BAB. 5 Junot Terpesona
Junot melangkah keluar dari mobil sportnya, menatap rumah besar yang megah di depannya. Pilar-pilar tinggi dan taman yang tertata rapi menambah kesan elegan dan megah pada rumah tersebut. Namun, di balik keindahan itu, ada rasa kosong yang menyelimuti hatinya. Pintu depan yang berat dibukanya, dan dia pun melangkah masuk ke dalam rumah yang dingin dan sunyi.
“Kembali kepada mode sunyi senyap!” sergah Junot tak semangat.
Ruangan besar dengan langit-langit tinggi dan dekorasi mewah terasa begitu hampa tanpa suara kehidupan. Junot melepas sepatunya dan berjalan ke ruang tamu, berharap melihat kedua orang tuanya di sana, seperti di masa kecilnya. Namun, tak ada seorang pun di rumah itu. Papa dan mamanya sedang sibuk dengan aktivitas mereka di luar rumah, seperti biasa. Papa Alfonso sering kali terbang ke luar negeri untuk urusan bisnis, sementara Mama Belva kerap menghadiri acara sosial di berbagai tempat.
Junot meletakkan tas kerjanya di sofa dan berjalan menuju kamarnya di lantai atas. Kamar yang luas dengan jendela besar yang menghadap ke taman belakang itu selalu menjadi tempat favoritnya untuk merenung. Setelah menutup pintu kamarnya, Junot menyalakan lampu meja dan mulai melepas pakaiannya, bersiap untuk mandi.
Setelah mandi dengan air hangat yang menyegarkan tubuhnya, Junot mengenakan pakaian santai dan duduk di ranjangnya. Dia lalu meraih buku yang baru saja dibelinya, akan tetapi pikirannya tidak bisa fokus pada halaman-halaman di depannya. Wajah Lilian tiba-tiba muncul dalam pikirannya. Lilian yang ditemuinya beberapa hari yang lalu di warung lesehan Bu Jayanti, dengan senyum manisnya dan kecantikan alami yang memikat hatinya sejak pandangan pertama.
“Lilian … kenapa aku selalu teringat dengan gadis itu?” serunya dari dalam hatinya.
Lilian berbeda dari gadis-gadis yang pernah ditemui oleh Junot sebelumnya. Gadis itu berpenampilan sederhana, akan tetapi memiliki pesona yang sulit dijelaskan. Rambutnya yang tergerai, mata yang berbinar, dan senyumnya yang tulus membuat Junot tidak bisa berhenti memikirkannya.
Setiap kali Junot memejamkan matanya, bayangan Lilian selalu hadir, membuat hatinya berdebar kencang.
“Lilian … kenapa wajahmu begitu cantik?” lirihnya dalam hati
Junot meraih ponselnya dan membuka galeri foto. Di sana ada foto-foto yang diambilnya secara diam-diam saat di warung lesehan. Salah satunya adalah foto Lilian yang sedang tersenyum sambil melayani pelanggan.
Junot jadi tersenyum melihat foto itu. Ada sesuatu yang hangat dan menenangkan dalam senyum Lilian, seolah-olah semua masalah di dunia ini bisa teratasi hanya dengan melihat senyum itu.
"Kenapa aku sangat merindukanmu, Lilian?" gumam Junot pelan, sambil menatap foto itu lebih lama.
Junot tahu bahwa hidupnya yang penuh dengan kemewahan dan kesibukan sering kali membuatnya merasa kesepian. Dia merindukan kehangatan dan kebahagiaan sederhana yang dilihatnya di wajah Lilian. Sang pria sungguh merindukan cinta yang tulus, bukan sekedar penampilan atau status sosial.
Di saat itulah Junot memutuskan, dirinya harus bertemu lagi dengan Lilian. Dia harus mengenal gadis itu lebih dekat dan, jika mungkin, merebut hatinya.
“Aku harus menjadikan Lilian sebagai kekasihku!” tekadnya dalam hati.
Keesokan paginya, Junot bangun dengan semangat baru. Dia sudah memikirkan rencana untuk bertemu lagi dengan Lilian. Setelah sarapan yang sederhana, pria itu segera bersiap dan mengendarai mobilnya menuju warung lesehan Bu Jayanti. Di sepanjang perjalanan, hatinya berdebar tak menentu, antara gugup dan penuh harapan.
“Semoga aku bisa bertemu dengan Lilian!” harapnya dalam hati.
Sesampainya di warung lesehan, Junot turun dari mobil dan berjalan dengan langkah mantap menuju tempat itu. Warung itu tidak terlalu ramai pagi ini, dan Junot merasa sedikit lega. Dia pun lalu duduk di salah satu meja yang terletak di sudut, tempat yang sama saat ia pertama kali melihat Lilian.
Tak lama kemudian, Lilian muncul dari balik dapur, membawa nampan dengan beberapa piring makanan. Matanya yang ceria segera menangkap sosok Junot yang duduk di sudut. Lilian tersenyum ramah dan berjalan mendekat.
"Mas Junot, sudah datang lagi," sapa Lilian sambil meletakkan piring di atas meja.
Junot tersenyum dan mengangguk.
"Iya, aku sangat menyukai makanan yang ada di sini. Dan suasananya juga."
Lilian tersenyum lebih lebar, "Senang mendengarnya. Ada yang bisa saya bantu, Mas?"
Junot menatap mata Lilian sejenak sebelum menjawab, "Sebenarnya, aku ingin bicara denganmu, kalau kamu tidak sibuk."
Lilian terlihat sedikit terkejut, tetapi kemudian tersenyum. "Tentu, sebentar ya."
Setelah melayani beberapa pelanggan lain, Lilian kembali dan duduk di seberang Junot. Mereka berbicara tentang banyak hal, dari pekerjaan Junot, aktivitas sehari-hari Lilian di warung, hingga impian dan harapan mereka. Junot merasa semakin terhubung dengan Lilian. Gadis itu bukan hanya cantik, tetapi juga cerdas dan memiliki pandangan hidup yang luas.
"Mas Junot, kenapa kamu tertarik padaku?" tanya Lilian tiba-tiba, dengan nada serius.
Junot terdiam sejenak, menatap mata Lilian yang penuh tanya.
"Aku merasa ada sesuatu yang berbeda denganmu, Lilian. Kamu membuatku merasa tenang dan bahagia. Kamu bukan seperti gadis-gadis lain yang aku kenal. Kamu spesial."
Lilian tersenyum lembut mendengar jawaban Junot. "Terima kasih, Mas Junot. Aku juga merasa nyaman berbicara denganmu. Kamu adalah salah satu teman baikku."
“Deg! Jantung Junot tiba-tiba berdetak tak karuan saat mendengar ucapan Lilian yang hanya menganggapnya sebagai teman biasa saja.
“Apakah aku terlalu cepat untuk mengungkapkan perasaanku? Atau ada baiknya aku tunda untuk menyatakan cinta kepada Lilian?” Setelah menimbang-nimbang akhirnya Junot pun memutuskan untuk menunda untuk mengungkapkan rasa sukanya kepada gadis itu.
Sebulan telah berlalu, Dahlia dan Lilian merantau di Jakarta. Lilian, seorang gadis yang sangat rajin tetap memilih untuk membantu Bu Jayanti di warung lesehannya.
Berbeda dengan Dahlia. Dia lebih memilih tinggal di rumah Bu Jayanti untuk membersihkan rumah.
Karena banyaknya pelanggan baru sejak Lilian membantu Bu Jayanti di warung, membuat sang ibu lebih cepat membuka warungnya.
Biasanya, Bu Jayanti membuka warungnya hanya disaat siang menjelang sore saja. Namun sudah seminggu berlalu sang ibu membuka warungnya mulai jam sepuluh pagi. Hal itu juga berdampak dengan omset dagangan Bu Jayanti yang meningkat pesat.
Seperti pagi ini, keduanya sudah disibukkan dalam rangka mempersiapkan bahan-bahan untuk membuat gado-gado dan ketoprak.
Setiap subuh Bu Jayanti bersama Lilian berbelanja bumbu-bumbu dagangan mereka di pasar.
Saat ini mereka terlihat selesai meracik bahan-bahan untuk membuat pecel ayam. Lalu Bu Jayanti dan Lilian bersiap-siap berganti baju.
Sebelumnya, Bu Jayanti menasehati Lilian agar memakai pakaian yang sopan saat berjualan untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan.
Lilian pun mengikuti semua perkataan Bude Rani. Disaat gadis itu selesai berganti pakaian di kamar. Dahlia baru saja bangun.
Lilian lalu berkata kepada saudaranya,
"Dahlia, mau sampai kapan kamu bermalas-malasan seperti ini? Lebih baik kamu bantuin aku dan Ibu di warung." ujarnya.
Namun Dahlia malah langsung menatap dengan tajam ke arah Lilian, sambil berkata,
"Apa sih maksud kamu ngomong begitu?"
"Maksudku baik, Dahlia. Biar kamu juga ada pengalaman," ujar, Lilian.
"Pengalaman menggoreng kerupuk, gitu? Tanpa diajari aku juga tahu, Lilian! Yang aku butuhkan saat ini adalah pekerjaan! Bukannya menggoreng kerupuk dan sejenisnya!" seru Dahlia tak mau kalah.
"Terus, jika kamu kerjaannya tiap hari tidur, apakah kamu akan mendapatkan pekerjaan? Ingat, Dahlia. Kita di sini hanya numpang di rumah Bu Jayanti, setidaknya kita tahu diri, jangan malah menjadi beban bagi Ibu itu! Kamu juga jangan lupa, apa tujuan awal kita datang ke Jakarta, yaitu untuk merubah nasib kita, untuk merubah jalan hidup kita," ujar Lilian panjang lebar.
"Dari awal juga aku nggak setuju kita tinggal di rumah ini!" seru Dahlia tak suka.
"Lah, kalau kita tidak tinggal di sini, terus di mana kita tinggalnya? Aku jujur saja ya, Dahlia. Tabungan dari nenek itu, untuk menambah biaya kuliah kita nanti. Bukan untuk foya-foya, dan aku harap kamu mau mendengarkan ku kali ini. Satu lagi, kamu juga jangan lupa, jika kamu yang dulu ngotot ingin merantau ke Jakarta. Kami mau jualan dulu, di atas meja ada makanan untukmu." seru Lilian, lalu keluar dari kamar itu.
Setelah berkata seperti itu, Lilian pun menuju teras menemui Bu Jayanti yang sudah menunggunya dari tadi, lalu mereka bersiap-siap mendorong gerobak menuju ujung jalan utama di mana sang ibu biasa berjualan.
“Sialan nih, Lilian! Sudah mulai mengatur dia! Bikin kesal saja!” gerutu Dahlia dalam hati.
Dahlia terdiam dan mengingat semua perkataan Lilian, jika dulu dialah yang ngotot untuk ke Jakarta, impiannya untuk tinggal di kota ternyata terlalu tinggi sehingga saat Dahlia sampai ke Jakarta dan angan-angannya tentang Kota Jakarta sungguh berbeda jauh dari kenyataan. Membuat hatinya sedikit kecewa dan memilih untuk tidak melakukan apa pun.
Dahlia pun bertekad dalam hatinya jika dia akan mencari pekerjaan mulai dari sekarang.
“Aku harus mendapatkan pekerjaan secepatnya!”
