Tamu tak diundang
"Si Gadis kebangetan parah. Bisa-bisanya kita satu kantor diundang semua kecuali Gavriel," Keluh Ragil pelan di samping Alena.
Sengaja Ragil melakukan itu agar teman dekat Gadis di kantor ini menyampaikan hal ini kepada Gadis.
"Gue enggak bisa komentar apa-apa. Ini semua diluar wewenang gue."
"Minimal lo sebagai temannya kasih tahu lah. Meskipun diundang belum tentu juga si Gavriel mau datang. Dia 'kan lagi persiapan buat dampingi Mr. Perfect ke Bali seminggu lagi."
"Mau ngapain ke Bali?"
"Biasa, ketemu calon kreditur besar."
Setelah mengatakan itu, Ragil memilih meninggalkan Alena yang sedang merapikan kebaya model Janggan warna dusty pink yang menjadi seragam bridesmaids siang ini di acara akad nikah Gadis dan Pradipta. Selesai merapikan kebaya yang ia kenakan, ingatan Alena kembali kepada kejadian dua minggu lalu saat ia mengantar Gadis ke Stasiun Gambir. Ketika mereka baru saja turun dari mobil, Alena sudah langsung protes pada Gadis tentang masalah undangan pernikahan. Bagaimana bisa Gadis tidak mengundang Gavriel meskipun sekedar untuk basa-basi? Bukankah mereka tetap rekan kerja terlepas jika mereka cocok ataupun tidak selama bekerja bersama.
"Gue harap lo tetap kasih undangan ke Gavriel."
"Stocknya habis. Enggak ada sisa, Len."
"Kalo begitu pakai undangan punya gue aja. Lagian cuma tinggal ganti plastik sama cetak nama. Nanti gue bikin sendiri."
Alena melihat Gadis menghela napas panjang lalu menggelengkan kepalanya. Sontak hal ini membuat Alena mengernyitkan keningnya.
"Why?"
"Karena gue memang enggak pernah berniat untuk mengundang dia. Jadi gue harap lo jangan kasih undangan ke Gavriel."
"Sebenci itu lo sama Gavriel?"
Hanya senyum tipis di bibir Gadis yang menjadi jawaban untuk Alena. Setelah itu bahkan Gadis langsung berpamitan padanya seakan-akan obrolan mereka ini tidak pernah terjadi.
Lamunan Alena berakhir kala sebuah tepukan pelan mendarat di pundaknya. Saat ia membalikkan badannya, seketika kedua bola mata Alena hampir jatuh ke lantai. Bagaimana bisa Gavriel yang baru saja ia pikirkan ada di hadapannya dalam balutan kemeja lengan panjang warna sky blue dan celana hitam. Okay, mungkin jika tidak karena hampir setiap hari bertemu dengan Gavriel, Alena akan jatuh hati melihat sosoknya yang semakin hari semakin good looking, tampan dan mapan. Ya, hampir sebagian kaum jomblo wanita di kantornya menjadikan Gavriel figur pacar idaman. Selain secara fisik, tentunya ia adalah seorang workaholic dan sopan ketika berhadapan dengan lawan bicaranya terutama jika berada di lingkungan kantor. Attitude Gavriel benar-benar membuat banyak orang termasuk dirinya kagum. Dalam hal pekerjaan juga jenjang kariernya pun Alena yakin akan sangat terjamin mengingat ia sudah karyawan tetap bukan lagi kontrak.
"Hai, Len," sapaan ramah Gavriel membuat Alena menelan salivanya.
"Hai, Gav. Lo kok bisa ada di sini?"
"Iya. Gue lagi temani Rachel. Dia yang dapat undangan nikahan Gadis sama Dipta."
Meskipun dalam hati Alena ia bertanya-tanya siapakah Rachel? Namun kepalanya tetap mengangguk serta bibirnya memaparkan senyum kecil. Ia bahkan tidak bertanya lebih jauh lagi pada Gavriel. Kini saat Gavriel pamit dari hadapannya, satu hal yang terlintas di kepala Alena. Ia harus memberitahu Gadis tentang kehadiran Gavriel siang hari ini meskipun ia tidak memiliki undangan. Jangan sampai Gadis mengira dirinya yang tetap menjalankan misinya untuk mengundang Gavriel meskipun Gadis sudah melarang.
Di waktu yang sama dan tempat yang berbeda, Gadis baru saja berdiri dan menatap pantulan dirinya pada cermin yang ada di depannya. Kebaya putih rancangan desainer langganan keluarganya telah melekat di tubuh langsingnya. Riasan rambut dan wajah dengan paes ageng juga sudah memancarkan aura kecantikan khas jawanya.
"Cantik banget kamu, Dis."
Sebuah suara membuat Gadis membalikkan tubuhnya. Ia tersenyum saat melihat istri Om-nya berdiri di sana.
"Eh, Tante Liz sudah datang? Om Dimas mana, Tan?"
"Sudah. Om sama Tante sudah datang dari pagi," Ucap Eliza sambil berjalan mendekati Gadis.
Saat sampai di dekat Gadis, Eliza menatap anak kakak suaminya ini dengan tatapan penuh haru. Andai saja anaknya mau segera mencari jodoh dan menikah seperti Gadis, pasti ia akan bahagia lahir batin. Keputusan Pelangi Cinta Bimantara untuk tinggal di Eropa menbuat Eliza lebih sering merasa kesepian andai saja keluarga mereka tidak memiliki hubungan yang dekat serta hangat.
"Angi pulang ke Indonesia, Tan?"
"Enggak. Dia takut ditanya mana calonnya kayanya."
"Mas Banyu meskipun belum punya pasangan tetap pulang, Tan," kata Gadis sambil menyebut nama kakak laki-lakinya yang selama ini memilih menetap di Singapura sejak kuliah hingga bekerja.
"Singapura ke Solo masih jauh lebih dekat daripada Jerman ke Jogja. Tante sudah hafal sekali jawaban itu yang keluar dari bibir Angi kalo saja kamu tanya seperti itu sama dia."
Gadis tersenyum dan kini obrolannya dengan Eliza harus berakhir karena Alena masuk ke suite room hotel yang ia tempati dan menarik tangannya untuk menuju ke ujung kamar ini yang dekat dengan jendela.
"Ada apaan sih, Len?" Tanya Gadis kala melihat wajah Alena yang terlihat gugup bercampur sedikit panik.
"Itu, Dis... itu..."
"Itu apa?" Tanya Gadis sambil menyedekapkan kedua tangannya di depan dada.
"Gavriel ada di sini."
Satu detik...
Dua detik....
Tiga detik....
Gadis langsung menengang saat mendengar perkataan Alena. Bagaimana bisa laki-laki kunyuk itu datang ke pernikahannya yang diselenggarakan di Solo? Ia yakin jika Gavriel tidak terlalu mengenal kota ini dengan baik karena ia bukan berasal dari kota ini. Gadis cukup tahu jika Gavriel yang masih memiliki darah luar negri, bahkan gosip yang ia dengar dari beberapa taman kantornya, Gavriel baru kembali ke Indonesia saat ia sudah SMP. Entah kenapa ia memilih pulang ke negara ini, sedangkan banyak warga negara ini yang ingin tinggal di luar negri seperti dirinya dulu.
"Kok bisa?"
"Iya, dia datang sama temannya."
Tanpa menunggu penjelasan dari Alena lebih jauh lagi, Gadis segera meninggalkan Alena dan keluar dari suite room ini. Ia langkahkan kakinya menuju ke arah lift. Sambil berjalan, Gadis mengedarkan pandangan matanya untuk melihat ke segala penjuru. Siapa tahu musuh bebuyutannya itu ada di lantai ini. Toh ini adalah Gavriel, laki-laki yang selalu berlaku seenak jidatnya.
Tidak menemukan apa yang dirinya cari di lantai tujuh, Gadis segera memencet tombol lift dan sambil menunggu pintu lift terbuka, Gadis segera mencari kontak Gavriel di handphone miliknya.
"Kunyuk... Kunyuk... mana nomer handphone lo?" Gumam Gadis pelan sambil mencari nomer Gavriel.
Akhirnya Gadis menemukan nomer laki-laki yang paling ia benci di hidupnya itu dan segera ia menyenggol tanda telepon di layar handphone miliknya. Beberapa saat Gadis menunggu telepon itu diangkat hingga akhirnya suara orang yang selalu membuatnya ingin melemparkan sandal jepit terdengar di ujung telepon.
"Hallo?"
"Di mana lo?"
"Di hatimu."
"Najis. Gue serius. Lo di mana sekarang?"
"Lagi di area kolam renang."
Tanpa basa-basi, Gadis langsung menutup sambungan teleponnya dengan Gavriel dan masuk ke dalam lift yang baru saja terbuka pintunya. Jarinya terulur untuk memencet tombol satu. Beberapa saat Gadis menunggu hingga lift itu terbuka di lantai satu.
Begitu keluar dari lift, Gadis langsung menuju ke arah kolam renang. Tanpa perlu mengedarkan tatapannya, ia sudah bisa melihat sosok Gavriel yang tengah berdiri di ujung bangunan hotel sambil menempelkan tubuh bagian kanannya di tembok. Segera saja Gadis mendekati Gavriel. Begitu berada di dekat Gavriel, tanpa memanggil namanya, Gadis langsung memegang lengan kanan Gavriel yang membuat Gavriel menegakkan tubuhnya kembali dan menghadapnya.
Saking marahnya melihat sosok laki-laki ini, Gadis bahkan tidak bisa berkata-kata. Baru juga ia akan membuka mulutnya, namun Gavriel sudah menempelkan jari telunjuknya di depan bibirnya. Seketika Gadis terdiam. Kini bahkan Gavriel justru menarik dirinya hingga tubuh bagian depannya menabrak tubuh bagian depan Gavriel.
What the hell is going on...
Kenapa Gadis mejadi tegang seperti ini? Seumur-umur mereka saling mengenal, ia tidak pernah berada dalam jarak sedekat ini dengan Gavriel apalagi sampai tubuh bagian depan mereka melekat satu sama lain. Belum juga Gadis bisa menguasai dirinya, tiba-tiba suara yang sangat ia kenal sayup-sayup terdengar menyapu indra pendengarannya.
"Sebentar lagi aku akan jadi milik Gadis sepenuhnya, Hel. Aku harap kamu bisa relain aku."
"Semudah itu kamu minta sama aku seakan-akan apa yang kita lalui selama ini cuma main-main? Luar biasa kamu, Dip. Kamu kira aku ini mainan kamu?"
"Aku engak pernah menganggap kamu mainan. Kamu adalah orang yang aku sayang. Kamu yang menemani aku dari nol. Aku memang cinta sama kamu, tapi aku enggak mungkin menikahi kamu, Hel."
"Bullshit! Kamu bilang cinta sama aku, tapi nikah sama Gadis. Ini yang kamu bilang cinta?"
"Realistis saja, Hel. Kita enggak akan bisa sama-sama. Aku sudah ajak kamu untuk ikut aku, tapi kamu enggak mau."
"Lebih baik aku kehilangan kamu daripada aku kehilangan Tuhan-ku."
Setetes air mata langsung keluar dari mata indah Gadis. Bahkan Gavriel yang melihat itu menjadi tidak tega. Ingin rasanya ia mengusap air mata yang mulai jatuh di pipi Gadis, namun ia kepalkan tangannya kuat-kuat agar jangan sampai ia lepas kendali.
Gadis yang baru mendengar sebagian pertengkaran antara Rachel dan Dipta saja sudah seperti ini. Bagaimana jika Gadis tahu yang sebenarnya? Jika sejak awal ia berhubungan dengan Pradipta, ia sudah diduakan? Tidak-tidak, lebih baik Gadis tidak mengetahui semua kenyataan ini daripada ia akan menderita seumur hidup karena sudah salah memilih pasangan. Tidak hanya itu saja, hal yang lebih membuat Gavriel takut adalah Gadis yang terkenal nekat ini akan membatalkan pernikahannya yang akan berlangsung kurang dari dua jam lagi.
***