudian mengangkat tubuh gadis itu untuk ia bawa ke kamar.

Dara mengerjap karena merasakan tubuhnya melayang-layang, dia membuka matanya dan mendapati senyum dari sang suami.

"Mas? Sudah pulang? Turunkan aku, aku bisa sendiri, kamu pasti lelah kan? Aku buatkan kopi ya? Kamu sudah makan?"

Dara membalas senyumnya dan berpegang erat pada bahu suaminya, dia meminta untuk turun. Dia sadar pasti tubuhnya tidaklah ringan sekalipun dia kurus. Kondisi Raka juga sangat terlihat dengan jelas dia

teramat kelelahan.

“lya, tadi ada teman yang merayakan hari pernikahan jadi semuanya ditraktir. Maaf, ya. Aku selalu pulang terlambat," sesalnya dan kembali mencium kening Dara.

Mereka duduk di tepian ranjang setelah tiba di kamar. Sama halnya di ruang tamu, tidak ada yang berkesan di dalam kamar itu. Ranjang kayu yang ditindih dengan kasur, tidak akan ada per yang memantul layaknya spring bed. Atau pun bed cover yang halus

dan tebal.

Hanya ada sprei tipis dan bersih juga selimut bulu yang tipis dengan corak bunga berwarna merah. Satu selimut yang akan membungkus setengah malam mereka.

"Oh, begitu. Mau mandi? Aku akan masakin air untukmu mandi, Mas."

Dara, sangat lembut. Dia adalah istri yang sangat perhatian sekecil apapun itu. Tentu agar, lelaki itu tetap betah dan membalas perhatian lain untuk dirinya.

"Tidak perlu, Da. Aku akan cuci muka saja, lalu tidur. Badanku sakit sekali, terkena angin malam, belum lagi duduk di depan komputer berjam-jam, membuat semua ini

sangat melelahkan,’ tukasnya.

Dara menunduk, setiap hari dia harus mendengarkan keluhan suaminya, dia bahkan memendam rasa lelah yang dirasakan olehnya.